Raja siang perlahan terbenam di balik pepohonan pinus yang terbentang di gunung Arjuna. Sementara pria yang sekarang sudah melepas status dudanya itu, kini berdiri dalam diam di ambang jendela. Angin senja pada ketinggian 3.339 meter di atas permukaan air laut meniup rambut pria itu. Sosoknya yang keras dan visioner, membuatnya dilirik Kiai Yassir untuk mendampingi dalam bursa pemilihan kepala daerah Kabupaten Mojoasri.
Pikiran Akhtar kembali pada momen sakral beberapa jam yang lalu. Saat ia dengan refleks memcium kening Arisha tanpa rasa canggung sediki tpun. Perempuan yang dilihatnya saat itu menjelma sebagai Hasna. Andai kesadarannya penuh bahwa pengantin wanita yang mencium tangannya adalah adik mendiang sang istri, tentu masih ada rasa gugup menyelimuti diri.
Masih memandang keluar jendela, pria itu merutuki keadaan. Bagaimana mungkin Arisha menyediakan kamar ini untuk malam pertama mereka. Ruangan yang sama, yang dihabiskan Akhtar tiga tahun silam bersama Hasna. Selain paras Arisha yang mirip dengan Hasna, kamar ini makin mengusik pikiran Akhtar. Bayangan tentang Hasna yang menyuguhkan wedang jahe bercampur perasan jeruk nipis melintas dalam benak. Bahkan aromanya kini mulai tercium hidungnya.
Akhtar merasa kenangan manis itu kini menyiksa dirinya. Ia belum bisa melepaskan kerinduan pada mendiang istrinya. Sementara ia sudah menikahi perempuan lain sekarang. Semua karena ia terlanjur menyepakati tawaran Kiai Yassir. Bukan. Bukan tawaran maju sebagai calon wakil bupati yang ia sesalkan. Sebab bagi Akhtar itu adalah jalan mengabdikan diri untuk terjun mengurusi rakyat. Melainkan sosok yang ia nikahi malah mengingatkannya pada Hasna.
“Gus, monggo diminum wedang jahenya.”
Suara lirih itu, memaksa Akhtar memutar kepalanya 90 derajat ke arah samping. Lalu didapatinya secangkir wedang di atas meja kecil di sebelah dipan. Akhtar berdecak kesal pada dirinya. Kenapa ia sampai tak menyadari kehadiran istrinya di kamar ini? Berarti aroma wedang jahe yang tadi menusuk indra penciumannya memang benar-benar ada. Bukan halusinasi kenangan bersama Hasna tiga tahun silam.
“Iya, makasih.” Akhtar lalu bergerak menuju meja kecil. Ia duduk di bibir ranjang dan meraih cangkir itu. Disesapnya perlahan wedang jahe dengan kepulan uapnya. Minuman yang cocok di daerah dataran tinggi dengan suhu yang membuat badan menggigil di malam hari. Akhtar memejamkan mata. Wedang jahe yang sama, ada campuran jeruk nipis hanya kali ini terasa sedikit lebih manis. Bukan manis gula, tetapi lebih terasa manis dari sari bunga.
Sementara itu, Arisha yang masih berdiri di dekat pintu menelan saliva melihat Akhtar seperti mengeja minuman buatannya. Ia bersiap menuai protes jika racikan wedangnya terlalu asam atau komposisi lainnya yang kurang pas.
“Alhamdulillah, enak,” ucap Akhtar usai menelan dua kali tegukan.
Arisha melepaskan napasnya lega. Ujian pertamanya terlewati sudah. Kini ia hendak kembali ke dapur. “Syukurlah kalo gitu, saya permisi,” pamit Arisha. Ia segera membalikkan badan tanpa menunggu persetujuan Akhtar.
“Tunggu!” Seruan itu menghentikan langkah dan tangan Arisha yang sudah memegang gagang pintu. “Mau ke mana? Bahkan kita belum sempat berbicara tentang ki-kita,” ucap Akhtar terbata.
Biar bagaimana, pria itu sedikit ada perasaan insecure dengan gadis lulusan tafsir Al Azhar Mesir itu. Sementara ia sendiri baru berkesempatan menimba ilmu di pondok pesantren dan perguruan tinggi lokal. Masih belum terjawab rasa penasaran Akhtar kenapa gadis di hadapannya ini tak menolak saja tawaran untuk menikahi dirinya. Andai hal itu dilakukan Arisha, tentu tak ada rasa bersalah dalam diri Akhtar karena dianggap telah menjebak seorang gadis dalam pernikahan yang sarat akan kepentingan politis. Kemudian ia bisa menikah dengan siapa pun, selain Arisha –sosok yang parasnya terus mengingatkannya pada Hasna.
“Di belakang masih repot, Gus. Masih ada tamu, tetangga pada berdatangan. Nanti malam saja kita bicaranya,” tolak Arisha. Akhtar mengangguk pelan. Ia tak dapat membantah argumen Arisha kali ini.
Menurut ketentuan, tamu udangan hanya sampai pukul tiga sore. Namun, masyarakat di pedesaan mempunyai karakter yang berbeda. Meski keluarga Kiai Salman tidak mengundang mereka karena pertimbangan masih suasana pandemi, tetap saja tetangga sekampung berdatangan. Mungkin mereka merasa sungkan. Oleh karena kemarin malam mendapat kiriman sekotak nasi dan kue –ganti acara tasyakuran walimah urs yang biasanya mengundang bapak-bapak.
🍂🍂🍂
“Ning, jangan lupa diminum jamunya!” Umi Anis menyodorkan sebotol jamu macan kerah dengan bahan daun sirih, jambe, bunga kenanga dan campuran bahan alam lainnya. Wanita itu ingin putrinya melalui malam pertama dengan kondisi fit.
“Jamu apa ini, Umik? Kok ada wangi-wanginya,” protes Arisha saat isi jamu itu ia pindahkan dalam gelas. Campuran bunga kenanganya menimbulkan aroma wangi.
“Sudah diminum saja, biar kamu tetap bugar, Ning. Pasti capek ‘kan menyiapkan pernikahan yang mendadak ini?” Senyum terukir di wajah Umi Anis. Ibu empat orang anak itu ingin memberikan yang terbaik bagi Arisha. Meski ia tahu, putrinya pasti telah mengobarkan sebagian mimpinya demi pernikahan ini.
Dengan hidung dijepit kedua jari -telunjuk dan jempol tangan kirinya- Arisha meneguk jamu kewanitaan itu. Sebenarnya ia tak tahan dengan minuman beraroma wangi bunga itu. Namun, gadis itu tak ingin murka dengan titah uminya. Tepat pada tegukan keempat, isi gelas itu tandas.
“Ning, ada tamu,” ucap perempuan berkerudung maroon.
“Siapa, Mbak?”
“Katanya, teman Gus Akhtar,” jelas santri yang masih duduk di bangku Aliyah itu. Ia sedang rewang, membantu menjamu para tamu.
“Laki-laki apa perempuan?”
“Laki-laki, Ning.”
“Ya udah, makasih, ya.” Arisha berjalan menuju kamar sambil memikirkan siapa tamu suaminya yang datang menjelang waktu Magrib ini. Mestinya semua tamu undangan sudah datang siang tadi. Tanpa mengetuk pintu, Arisha langsung membuka pintu kamar. Bertepatan dengan itu, Akhtar juga akan keluar kamar. Alhasil, tubuh mereka hampir bertabrakan saat pintu itu terbuka.
“Ma-maaf, Gus. A-ada tamu.” Arisha masih mengatur degup jantungnya yang terasa meloncat-loncat.
“Siapa?”
Arisha mengedikkan bahu, “Kurang tahu.”
“Kalo gitu ikut aku menemuinya.”
“Ikut?”
“Iya, pasti tamunya juga mencarimu, Dik.”
Panggilan ‘dik’ itu terasa asing di telinga Arisha. Bahkan ia sendiri saat ini masih memanggil Akhtar ‘gus.’ Belum ada kesepakatan panggilan yang akan mereka gunakan.
“Kalo gitu saya ganti baju dulu, Gus.”
“Enggak perlu. Begitu sudah cantik.” Seketika pipi Arisha merona, mendapat pujian dari sosok bertubuh tinggi dan berdada bidang yang hanya berjarak kurang dari semeter darinya.
“Ini dasternya tidak sampe menutup mata kaki, Gus.”
Mata Akhtar langsung tertuju pada kaki jenjang di hadapannya, warnanya putih bak batu pualam. Arisha sengaja memakai daster batik usai mandi sore tadi. Ia ingin sedikit membebaskan tubuhnya setelah memakai baju pengantin berlapis tiga kain. Baginya cukup berat, meski sudah dirancang sesederhana mungkin.
“Ya udah, aku temui tamunya dulu. Segera nyusul, ya.”
🍂🍂🍂
Musthofa duduk bersila di ruang tamu bersama tamu laki-laki lainnya. Ia bercengkerama dengan Kiai Salman, menceritakan asalnya dari Semarang.
“Hai Musthofa, masyaallah lama sekali kita tak jumpa!” sapa Akhtar begitu melihat sahabatnya selama mondok dulu. Kurang lebih delapan tahun mereka tidak bertemu. Hanya sesekali saja bertukar kabar lewat aplikasi pesan. Terakhir, Musthafa menceritakan kepada Akhtar jika ia berniat meminang gadis lulusan Al-Azhar yang juga tinggal di Jatim.
Saat dua sahabat itu saling berpelukan, netra Arisha langsung bertemu pandang dengan Musthafa. Seketika mulut mungil perempuan berkerudung rose pink itu menganga.
🍂🍂🍂
.
.
Bersambung
“Kak Musthofa,” gumam Arisha. Ia cepat-cepat menutup mulutnya agar tak ada yang mendengar apa yang keluar dari lisannya barusan. Melihat Arisha syok atas kehadirannya, Musthofa melonggarkan pelukan Akhtar. Sehingga dua pria itu hendak duduk kembali di karpet motif bunga mawar merah. Saat hendak mengambil posisi duduk, Akhtar baru menyadari jika istrinya berdiri di belakangnya. “Duduk sini, Dik.” Akhtar meraih pergelangan tangan Arisha, seolah menunjukkan kepada Musthofa bahwa hubungan dengan istri barunya layaknya pengantin pada umumnya, sudah saling menautkan rasa. “Tamunya ternyata temanku pas mondok dulu. Musthofa namanya, barusan lulus juga dari al-Azhar,” ucap Akhtar memperkenalkan M
Akhtar berkata apa adanya jika ia sebenarnya belum terpikir untuk menikah lagi. Tiga bulan tanpa istri bukanlah waktu yang terlalu lama baginya. Namun, jawaban Arisha yang sangat bijak, melebihi usianya yang masih 24 tahun, menjadikan Akhtar menaruh simpati. Mestinya gadis itu marah jika dirinya masih menyimpan nama wanita lain, kendati itu almarhumah istri.Bukankah Aisyah radiyallahu ‘anhu juga cemburu kepada ummul mukminin –Siti Khadijah– tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering memuji mendiang istrinya itu? Ataukah Arisha juga tersinggung hanya saja ia gengsi mengakuinya sehingga ia justru memuji sikap Akhtar yang masih belum move on dari Hasna? Akhtar masih belajar memahami karakter Arisha. “Oke, balik ke pernyataanmu tadi, ya. Kuakui pernikahan ini lebih dilatarbelakangi karena aku akan maj
“Sudah. Tangan Arisha dicium, Mik,” sahut Arisha sambil ketawa. Ia ingin mengerjai uminya yang terlalu serius. “Ih, Ning, jangan bercanda, lah. Umi serius ini. Jadi kalian belum ehem … ehem ….?” Arisha menggeleng masih dengan tawanya. Hingga gigi-giginya yang putih tampak. Ia benar-benar merasa lucu melihat ekspresi wanita yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu. Karena kepedulian Umi Anis pada hal-hal sepele hingga urusan perasaannya, selalu ditanyakan. “Kenapa … kenapa … ada masalah apa? Sini cerita sama umik.” Umi Anis menggeret tangan Arisha dan mengarahkannya duduk di kursi meja makan. 
“Mboten, Gus. Saya malah senang.” Saat menjawab demikian, Arisha melirik ke arah uminya. Umi Anis langsung menggelengkan kepala sambil netranya melotot. Sebuah kode agar Arisha menyatakan keberatan. “Iya, kalo tanya Arisha jelas dia tidak keberatan, Gus. Wong dia memang suka sama anak-anak, tapi kami ini loh Gus yang masih belum siap. Paling lama dua minggu lagi lah, insyaallah. Biar kami siap dulu, inggih, Bah?” Kini Umi Anis ganti menatap suaminya, meminta persetujuan. Kiai Salman manggut-manggut. Kakeknya Keisha itu sudah mendapat penjelasan dari Umi Anis jika Arisha dan Akhtar belum melakoni kewajiban suami istri semestinya. Makanya, Umi Anis ingin pengantin baru itu bisa bersama tanpa gangguan tangisan Keisha. Jadilah dibuat alasan yang mengada-ada ini dan Kiai Salm
Akhtar tak habis pikir, apa benar hanya karena Arisha mengibaskan rambutn lantas kebutuhan asing dalam dirinya terpancing. Lelaki yang kini mengalihkan pandangannya itu berusaha mengenali dirinya. Ia masih ingat, Hasna juga sering melakukan gerakan itu, tetapi gairahnya tidak otomatis tersulut. “Gus, dengar pertanyaan saya barusan, ‘kan?” Teguran Arisha menyadarkan Akhtar. Perempuan yang masih berdiri di ambang jendela itu menantangnya dengan wawasan, pemikiran, bukan tubuh atau seksualitas. Akhtar baru paham sekarang, ia memang lebih muda simpati pada wanita yang cerdas dan intelektual. Sejenak Akhtar mengabaikan kesimpulannya dan berusaha menjawab pertanyaan Arisha. “Lebih tepatnya diminta menjadi
Lantunan santri mengaji terdengar dari pengeras suara masjid, tanda akan masuk waktu salat Asar. Matahari pun mulai kembali ke peraduan. Sisa cahayanya menyorot jendela kamar Arisha. Ada yang menahan tawa saat lelaki yang sedang menyapu itu membanggakan dirinya. Arisha salut bukan pada Akhtar, tetapi pada wanita yang telah mendidik suaminya –Umi Hanum- yang telah berhasil menjadikan putranya sosok yang tanggap sekitar. Tidak menggantungkan semua urusan kepada pembantu. Jika mau, Akhtar saat ini bisa saja menyuruh seseorang untuk membersihkan pecahan botol parfum itu. Namun, ia memilih melakukannya sendiri. Hal itu tak akan dilakukan oleh anak lelaki yang tidak pernah dikenalkan dengan pekerjaan rumah dalam proses pengasuhannya.Pola asuh yang tidak melibatkan anak lelaki dengan pekerjaan rumah tak jarang berdampak ketika berumah tangga nanti. Jadilah istrinya kelelahan sendiri megurus rumah. Sebab suami tak sedikit pun mengulurkan tangan, meski hanya memba
Tujuan Arisha bukan hanya menyelamatkan Akhtar secara personal dari praktik politik yang membuka peluang pelakunya menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan. Melainkan lebih pada statusnya sebagai sosok yang mewakili kalangan pesantren. Cukup sudah beberapa kiai yang berkuasa akhirnya tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jangan sampai Akhtar menambah jajaran nama itu.Sungguh Arisha bertekad demikian bukan tanpa data. Ia sudah mencatat, mulai dari tataran presiden, gubernur, wali kota, bupati, bahkan sampai tingkat kepala desa. Tak sedikit dari mereka yang awalnya berlatarbelakang pesantren, seorang penceramah, juga cendikiawan, mengakhiri jabatannya dengan cara tidak terhormat.Diamnya Arisha, Akhtar anggap jawaban yang diberikannya sudah cukup. Tak perlu lagi dipersoalkan sambutan untuk siapa yang lebih meriah. Sebab konteks waktu dan suasananya pun berbeda. Saat menikah dengan Hasna, suasananya normal. Belum terjadi pande
Mereka akhirnya tiba di rumah yang berada dalam komplek pondok pesantren. Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam, namun Arisha sudah menguap beberapa kali. “Istirahatlah dulu jika sudah capek.” Arisha menggeleng. Ia bertekad menunaikan kewajiban atau lebih tepatnya mendapatkan haknya sebagai seorang istri malam ini. Meski ia bingung bagaimana harus memulai. Hingga lampu sorot dari Innova warna hitam yang berhenti di depan rumah mengenai wajah sepasang pengantin baru itu. “Siapa, Gus?” “Sepertinya Kiai Yassir,” tebak Akhtar yang sudah hafal jenis mobil sosok yang menggandengnya sebagai calon