Share

6 Kamar Baru untuk Arisha

Mboten, Gus. Saya malah senang.” Saat menjawab demikian, Arisha melirik ke arah uminya. Umi Anis langsung menggelengkan kepala sambil netranya melotot. Sebuah kode agar Arisha menyatakan keberatan.

            “Iya, kalo tanya Arisha jelas dia tidak keberatan, Gus. Wong dia memang suka sama anak-anak, tapi kami ini loh Gus yang masih belum siap. Paling lama dua minggu lagi lah, insyaallah. Biar kami siap dulu, inggih, Bah?” Kini Umi Anis ganti menatap suaminya, meminta persetujuan.

            Kiai Salman manggut-manggut. Kakeknya Keisha itu sudah mendapat penjelasan dari Umi Anis jika Arisha dan Akhtar belum melakoni kewajiban suami istri semestinya. Makanya, Umi Anis ingin pengantin baru itu bisa bersama tanpa gangguan tangisan Keisha. Jadilah dibuat alasan yang mengada-ada ini dan Kiai Salman menyepakati. 

            “Hm … kalo begitu jangan dua minggu Umi, terlalu lama. Nanti pas jadwalnya Arisha ngajar tafsir di sini, sekalian Keisha kami ajak.” Akhtar mengambil jalan tengah. Ia juga sungkan jika tidak mengabulkan permintaan mertuanya itu.

            “Inggih, Gus. Bismillah, kami sudah siap melepas Keisha saat kalian ke sini nanti.” Umi Anis lalu melirik ke arah Arisha. Wanita berkerudung abu-abu itu sudah membuat ketentuan, tak akan menyerahkan Keisha sebelum Arisha mandi junub.

🍂🍂🍂

            Matahari dalam posisi paling terik di cakrawala saat rombongan keluarga Arisha meninggalkan rumah Akhtar. Salah satu santri yang diajak dalam rombongan itu menangis, “Ning, Sabtu minggu depan tetap mengajar kami, ‘kan?” tanyanya mengiba.

            “Insyaallah, sudah jangan nangis. Doakan saja saya sehat biar bisa rutin ke Riyadus Sholihin.”

            Santri itu pun berlalu. Kini giliran Umi Anis yang berpamitan dengan anaknya yang masih gadis. “Ning, jangan lupa pesan umi,” bisiknya di telinga kanan Arisha. Arisha menanggapinya dengan senyuman.

            Terakhir, Kiai Salman. Hanya beliau yang paham bahwa Arisha punya niatan menggagalkan Akhtar mencalonkan diri sebagai wakil bupati. Umi Anis saja tidak diberi tahu agar tidak menjadi beban pikiran.

            “Kamu boleh punya pandangan lain, Ning. Tapi biar bagaimana, suami itu pemimpin. Kamu tidak bisa memaksakan kehendak. Dan jangan sampai jika Gus Akhtar tidak sepakat dengan pemikiranmu, lantas kamu enggan melayaninya. Tolong bedakan dua perkara itu.”

            Pada hakikatnya pesan Kiai Salman dan Umi Anis kepada putrinya sama. Hanya redaksinya saja yang berbeda. Mereka berharap Arisha menjadi istri yang taat kepada suaminya.

            Dengan melambaikan tangan, Arisha melepas kepergian rombongan keluarganya. Lalu ia membalikkan badan menuju koper ukuran sedang yang masih tergeletak di ruang tengah. Ia tidak membawa banyak barang, baju pun hanya empat set gamis dan beberapa potong pakaian rumahan. Selebihnya kotak seserahan yang masih utuh dalam berbagai bentuk hiasan, termasuk maharnya berupa 10 dinar. Angka yang membuat Arisha cukup terbelalak, baginya itu cukup banyak. Satu dinar kadarnya 4,25 gram emas. Jika dikurskan ke rupiah, 10 dinar itu kisaran 35 juta. Arisha tidak mematok maharnya, tetapi menyerahkan kepada Akhtar. Arisha ingin menjadi wanita yang tidak memberatkan calon suaminya dengan mahar yang tinggi. Meski akhirnya ia mendapatkan mahar cukup tinggi untuk ukuran kebiasaan di masyarakat Jawa.

            “Ahlan wasahlan zauji,” sapa Akhtar mengucapakan selamat datang kepada istrinya. Arisha tersenyum melihat tingkah Akhtar yang berlebihan. Lelaki itu membuka lebar tangan kanannya, mempersilakan Arisha lewat layaknya petugas di bagian front office hotel mewah.

            Sejak kesalahan di malam pertama yang ia lakukan karena masih belum dapat melupakan bayangan Hasna, Akhtar berjanji akan menebus semuanya dengan memperlakukan Arisha bak putri. Sehingga perempuan yang telah berkorban bersedia dijodohkan dengan dirinya itu tak akan pernah menyesal. Senyum Akhtar mengembang begitu langkah awalnya mendapat respon yang positif dari Arisha, istrinya itu tersipu.

            Mereka melewati sebuah kamar dan Akhtar membukakan kamar nomor dua tetapi dengan ukuran yang sama besar dengan kamar sebelumnya. “Ini kamar kita,” ucap Akhtar setelah membukakan pintu.  Kata ‘kita’ yang dipilih Akhtar untuk menyebut kepemilikan kamar itu menggambarkan keintiman. Yang maknanya tentu berbeda dengan ini kamarmu.

            “Kalo di depan tadi kamarnya siapa, Gus?” tanya Arisha penasaran.

            “Bukan milik siapa-siapa, hanya saja di dalamnya masih ada barang-barangnya Hasna. Aku ingin memberimu kamar baru, sehingga tak perlu membayangkan Hasna pernah menghuninya.” Pernyataan Akhtar barusan, jika mau jujur, sebenarnya lebih untuk menjaga kewarasannya sendiri. Ia tak ingin terus dalam bayang-bayanag Hasna. Bukannya ingin melupakan, ia hanya ingin memuliakan wanita yang kini menjadi tanggung jawabnya.

            Ukuran kamar pertama dengan kedua sama, 20 meter persegi. Namun desain interiornya dibuat berbeda oleh Akhtar. Seminggu yang lalu ia memanggil mebel langganannya untuk menggarap furniture baru dengan cepat. Sebab awalnya kamar ini tidak banyak perabot karena diperuntukkan kamar tamu. Alhasil, kemarin semuanya baru selesai dikerjakan. Samar, aroma kayu jati yang dilapisi plitur masih tercium.

            Sekali lagi Arisha menarik bibirnya. Bisa saja Akhtar melakukan ini untuk kepentingannya sendiri agar tidak teringat Hasna, tetapi ini langkah positif yang patut dihargai. Sebab itu berarti Akhtar juga memperhatikan perasaan Arisha. Terlebih, gadis itu cukup sering mendapatkan barang bekas milik kakaknya. Hingga menjadi cukup sensitif kala jiwanya sedang sentimentil.

            “Apakah kamu suka?” tanya Akhtar memastikan. Meski pria itu sudah melihat rona bahagia pada wajah istrinya.

            “Inggih, Gus. Kamar yang cantik.” Arisha lalu bergerak menuju jendela. Gadis itu membuka gorden dan daun jendelanya.

            “Untuk lemarinya masih kosong, sempat terpikir mengisinya sendiri tapi aku khawatir nanti pilihanku kurang tepat.” Akhtar membuka lemari sambil mengecek kuncinya tidak ada yang macet.

            “Ini sudah cukup, Gus. Saya bukan tipe perempuan yang terlalu menggilai fashion. Bahkan gamis saya hanya empat set sekarang.” Arisha pandangannya masih terkunci pad ataman mini di luar jendela. Taman dengan konsep tropis itu ditumbuhi mawar tanah yang sedang bermekaran. Ada warna merah, pink, orange, kuning, dan putih. Warna mawar tanah yang lengkap.

            “Makanya kamu memakai gamisnya Hasna saat itu?” Akhtar teringat kala mereka pertama kali bertemu.

            “Betul, Gus.” Saat itu, Arisha baru sehari menginjakkan kaki di rumahnya. Ia masih malas membongkar isi koper yang kebanyakan berisi buku dan kitab-kitab tafsir. Makanya ia mencomot bajunya Hasna. Mungkin karena pengaruh baju yang masih menyimpan aroma ibunya, Keisha saat itu langsung merasa nyaman saat digendong Arisha.

            “Hasna …” sebuah suara baritone memanggil dari arah pagar. Saat itu Arisha berdiri di teras sambil menggendong Keisha. Pengantin baru itu kembali mengingat momen pertama kali mereka berjumpa.

            Saat melihat Arisha pertama kali, Akhtar merasa sosok inilah yang tepat untuk menggantikan Hasna. Bukan karena parasnya yang mirip, tetapi kenyamanan Keisha dalam gendongan Arisha. Hanya saja, pria itu ragu. Maukah wanita dengan gelar Licence (Lc) itu menerima pinangannya? Maka, keinginan itu ia pendam sampai akhirnya Kiai Mansur menyuruh Akhtar untuk segera menikah dan menyodorkan beberapa pilihan gadis yang sudah masuk dalam daftar tunggu.

            “Gus, boleh saya tahu alasan Panjenengan mau mencalonkan diri sebagai wakil bupati?” Arisha masih berdiri di ambang jendela. Hanya saja kerudung yang tadi menutup auratnya kini tersampir di bibir ranjang.  Arisha mengibaskan rambutnya. Ia hanya bermaksud mendapatkan kesejukan dari angin yang bertiup dari luar jendela.  

            Namun, gerakannya itu menunjukkan ada keangkuhan dalam diri perempuan itu, sebuah energi, tantangan mengenai wawasannya, yang menyebabkan respon kebutuhan asing dalam diri Akhtar. Akhtar mengernyitkan kening, tidak menyukai reaksi dirinya. Ia tidak benar-benar memahami dirinya. 

.

.

(Bersambung)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status