Share

5 Jadi Budak Perempuan

“Sudah. Tangan Arisha dicium, Mik,” sahut Arisha sambil ketawa. Ia ingin mengerjai uminya yang terlalu serius.

            “Ih, Ning, jangan bercanda, lah. Umi serius ini. Jadi kalian belum ehem … ehem ….?”

            Arisha menggeleng masih dengan tawanya. Hingga gigi-giginya yang putih tampak. Ia benar-benar merasa lucu melihat ekspresi wanita yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu. Karena kepedulian Umi Anis pada hal-hal sepele hingga urusan perasaannya, selalu ditanyakan.

            “Kenapa … kenapa … ada masalah apa? Sini cerita sama umik.” Umi Anis menggeret tangan Arisha dan mengarahkannya duduk di kursi meja makan.

            “Ih, Umik apa-apa an, sih!” sahut Arisha malu-malu.

            “Apa kamu yang menolak ajakan Gus Akhtar, Ning?”

            Arisha menggeleng.

            “Ah, umi enggak percaya. Pasti kamu yang masih enggan, ‘kan?”

            “Bukan begitu, Umi. Kami ini ‘kan baru kenal, jadi ya butuh penyesuaian. Mana bisa langsung ehem … ehem … gitu.” Arisha mengikuti istilah yang digunakan uminya.

            Umi Anis menyeret kursinya agar lebih dekat dengan Arisha. “Dengerin umi, ya, Ning. Abah sama umi dulu juga dijodohkan. Belum kenal juga sebelumnya. Tapi, pas malam pertama langsung tancap gas,” jelas Umi Anis bersemangat. “Apalagi, Gus Akhtar itu sudah pernah merasakan gituan. Lelaki kalo sudah pernah ehem … ehem … bakal nagih, Ning.”

            “Ah, Umi ini bisa aja.”

            “Tuh, ‘kan dibilangin orang tua enggak percaya. Kamu ingat enggak dua minggu lalu umik ajak datang ke nikahannya Kiai Wahid?”

            Arisha mengangguk.

            “Kamu tahu berapa usia beliau?” tanya Umi Anis sambil melotot. Sementara Arisha menjawab dengan geleng kepala.

“Enam puluh lima tahun, Ning. Sudah kakek-kakek, cucunya sudah delapan. Tapi baru ditinggal wafat istrinya, sama kayak Hasna, kena covid. Malah lebih dulu Kiai Wahid nikahnya daripada Gus Akhtar. Ning paham enggak itu artinya apa?”

            Arisha mencoba untuk mencerna analog yang diberikan uminya. Ia mulai menangkap, tetapi tidak mau bersuara.

            “Itu artinya, lelaki itu tidak bisa tanpa wanita lama-lama, Ning. Yang sudah kakek-kakek saja masih ngebet nikah, apalagi Gus Akhtar yang usianya masih 28 tahun. Itu kuat-kuatnya laki-laki, Ning. Jadi, kamu enggak usah kemakan omongan orang kalo Gus Akhtar itu nikahin kamu demi dapat dukungan suara di Pilkada nanti. Jangan ditelan omongan itu. Yang bener, Gus Akhtar mau nikah lagi, karena dia masih normal sebagai laki-laki, Ning,” jelas Umi Anis menggebu-gebu.

            “Iya, iya, Umi. Arisha ngerti.”

            “Bagus, kalo kamu sudah mulai ngerti. Umi hanya khawatir, Ning. Kamu ‘kan masih polos soal ini, belum punya pengalaman. Apalagi kalian dijodohkan. Umi hanya khawatir kamu belum ikhlas, jadinya enggak mau menjalankan tugas. Paham ‘kan tugas utama istri?”

            Arisha memonyongkan mulut. Uminya terlalu underestimate dengan kemampuannya memahami masalah fikih mendasar semacam kewajiban istri.

            “Jadilah engkau seakan-akan budak perempuan bagi Gus Akhtar, Ning. Insyaallah, Gus Akhtar juga seakan-akaan jadi budak laki-laki bagimu, Ning.”

            Arisha langsung berpikir, budak, berarti akan menuruti semua keinginannya. Apakah ini jalan yang ia tempuh untuk mengubah pola pikir Akhtar agar membatalkan diri mencalonkan sebagai wakil bupati? Ia hanya punya waktu kurang dari dua pekan dari sekarang. Sebelum pengumumam calon kotentas Pilkada disampaikan secara resmi oleh KPU nantinya.

            Lalu Umi Anis mulai memberi ceramah kepada putrinya yang dianggap masih seperti anak kecil itu. Ia membahas bahwasanya tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan. Maka, setiap kali seorang istri menambah pelayanan terhadap suami, niscaya suami akan merespon kebaikan istrinya dengan kebaikan pula. Hal itu selaras dengan fitrah jiwa seseorang, bahwa ia akan jatuh cinta kepada siapa yang berbuat baik kepadanya.

            “Jagi kamu yang agresif ya, Ning. Jangan berdiam diri. Goda Gus Akhtar. Binal di depan suami itu berpahala. Ingat, Gus Akhtar sekarang itu suamimu, bukan kakak iparmu lagi. Jadi kamu jangan sungkan. Kamu harus merasa bangga loh dipilih Gus Akhtar. Karena umi dengar, enggak sedikit orang yang menawarkan putrinya untuk menggantikan posisi Hasna. Makanya umi langsung memintamu menerima tawaran Kiai Mansur. Selama tiga tahun jadi menantu, perangainya sangat baik, Ning. Percayalah, umi enggak salah pilih.”

            “Iya, Umi iya, doakan Arisha bisa jadi istri yang baik. Eh salah, jadi budak perempuan,” sahut Arisha sambil tertawa. Arisha memang cukup humoris bila dibandingkan dengan Hasna. Meski demikian, bukan berarti ia gadis slengekan. Justru ia sangat teguh memegang prinsip. Termasuk tentang sistem politik saat ini yang dinilainya belum cocok jika seorang Kiai atau ulama yang menjalankan.

            Arisha masih terus berpikir, wasilah apa yang akan ia gunakan untuk menyampaikan pemikirannya kepada Akhtar. Lalu ia kembali ingat nasihat uminya tadi, jadilah budak perempuan buat suamimu, maka ia kan menjadi budak laki-laki untukmu. “Umi memang jos gandos!” seru Arisha.

            “Umik … masaknya jangan lama-lama. Jam delapan kita harus sudah berangkat ke rumah Gus Akhtar!” seru Kiai Salman yang kebetulan melintas di dapur. Apalagi ia melihat istrinya tidak memegang alat  memasak, tetapi asyik mengobrol dengan Arisha.

            “Inggih, Bi. Wong tinggal hangatin saja rawonnya. Ini cuma bikin acar, buat tambahan nasi campur. Lauknya semua sudah siap.” Umi Anis kini beranjak dari kursinya, melanjutkan aktivitas memotong wortel.

            “Iya, aku cuma ngingetin, sudah jam enam sekarang. Kalo masakannya sudah siap, buruan ajak suamimu sarapan, Ning! Jangan sampe menunggu perutnya keroncongan.” Kini gentian Arisha yang jadi sasaran teguran Kiai Salman.

            “Inggih, Abah,” sahut Arisha sambil mengangguk.

🍂🍂🍂

              Usai sarapan, Kiai Salman mendudukkan Akhtar dan Arisha di ruang tamu. Ada yang ingin beliau sampaikan sebelum mengantarkan Arisha ke tempat tinggal Akhtar. Acara pagi ini sebagai ganti tradisi unduh mantu. Tidak banyak orang yang diajak. Hanya keluarga inti sebagaimana keluarganya Akhtar saat mengantarkan prosesi akad nikah kemarin.

            “Gus Akhtar, Ning Arisha, ini abah mau minta sesuatu ke kalian.” Akhtar sudah bersiap mendengarkan nasihat yang akan disampaikan oleh Kiai Salman. Ia berpikir akan mendapatkan tausiyah sebelum membawa anak gadisnya pindah tempat tinggal.

            “Tentang Keisha, abah sama umi ini tadi kok merasa berat buat pisah sama Keisha. Makanya kami minta, Keisha jangan dibawa dulu.”

            “Ta-tapi, Bah …” sela Akhtar merasa keberatan.

            “Iya, abah paham ini menyalahi kesepakatan sebelumnya. Mestinya Keisha kalian ajak sekarang. Tapi, abah sama umi mohon, beri kami waktu. Abah masih belum tega melepas bayi lucu ini. Tiga bulan merawatnya rasanya sebentar sekali. Abah masih terbayang-bayang pipi lucunya. Tanpa ngudang Keisha, saya enggak bakal susah tidur, Gus.”

            Akhtar membuang napasnya. Ia juga ingin setiap hari bisa melihat putri kecilnya itu. Selama tiga bulan ini, ia sudah riwa-riwi ke sini demi menyempatkan diri melihat putrinya.

            “Inggih, Gus. Umik mohon, biar kami menyiapkan hati dulu. Mungkin satu atau dua minggu lagi. Biar Ning Arisha juga bisa fokus adaptasi sama lingkungan baru di sana. Umi khawatir, jika Keisha diajak sekarang, Ning Arisha terlalu fokus sama Keisha, hingga susah menyesuaikan diri dangan sekitarnya.”

            Gus Akhtar mulai meraba makna kiasan dari ucapan ibu mertuanya itu. Jika yang dimaksud adalah memberikan waktu agar Arisha lebih fokus melayaninya, sebenarnya tidak perlu sampai menjauhkan Keisha. Sedangkan Arisha sudah paham alasan uminya itu. Tadi ia sudah didudukkan di hadapan sang abah juga. Ini semua agar Arisha bisa menjadi budak perempuan yang totalitas. Arisha tak menyangka uminya begitu serius menyiapkan dirinya bisa menjalankan peran utama sebagai istri tanpa gangguan Keisha terlebih dahulu.

            “Gimana, Dik. Apa kamu keberatan kalo Keisha ikut dengan kita sekarang?” Akhtar merasa perlu mengetahui pendapat istrinya untuk masalah ini.

.

.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status