Akhtar berkata apa adanya jika ia sebenarnya belum terpikir untuk menikah lagi. Tiga bulan tanpa istri bukanlah waktu yang terlalu lama baginya. Namun, jawaban Arisha yang sangat bijak, melebihi usianya yang masih 24 tahun, menjadikan Akhtar menaruh simpati. Mestinya gadis itu marah jika dirinya masih menyimpan nama wanita lain, kendati itu almarhumah istri.
Bukankah Aisyah radiyallahu ‘anhu juga cemburu kepada ummul mukminin –Siti Khadijah– tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi w* sallam sering memuji mendiang istrinya itu? Ataukah Arisha juga tersinggung hanya saja ia gengsi mengakuinya sehingga ia justru memuji sikap Akhtar yang masih belum move on dari Hasna? Akhtar masih belajar memahami karakter Arisha.
“Oke, balik ke pernyataanmu tadi, ya. Kuakui pernikahan ini lebih dilatarbelakangi karena aku akan maju sebagai wakil bupati. Masalah ini sudah aku bicarakan dengan Hasna dan ia mendukung sepenuhnya asalkan semua diniatkan demi kebaikan. Dan, kamu tahu sendiri bagaimana dia pergi meninggalkan kita. Tanpa sakit, tanpa tanda-tanda apa pun.” Akhtar menjeda bicaranya.
Masih sangat jelas dalam ingatan, saat pasca melahirkan anak pertama. Momen istimewa yang sudah dinantikan selama dua tahunan. Tiba-tiba, sepulang dari rumah sakit, Hasna demam. Setelah diperiksa dan dilakukan tes Swab PCR, ia dinyatakan positif covid-19. Karena kondisinya yang masih dalam masa pemulihan setelah melahirkan, daya tahan tubuhnya tidak terlalu baik untuk melawan virus. Akhirnya putri pertama Kiai Salman itu menambah deretan orang yang meninggal dalam masa wabah.
Kini Arisha memberanikan diri menoleh ke samping kiri. Baru kali ini ia melihat Akhtar dalam jarak cukup dekat. Lelaki di sampingnya tampak muram. Bahkan netranya terlihat berkaca-kaca. Sosoknya terlukis kuat dalam garis maskulin alami, tulang pipi dan rahangnya bagai diukir dan terpahat dengan nilai seni tinggi. Menarik mata setiap wanita. Pantas saja Hasna terlihat sangat bersemangat saat menceritakan kepada Arisha jika dia akan dilamar kala itu. Rupanya sosok suaminya tak hanya tampan, tetapi dari keturunan ulama. Selain itu juga lulusan pondok dan giat melakukan kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat.
Ingin rasanya Arisha meredam kesedihan yang dialami Akhtar. Tentu lelaki itu sangat terpukul. Arisha berani memastikan itu. Bagaimana tidak, sebagai suami saat dihadiahi buah hati untuk pertama kali tentunya pasti akan merasa sangat berterima kasih kepada sang istri. Bisa jadi itu adalah puncak rasa sayang dan cinta seorang suami kepada istrinya –sosok yang telah berjuang menjadikannya sebagai ayah. Tentu rasa kehilangannya melebihi rasa kehilangan seorang adik kepada kakak.
Wajah Akhtar kian memerah. Perlahan buliran bening itu terjatuh, melewati pipi dan cambangnya yang tercukur rapi. Sementara itu Arisha merasa bingung. Apa yang mesti dilakukannya? Ia pernah mendengar, lelaki tidak akan menangis kecuali jiwanya benar-benar tergoncang. Maka, Arisha berinisiatif mengambilkan tisu. Diedarkannya pandangan mencari lembaran putih itu. Lalu ia dapati ada di meja kecil di samping Akhtar bersandar. Arisha bergerak mengambil tisu itu tanpa turun dari ranjang. Maksudnya ingin menyingkat waktu. Tangan kirinya menopang tubuh, sedangkan tangan kanannya meraih tisu.
Di luar perhitungan karena saking paniknya, saat tangan Arisha mengambil lembaran putih itu, tubuhnya tepat berada di atas tubuh Akhtar. Jarak keduanya hanya sekitar sejengkal. Wajah Arisha memucat, saat Akhtar menatapnya penuh hasrat. Barulah kini Arisha sadar jika ia telah memancing situasi ini. Lalu tangan kanannya segera mencabut selembar tisu. Ia mengangsurkannya ke Akhtar, berharap dirinya bisa kembali pada posisi semula. Namun, saat Arisha menyerahkan lembaran tisu itu, tangannya digenggam oleh Akhtar. Lelaki itu mengecup punggung tangannya lembut dan dalam.
Ingin rasanya Arisha menarik diri, tetapi ia sadar, bukankah saat ini seluruh tubuhnya sudah halal untuk Akhtar. Sehingga tidak ada alasan yang dibenarkan syariat untuk menghindar. Hanya saja, Arisha belum terlalu siap jika ia harus menyerahkan diri malam ini. Ia kini memejamkan mata, mencoba menenangkan degub jantungnya yang berdetak lebih cepat. Pasti Akhtar merasakan betapa gugup dirinya. Sebab ia pun mendengar dengan jelas gemuruh dalam diri Akhtar.
Tidak lama kemudian, tangan kanan Akhtar memegang dagu Arisha. Lelaki itu menarik wajah Arisha. Sehingga hampir tak ada jarak di antara keduanya. Saat menyadari apa yang akan dilakukan suaminya, Arisha memberanikan diri berkata.
“Gus …”
Seketika Akhtar menjingkat. Lalu ia melepaskan pegangan tangannya di dagu Arisha. Seolah ia baru sadar apa yang hendak dilakukannya barusan.
“Ini tisunya,” ucap Arisha tercekat.
Dengan cepat, kesempatan ini ia gunakan untuk kembali pada posisi awal –duduk bersandar di samping Akhtar. Sepasang pengantin itu kini sama-sama tersipu. Ada kesalahpahaman yang ingin diluruskan.
“Arisha tadi aku –”
“Sudah tidak perlu menjelaskan apa pun Gus,” sela Arisha cepat. “Sepertinya kita sama-sama terlalu lelah. Masih ada besok untuk bicara. Sebaiknya sekarang kita istirahat saja.” Arisha lalu turun dari ranjang, mematikan lampu neon dan ganti menyalakan lampu tidur. Setelahnya, ia kembali berbaring dan menyadari bahwa Akhtar masih meyimpan kerinduan yang mendalam kepada kakaknya. Jika tidak, tentu suaminya itu tidak akan menjingkat dan menghentikan tindakannya begitu menyadari bukan Hasna di hadapannya.
Dua insan itu terbaring kaku dengan mata yang sama-sama terpejam, tetapi pikirannya masih berkelana. Akhtar merasa sangat bersalah sebab belum bisa menjalankan nafkah batin untuk istrinya di malam pertama. Ia hanya berharap semoga Arisha memahami keadaannya.
Sementara itu, Arisha mencoba berbaik sangka. Inikah hikmah di balik perjodohannya dengan Akhtar? Andaikan yang di posisinya saat ini bukan dirinya, tetapi wanita lain, apakah wanita itu tidak akan menangis, menyadari hati suaminya masih tertambat pada mendiang istri?
“Bersyukurlah Panjenengan Mbak Hasna, suamimu sangat mencintaimu,” batin Arisha. Selebihnya ia terlelap setelah mengenang masa kecilnya bersama sang kakak.
🍂🍂🍂
Pagi ini Akhtar dan Arisha akan berangkat ke kediaman Akhtar. Sudah menjadi kesepakatan sebelum menikah bahwa setelah akad nikah Arisha akan tinggal di rumah Akhtar sebagaimana Hasna dulu. Pertimbangannya rumah Akhtar yang terletak di perkotaan lebih memudahkan mobilitas dibandingkan dengan kediaman Kiai Salman yang berada di pegunungan. Kendati demikian, Arisha sepekan sekali akan ke rumahnya. Selain mengunjungi abah dan umi, ia juga sudah terlanjur membuat jadwal mengisi kajian tafsir di pondok pesantren Riyadus Sholihin.
Akhtar pun tidak keberatan dengan permintaan itu. Ia bersiap mengantar jemput istrinya. Apalagi jarak rumahnya dan pondok Riyadus Sholihin tidak terlalu jauh. Masih dalam lingkup kabupaten, hanya berjarak 20 kilo meter.
Arisha baru keluar dari kamar. Umi Anis memperhatikannya dari ujung rambut hingga kaki. Wanita itu sampai meletakkan pisau dan wortel yang sedang dipotongnya.
“Umi, kenapa lihatnya kayak gitu?” protes Arisha.
“Rambutmu basah, tapi jalanmu kok masih biasa,” sahut Umi Anis dengan mata dipicingkan. “Jujur sama umi, Ning. Ning semalam sudah ehem … ehem … apa belum?”
Kini Umi Anis bergerak memutari anaknya, memastikan adakah tanda-tanda lain yang memperjelas rasa ingin tahunya. Arisha tidak memakai kerudung, sehingga bagian leher yang menjadi titik perhatian Umi Anis dapat ditelusuri dengan jelas. “Tak ada bekas apa pun,” celetuk Umi Anis, “Jadi Gus Akhtar belum menyentuhmu?”
.
.
(Bersambung)
“Sudah. Tangan Arisha dicium, Mik,” sahut Arisha sambil ketawa. Ia ingin mengerjai uminya yang terlalu serius. “Ih, Ning, jangan bercanda, lah. Umi serius ini. Jadi kalian belum ehem … ehem ….?” Arisha menggeleng masih dengan tawanya. Hingga gigi-giginya yang putih tampak. Ia benar-benar merasa lucu melihat ekspresi wanita yang sudah dianggapnya sebagai sahabat itu. Karena kepedulian Umi Anis pada hal-hal sepele hingga urusan perasaannya, selalu ditanyakan. “Kenapa … kenapa … ada masalah apa? Sini cerita sama umik.” Umi Anis menggeret tangan Arisha dan mengarahkannya duduk di kursi meja makan. 
“Mboten, Gus. Saya malah senang.” Saat menjawab demikian, Arisha melirik ke arah uminya. Umi Anis langsung menggelengkan kepala sambil netranya melotot. Sebuah kode agar Arisha menyatakan keberatan. “Iya, kalo tanya Arisha jelas dia tidak keberatan, Gus. Wong dia memang suka sama anak-anak, tapi kami ini loh Gus yang masih belum siap. Paling lama dua minggu lagi lah, insyaallah. Biar kami siap dulu, inggih, Bah?” Kini Umi Anis ganti menatap suaminya, meminta persetujuan. Kiai Salman manggut-manggut. Kakeknya Keisha itu sudah mendapat penjelasan dari Umi Anis jika Arisha dan Akhtar belum melakoni kewajiban suami istri semestinya. Makanya, Umi Anis ingin pengantin baru itu bisa bersama tanpa gangguan tangisan Keisha. Jadilah dibuat alasan yang mengada-ada ini dan Kiai Salm
Akhtar tak habis pikir, apa benar hanya karena Arisha mengibaskan rambutn lantas kebutuhan asing dalam dirinya terpancing. Lelaki yang kini mengalihkan pandangannya itu berusaha mengenali dirinya. Ia masih ingat, Hasna juga sering melakukan gerakan itu, tetapi gairahnya tidak otomatis tersulut. “Gus, dengar pertanyaan saya barusan, ‘kan?” Teguran Arisha menyadarkan Akhtar. Perempuan yang masih berdiri di ambang jendela itu menantangnya dengan wawasan, pemikiran, bukan tubuh atau seksualitas. Akhtar baru paham sekarang, ia memang lebih muda simpati pada wanita yang cerdas dan intelektual. Sejenak Akhtar mengabaikan kesimpulannya dan berusaha menjawab pertanyaan Arisha. “Lebih tepatnya diminta menjadi
Lantunan santri mengaji terdengar dari pengeras suara masjid, tanda akan masuk waktu salat Asar. Matahari pun mulai kembali ke peraduan. Sisa cahayanya menyorot jendela kamar Arisha. Ada yang menahan tawa saat lelaki yang sedang menyapu itu membanggakan dirinya. Arisha salut bukan pada Akhtar, tetapi pada wanita yang telah mendidik suaminya –Umi Hanum- yang telah berhasil menjadikan putranya sosok yang tanggap sekitar. Tidak menggantungkan semua urusan kepada pembantu. Jika mau, Akhtar saat ini bisa saja menyuruh seseorang untuk membersihkan pecahan botol parfum itu. Namun, ia memilih melakukannya sendiri. Hal itu tak akan dilakukan oleh anak lelaki yang tidak pernah dikenalkan dengan pekerjaan rumah dalam proses pengasuhannya.Pola asuh yang tidak melibatkan anak lelaki dengan pekerjaan rumah tak jarang berdampak ketika berumah tangga nanti. Jadilah istrinya kelelahan sendiri megurus rumah. Sebab suami tak sedikit pun mengulurkan tangan, meski hanya memba
Tujuan Arisha bukan hanya menyelamatkan Akhtar secara personal dari praktik politik yang membuka peluang pelakunya menghalalkan segala cara untuk mewujudkan tujuan. Melainkan lebih pada statusnya sebagai sosok yang mewakili kalangan pesantren. Cukup sudah beberapa kiai yang berkuasa akhirnya tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jangan sampai Akhtar menambah jajaran nama itu.Sungguh Arisha bertekad demikian bukan tanpa data. Ia sudah mencatat, mulai dari tataran presiden, gubernur, wali kota, bupati, bahkan sampai tingkat kepala desa. Tak sedikit dari mereka yang awalnya berlatarbelakang pesantren, seorang penceramah, juga cendikiawan, mengakhiri jabatannya dengan cara tidak terhormat.Diamnya Arisha, Akhtar anggap jawaban yang diberikannya sudah cukup. Tak perlu lagi dipersoalkan sambutan untuk siapa yang lebih meriah. Sebab konteks waktu dan suasananya pun berbeda. Saat menikah dengan Hasna, suasananya normal. Belum terjadi pande
Mereka akhirnya tiba di rumah yang berada dalam komplek pondok pesantren. Jam dinding masih menunjukkan pukul delapan malam, namun Arisha sudah menguap beberapa kali. “Istirahatlah dulu jika sudah capek.” Arisha menggeleng. Ia bertekad menunaikan kewajiban atau lebih tepatnya mendapatkan haknya sebagai seorang istri malam ini. Meski ia bingung bagaimana harus memulai. Hingga lampu sorot dari Innova warna hitam yang berhenti di depan rumah mengenai wajah sepasang pengantin baru itu. “Siapa, Gus?” “Sepertinya Kiai Yassir,” tebak Akhtar yang sudah hafal jenis mobil sosok yang menggandengnya sebagai calon
Arisha gemetar bagai kuncup bunga mawar yang tertiup angin. Saat ia berusaha membukakan pintu, ternyata Akhtar berada tepat di hadapannya.Apalagi pakaian berbahan sutra yang dikenakannya saat ini model kerah V yang sangat turun. Belum lagi bagian tepinya berupa renda yang menerawang.Ia sebenarnya tidak terbiasa dengan baju model terbuka, tetapi ini adalah hadiah uminya yang harus ia pakai malam ini. Jantung Arisha berdebar cepat. Ia mundur selangkah untuk memberi Akhtar jalan.Sementara itu Akhtar hanya maju selangkah. Ia mencoba menahan untuk tidak menelan saliva, tetapi percuma. Gerakan di lehernya itu tertangkap iris cokelat Arisha.Akhtar selama ini melihat Arisha dalam balutan pakaian yang santun lagi tertutup. Hingga melihat Arisha mengenakan lingerie terasa begitu erotis. Setelah sadar dari tertegunnya, Akhtar mundur hingga pintu di belakangnya terdorong oleh punggungnya dan kini tertutup.“Mari saya pijit, Gus, eh Mas.&r
Sesuatu yang lembut dan manis terasa di bibir dan lidah Arisha. Ia berusaha mengunyah meski masih terpejam agar dapat mengidentifikasinya. Sensasi menyenangkan yang ia rasakan membuat Arisha terbangun dari tidurnya.Kurma ajwa! Kurma kering yang berasal dari wilayah Aliyah, Madinah itu, disebut sebagai salah satu jenis kurma paling baik di dunia karena campuran rasa lezat, manis, dan gurihnya sangat luar biasa. Makanya tidak heran jika harganya tergolong premium. Hanya kalangan masyarakat menengah ke atas yang menjadikannya konsumsi harian.Selain itu, jenis kurma ini meilik dari sejarahnya, Rasulullah sendiri yang memberikan nama ajwa. Dikisahkan, ketika itu, Ajwah adalah nama seorang anak dari Salman Al-Farisi -seorang nasrani yang akhirnya memeluk agama Islam. Juga mewakafkan kebun kurmanya untuk perjuangan Islam. Sebagai penghargaan dan untuk mengenang jasa-jasanya itulah, Rasulullah akhirnya menamakan kurma yang sering dimakannya ketika berbuka p