Share

4 Belum Move On

Akhtar berkata apa adanya jika ia sebenarnya belum terpikir untuk menikah lagi. Tiga bulan tanpa istri bukanlah waktu yang terlalu lama baginya. Namun, jawaban Arisha yang sangat bijak, melebihi usianya yang masih 24 tahun, menjadikan Akhtar menaruh simpati. Mestinya gadis itu marah jika dirinya masih menyimpan nama wanita lain, kendati itu almarhumah istri.

Bukankah Aisyah radiyallahu ‘anhu juga cemburu kepada ummul mukminin –Siti Khadijah– tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi w* sallam sering memuji mendiang istrinya itu? Ataukah Arisha juga tersinggung hanya saja ia gengsi mengakuinya sehingga ia justru memuji sikap Akhtar yang masih belum move on dari Hasna? Akhtar masih belajar memahami karakter Arisha.

            “Oke, balik ke pernyataanmu tadi, ya. Kuakui pernikahan ini lebih dilatarbelakangi karena aku akan maju sebagai wakil bupati. Masalah ini sudah aku bicarakan dengan Hasna dan ia mendukung sepenuhnya asalkan semua diniatkan demi kebaikan. Dan, kamu tahu sendiri bagaimana dia pergi meninggalkan kita. Tanpa sakit, tanpa tanda-tanda apa pun.” Akhtar menjeda bicaranya.

Masih sangat jelas dalam ingatan, saat pasca melahirkan anak pertama. Momen istimewa yang sudah dinantikan selama dua tahunan. Tiba-tiba, sepulang dari rumah sakit, Hasna demam. Setelah diperiksa dan dilakukan tes Swab PCR, ia dinyatakan positif covid-19. Karena kondisinya yang masih dalam masa pemulihan setelah melahirkan, daya tahan tubuhnya tidak terlalu baik untuk melawan virus. Akhirnya putri pertama Kiai Salman itu menambah deretan orang yang meninggal dalam masa wabah.

            Kini Arisha memberanikan diri menoleh ke samping kiri. Baru kali ini ia melihat Akhtar dalam jarak cukup dekat. Lelaki di sampingnya tampak muram. Bahkan netranya terlihat berkaca-kaca. Sosoknya terlukis kuat dalam garis maskulin alami, tulang pipi dan rahangnya bagai diukir dan terpahat dengan nilai seni tinggi. Menarik mata setiap wanita. Pantas saja Hasna terlihat sangat bersemangat saat menceritakan kepada Arisha jika dia akan dilamar kala itu. Rupanya sosok suaminya tak hanya tampan, tetapi dari keturunan ulama. Selain itu juga lulusan pondok dan giat melakukan kegiatan sosial di tengah-tengah masyarakat.

            Ingin rasanya Arisha meredam kesedihan yang dialami Akhtar. Tentu lelaki itu sangat terpukul. Arisha berani memastikan itu. Bagaimana tidak, sebagai suami saat dihadiahi buah hati untuk pertama kali tentunya pasti akan merasa sangat berterima kasih kepada sang istri. Bisa jadi itu adalah puncak rasa sayang dan cinta seorang suami kepada istrinya –sosok yang telah berjuang menjadikannya sebagai ayah. Tentu rasa kehilangannya melebihi rasa kehilangan seorang adik kepada kakak.

            Wajah Akhtar kian memerah. Perlahan buliran bening itu terjatuh, melewati pipi dan cambangnya yang tercukur rapi. Sementara itu Arisha merasa bingung. Apa yang mesti dilakukannya? Ia pernah mendengar, lelaki tidak akan menangis kecuali jiwanya benar-benar tergoncang. Maka, Arisha berinisiatif mengambilkan tisu. Diedarkannya pandangan mencari lembaran putih itu. Lalu ia dapati ada di meja kecil di samping Akhtar bersandar. Arisha bergerak mengambil tisu itu tanpa turun dari ranjang. Maksudnya ingin menyingkat waktu. Tangan kirinya menopang tubuh, sedangkan tangan kanannya meraih tisu.

            Di luar perhitungan karena saking paniknya, saat tangan Arisha mengambil lembaran putih itu, tubuhnya tepat berada di atas tubuh Akhtar. Jarak keduanya hanya sekitar sejengkal. Wajah Arisha memucat, saat Akhtar menatapnya penuh hasrat. Barulah kini Arisha sadar jika ia telah memancing situasi ini. Lalu tangan kanannya segera mencabut selembar tisu. Ia mengangsurkannya ke Akhtar, berharap dirinya bisa kembali pada posisi semula. Namun, saat Arisha menyerahkan lembaran tisu itu, tangannya digenggam oleh Akhtar. Lelaki itu mengecup punggung tangannya lembut dan dalam.

            Ingin rasanya Arisha menarik diri, tetapi ia sadar, bukankah saat ini seluruh tubuhnya sudah halal untuk Akhtar. Sehingga tidak ada alasan yang dibenarkan syariat untuk menghindar. Hanya saja, Arisha belum terlalu siap jika ia harus menyerahkan diri malam ini. Ia kini memejamkan mata, mencoba menenangkan degub jantungnya yang berdetak lebih cepat. Pasti Akhtar merasakan betapa gugup dirinya. Sebab ia pun mendengar dengan jelas gemuruh dalam diri Akhtar.

            Tidak lama kemudian, tangan kanan Akhtar memegang dagu Arisha. Lelaki itu menarik wajah Arisha. Sehingga hampir tak ada jarak di antara keduanya. Saat menyadari apa yang akan dilakukan suaminya, Arisha memberanikan diri berkata.

 “Gus …”

            Seketika Akhtar menjingkat. Lalu ia melepaskan pegangan tangannya di dagu Arisha. Seolah ia baru sadar apa yang hendak dilakukannya barusan.

“Ini tisunya,” ucap Arisha tercekat.

Dengan cepat, kesempatan ini ia gunakan untuk kembali pada posisi awal –duduk bersandar di samping Akhtar. Sepasang pengantin itu kini sama-sama tersipu. Ada kesalahpahaman yang ingin diluruskan.

“Arisha tadi aku –”

“Sudah tidak perlu menjelaskan apa pun Gus,” sela Arisha cepat. “Sepertinya kita sama-sama terlalu lelah. Masih ada besok untuk bicara. Sebaiknya sekarang kita istirahat saja.” Arisha lalu turun dari ranjang, mematikan lampu neon dan ganti menyalakan lampu tidur. Setelahnya, ia kembali berbaring dan menyadari bahwa Akhtar masih meyimpan kerinduan yang mendalam kepada kakaknya. Jika tidak, tentu suaminya itu tidak akan menjingkat dan menghentikan tindakannya begitu menyadari bukan Hasna di hadapannya.

Dua insan itu terbaring kaku dengan mata yang sama-sama terpejam, tetapi pikirannya masih berkelana. Akhtar merasa sangat bersalah sebab belum bisa menjalankan nafkah batin untuk istrinya di malam pertama. Ia hanya berharap semoga Arisha memahami keadaannya.

Sementara itu, Arisha mencoba berbaik sangka. Inikah hikmah di balik perjodohannya dengan Akhtar? Andaikan yang di posisinya saat ini bukan dirinya, tetapi wanita lain, apakah wanita itu tidak akan menangis, menyadari hati suaminya masih tertambat pada mendiang istri?

“Bersyukurlah Panjenengan Mbak Hasna, suamimu sangat mencintaimu,” batin Arisha. Selebihnya ia terlelap setelah mengenang masa kecilnya bersama sang kakak.

🍂🍂🍂

            Pagi ini Akhtar dan Arisha akan berangkat ke kediaman Akhtar. Sudah menjadi kesepakatan sebelum menikah bahwa setelah akad nikah Arisha akan tinggal di rumah Akhtar sebagaimana Hasna dulu. Pertimbangannya rumah Akhtar yang terletak di perkotaan lebih memudahkan mobilitas dibandingkan dengan kediaman Kiai Salman yang berada di pegunungan. Kendati demikian, Arisha sepekan sekali akan ke rumahnya. Selain mengunjungi abah dan umi, ia juga sudah terlanjur membuat jadwal mengisi kajian tafsir di pondok pesantren Riyadus Sholihin.

Akhtar pun tidak keberatan dengan permintaan itu. Ia bersiap mengantar jemput istrinya. Apalagi jarak rumahnya dan pondok Riyadus Sholihin tidak terlalu jauh. Masih dalam lingkup kabupaten, hanya berjarak 20 kilo meter.

            Arisha baru keluar dari kamar. Umi Anis memperhatikannya dari ujung rambut hingga kaki. Wanita itu sampai meletakkan pisau dan wortel yang sedang dipotongnya.

            “Umi, kenapa lihatnya kayak gitu?” protes Arisha.

            “Rambutmu basah, tapi jalanmu kok masih biasa,” sahut Umi Anis dengan mata dipicingkan. “Jujur sama umi, Ning. Ning semalam sudah ehem … ehem … apa belum?”

Kini Umi Anis bergerak memutari anaknya, memastikan adakah tanda-tanda lain yang memperjelas rasa ingin tahunya. Arisha tidak memakai kerudung, sehingga bagian leher yang menjadi titik perhatian Umi Anis dapat ditelusuri dengan jelas. “Tak ada bekas apa pun,” celetuk Umi Anis, “Jadi Gus Akhtar belum menyentuhmu?” 

.

.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status