Share

Pernikahan Politis
Pernikahan Politis
Penulis: Ana Sh

1 Akad Nikah

Wong lanang itu ya, enggak bisa apa sebentar saja menduda. Baru 100 hari istrinya meninggal, sekarang sudah nikah lagi,” cibir Yu Warni, penjual lontong kupang. Dagangannya hari ini dipesan oleh keluarga Kiai Salman, sebagai salah satu menu hidangan acara walimah akad nikah putri keduanya, Arisha Luana.

            “Denger-denger, Yu, ini itu bukan pernikahan biasa, loh. Tapi demi tetap mendapat dukungan Kiai Salman. Wis ngerti toh kalo Gus Akhtar itu bakal maju di pilkada sesuk?” ungkap asisten Yu Warni yang ikut menata lontong di atas piring.

“Sssst …” Yu Warni menempelkan jari telunjuk di bibirnya, memperingatkan asistennya agar diam. Kedua wanita paruh baya itu kini mengunci rapat-rapat mulutnya begitu calon mempelai putri melintasi mereka. Rombongan keluarga Kiai Salman bergerak menuju masjid pondok. Tempat melangsungkan janji suci itu masih satu halaman dengan kediaman Kiai Salman. Pun dengan rombongan mempelai putra. Dua mobil yang membawa mereka sudah memasuki pelataran komplek yayasan.

Sabtu, 22 Agustus 2020 pukul 10.00 WIB, dalam suasana pandemi virus korona, prosesi pernikahan ini akan dilangsungkan. Tak ada acara walimah mewah yang digelar. Undangan dibatasi 50 orang persesi. Keluarga pengiring pengantin pun diberlakukan aturan yang sama. Protokol kesehatan dilakukan dengan tertib agar tidak dibubarkan Satgas covid-19. Termasuk menyediakan tempat cuci tangan dan alat pengukur suhu di depan pintu masuk tenda pengantin.

Semua pihak yang terlibat dalam prosesi akad nikah telah menempati posisinya masing-masing di dalam masjid. Dengan baju pengantin warna putih tulang, putra Kiai Mansur itu menghadap penghulu dan Kiai Salman.

“Sudah siap, Gus Akhtar?” tanya Pak Penghulu memastikan.

“Insyaallah,” jawab Akhtar tenang.

Sementara itu, Arisha terus menunduk diapit Umi Anis dan calon ibu mertuanya. Kedua jemarinya saling bertaut, berharap bisa menetralisir rasa gugup. Saat jari lentik itu dipegang ibunya, terasa dingin bak bongkahan es. Arisha meresapi detik-detik mengakhiri status lajangnya yang tak sesuai impian.

 “Baik, kita mulai, inggih!” Pak Penghulu menyisirkan pandangan ke sekitar, memastikan semua pihak sudah siap. “Yang akan menikahkan langsung wali dari mempelai putri,” tegasnya.   

            Tak ada hadirin yang berbicara. Semua mata tertuju pada tiga orang di tengah-tengah ruang utama masjid, kecuali Arisha. Ia tetap menunduk. Ibunya memeluknya lembut, seolah memberi isyarat bahwa semua akan baik-baik saja. Lalu suara dari mikrofon yang hanya menjangkau area dalam masjid terdengar.

            “Saudara Muhammad Akhtar, mau menggunakan lafaz bahasa Indonesia atau Arab?” tanya Pak Penghulu.

            “Bismillah, bahasa Arab, Pak.”

            “Baik, kita mulai.” Semua orang serasa menahan napas, tak terkeculi kedua mempelai.

            Akhtar meraih uluran tangan Kiai Salman. Tangan pemuda itu dipegang kuat, lalu beliau berucap, “Ankahtuka w* zaww*jtuka makhtubataka Arisha Luana Binti Muhammad Salman al Farisi ‘ala mahri ‘ishrot dananir haalan.”

            “Qobiltu nikahaha w* tazwijaha 'alal mahril madzkuur w* rodhiitu bihi, w*llahu w*liyyut taufiq,” jawab Akhtar tegas tanpa jeda.

            “Bagaimana hadirin … apakah sah?” tanya Pak Penghulu kepada para saksi dan segenap keluarga yang ikut menyaksikan perjanjian yang mengguncang langit itu.

            “Sah!” jawab semua orang yang hadir. Gemuru suaranya terdengar hingga ke luar masjid.

            “Alhamdulillah!” Kemudian Pak Penghulu melantunkan doa untuk mempelai berdua, "Barokallohu laka w* baroka 'alaika w*jama'a bainakuma fii khoir.”

           

            Para pengunjung pun serentak mengulang lafadz doa tersebut. Sementara Akhtar dan Arisha, keduanya mengucapkan “Aamiin …”

            “Saudari Arisha, silakan maju untuk tanda tangan buku nikah dan foto bersama!” panggil salah seorang petugas KUA. Dengan gemetar, perempuan bergaun putih tulang yang dilapisi brukat tile dengan kombinasi payet itu melangkah. Kini ia sudah duduk sejajar dengan Akhtar. Buku nikah sudah ditandatangani. Mereka melakukann foto bersama dengan menunjukkan buku nikah masing-masing.

            Fotrogafer mengarahkan Arisha untuk mencium tangan suaminya. Dengan gugup, tangan yang tak pernah tersentuh lelaki bukan mahrom itu melakukan perintah sang juru foto. Karena ada instruksi untuk menahan adegan itu beberapa saat, Akhtar juga merasakan dinginnya tangan perempuan yang sudah sah menjadi istrinya.

            “Sekarang cium keningnya!”

            Perintah itu membuat Arisha mendongakkan kepala dan menahan napas. Ia tak menyangka Akhtar menuruti dengan sigap. Perempuan setinggi 165 cm itu sedikit menundukkan kepala. Saat tangan Akhtar memegang ujung kepala dan mendaratkan bibirnya di kening, Arisha seperti menaiki balon udara yang melayang di angkasa.

            Intensitas reaksi emosional dan fisik yang tidak dikehendaki menghantam perempuan itu dengan begitu kuat dan membuatnya terpedaya. Perpaduan berbahaya antara simpati dan hasrat. Terutama hasrat. Arisha buru-buru berpaling saat Akhtar sudah menarik wajahnya. Untungnya ia masih bisa menahan tubuhnya tetap berdiri tegak. Ia mencemooh diri. Bagaimana mungkin akan berhasil menggagalkan rencana Akhtar mencalonkan diri sebagai wakil bupati jika mendapat sentuhan sedikit saja tubuhnya sudah lengah?

            Ucapan selamat dan ajakan foto bersama keluarga menyelamatkan Arisha dari situasi yang membuatnya sangat canggung. Bahkan ia tak dapat membayangkan bagaimana rona mukanya saat ini. Perempuan berwajah tirus itu tetap tersenyum. Dengan begitu ia berusaha menutupi gemuruh dalam dirinya.

            Usai prosesi akad nikah disusul serah terima serta tausiyah, keluarga diarahkan untuk menikmati aneka hidangan yang sudah tertata di tenda samping masjid. Ada Soto Lamongan, lontong kupang, lontong kikil, sate gule, gado-gado, tak tertinggal menu khas Jawa Timur, rawon. Juga menu penutup lainnya seperti bubur ketan, rujak manis, es krim, dan es sop buah.

            Tempat jamuan yang dipisah antara tamu laki-laki dan perempuan itu menjadikan Arisha bisa bernapas lega. Ia masih butuh penyesuaian saat berdekatan dengan Akhtar. Hingga sebuah sapaan membuyarkan lamunannya, “Assalamu’alaikum pengantin baru, ngelamun saja.” Fatimah, teman kuliah Arisha termasuk dalam daftar nama yang diundang.

           

            “Hm … mendadak sekali. Baru sebulan menginjak tanah air, sudah nikah saja. Gimana nasib Musthofa? Bukannya di bandara kemarin dia minta alamatmu? Kukira kalian berdua akan menikah?” cerca Fatimah yang masih syok dengan keputusan sahabatnya.

            “Kalo aku ceritakan semuanya sekarang, kamu enggak jadi makan. Padahal setiap tamu hanya dibatasi durasinya sejam, gantian sama sesi berikutnya. Yuk, kita makan saja. Kamu mau apa?” Arisha bangkit dari kursi pelaminannya lalu menarik tangan Fatimah menuju deretan menu.

            Gadis berwajah manis itu menggeleng pendek. Jujur ia merasa takjub dengan keputusan sahabatnya yang mengakhiri masa lajang dengan mantan kakak ipar. Sesuatu yang mungkin tak  akan sanggup ia lakukan. “Oke, janji suatu saat nanti kamu akan cerita, ya.” Fatimah menggenggam erat kedua tangan sahabatnya. Lalu Arisha mengangguk. “Dan kamu bahagia ‘kan, Sha, menjalani ini?”  

            Pertanyaan yang terlalu dini. Bahkan Arisha pun tak mampu mendeteksi apakah dirinya bahagia atau tidak saat ini. Namun satu yang pasti. Arisha bukanlah gadis muda yang bodoh dengan pikiran konyol. Ia tetap punya impian mengabdikan ilmunya untuk kebaikan umat, meski bukan dengan pria yang selama ini memenuhi mimpinya menjadi mitra sejati dalam hidup dan cinta.

.

.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status