Share

Kedatangan Kenzi Allen

Victoria yakin kalau Darren tadi menyebut nama Ralin, ia jadi berpikir kalau tuannya itu mengenal desainer baru perusahaan ini, namun sikap Ralin tidak menunjukkan hal itu, entah dia tidak mendengarnya tadi.

"Victoria, bisa tinggalkan kami?" Suara Darren menyentak lamunan gadis dewasa itu.

"Baik, Tuan," jawabnya, ia berbalik dan sempat melirik Ralin dengan mengangkat tangan memberikan semangat, Ralin mengangguk kecil.

"Kamu, kemari!" Darren memanggilnya. Ralin segera mendekat.

Darren membuka pcnya mencari nama Ralin di sana, sementara ia membiarkan wanita itu berdiri dihadapannya.

Ralin Benedict

Lulusan Rh*le Isla*d Scool Of Design Amerika Serikat.

Satu sudut bibirnya terangkat, tidak salah lagi, wanita yang selama tujuh tahun ia cari sekarang berdiri tepat dihadapannya, menjadi karyawan di perusahaannya sendiri.

Darren mengangkat kepalanya menatap Ralin yang seperti patung di hadapannya. Kesan yang ia tangkap dari wanita ini adalah, pemalu. Padahal Darren sangat mengenalnya saat di kampus dulu, tapi sepertinya Ralin tidak mengenalinya.

"Nona Ralin," sapanya.

"Ya, Tuan," jawab Ralin cepat.

"Saya menyukai semua desain Anda," ucapnya yang membuat Ralin sedikit tersenyum. Padahal ia baru melihat dua saja.

Darren kembali terpana, senyum Ralin masih sama seperti waktu dulu, "untuk menghemat waktu, kita akan pergi ke bagian manufakturin."

"Sa-saya ikut?" Ralin menunjuk dirinya sendiri. Tidak terpikir olehnya akan pergi dengan Ceo.

"Ya, Kamu yang akan menjelaskan detailnya pada pekerja. Bersiaplah!" perintah Darren. Dia sendiri kembali membuka semua desain yang di buat oleh karyawan barunya itu.

Ralin mengangguk tanpa bertanya lagi, ia kembali ke ruangannya untuk mengambil tas dan ponselnya karena setahu Ralin, pabrik perusahaan ini cukup jauh tempatnya.

Dia menunggu Darren di lobby. Tidak lama kemudian pria itu datang bersamaan dengan mobil yang berhenti tepat di hadapan mereka.

Sang sopir segera turun dan membukakan pintu mobil, Darren mempersilahkan Ralin masuk kemudian di susul oleh dirinya.

Ralin merasa canggung, baru bertemu Tuan Darren langsung pergi bersama, di mobil yang sama pula.

Jari Darren mengikuti irama musik yang di putar oleh sang sopir, ia mengetuk-ngetukkannya di atas paha. Sedangkan Ralin sudah seperti patung yang takut bergerak apa lagi bicara.

Sesungguhnya dalam hati Darren ingin Ralin bertanya padanya, namun tidak seperti harapannya hingga mereka tiba di pabrik Ralin tetap tidak bersuara.

Keduanya turun dan langsung masuk ke dalam, semua karyawan membungkuk hormat begitu melihat siapa yang datang.

"Tuan Hansel!" Darren menyapa penanggung jawab tempat itu.

"Oh, Tuan Darren, astaga, saya tidak menyadari kedatangan Anda." Pria itu langsung berdiri membungkukkan kepala.

"Saya sudah membawa desain untuk bulan depan, saya ingin pengerjaannya tepat waktu." Darren tidak ingin berbasa-basi.

Ralin segera maju dan membuka kertas itu di atas meja. Tuan Hansel memperhatikan rancangan itu.

"Belum pernah ada yang seperti ini," komentarnya.

"It's right!" Darren mengangkat jempolnya, "Nona Ralin, silahlan bila ada yang ingin Anda jelaskan!" Darren mempersilahkannya bicara.

Ralin mengangguk dan mulai menerangkannya pada pria yang sedikit lebih dewasa tersebut.

Darren hanya memperhatikan dari sofa dengan mata berbinar. Hansel sempat melihat itu.

"Saya rasa sudah cukup, Tuan." Ralin menghampiri Darren.

Pria itu menatap arlojinya lalu beranjak pergi dan di ikuti oleh Ralin.

Sebelum mencapai perusahaan Darren menyuruh sopirnya berbelok ke restoran.

Ralin hanya ikut saja, namun saat Darren memesan makanan ia tidak memesan apapun.

"Kenapa tidak makan? Aku tidak suka karyawanku tidak makan, itu akan mempengaruhi kinerja mereka," tanya Darren.

"Maaf Tuan! Saya membawa bekal dari rumah." Dengan sedikit takut Ralin mengeluarkan bekal itu dari tasnya.

Mata Darren menatap kotak berwarna biru langit itu.

Dia sedikit mendengkus lalu tertawa, sejak kapan seorang Ralin membawa bekal. Dulu dia adalah gadis yang terkenal sombong angkuh karena berasal dari keluarga kaya.

Sementara Ralin sedikit meringis tidak enak karena Darren menertawakannya. Sampai pelayan mengantar makanan pesanan Darren.

"Apa Kau membawa bekal setiap hari?" tanya Darren di sela-sela makan mereka.

"Ya, Tuan," jawabnya pelan.

"Di kantin tersedia makanan gratis," kata Darren, mungkin saja Ralin tidak tahu karena masih baru.

"Saya tahu."

Mendengar jawaban itu Darren mengeryit. Mungkin gadis dihadapannya ini sedang perbaikan gizi sehingga tidak makan makanan di luar.

"Sesekali Kau bisa mengajukan menu pilihan pada pengelola kantin itu."

Ralin menggeleng, "Saya akan tetap membawa bekal," jawab Ralin yakin.

Ini bukan Ralin yang ia tahu, ada apa dengan wanita ini. Dia berubah dari style dan berbicara juga sangat irit. Sampai-sampai tidak makan dari kantin perusahaan.

"Kau ingin jatah makanmu berubah jadi uang?"

Opss, seketika Darren menyesali pertanyaannya yang terkesan tidak sopan.

"Bukan - bukan begitu Tuan. Putriku setiap hari membawa bekal ke sekolah, jadi dia ingin aku juga membawa bekal ini setiap hari." Ralin berpikir mungkin Darren tersinggung dengan ia membawa bekal.

Darren tertegun mendengar jawaban Ralin, ia menghentikan kunyahannya, ternyata banyak yang tidak ia ketahui mengenai Ralin selama tujuh tahun ini.

Dia tidak bertanya lagi sampai ke perusahaan. Selepas Ralin turun, Darren memilih untuk pulang ke rumah.

Ibunya baru saja mengirim pesan bila sepupunya baru saja datang dari Amerika. Tentu Darren akan menunda apapun untuk bertemu sepupu sekaligus sahabatnya itu.

Pagar menjulang tinggi terlihat menutupi mansion mewah keluarga Darren, tempat tinggal keluarganya di Prancis ini. Butuh waktu lima menit lagi untuk sampai ke pintu utama Mansion itu.

Darren langsung keluar dan berlari kecil saat melihat Kenzi yang tersenyum berdiri menyambutnya.

"Apa Amerika sudah membosankan untuk di tinggali atau wanita cantik sudah punah semua?" tanya Darren.

"Lebih tepatnya sudah ku kencani semua." Kenzi terkekeh setelah mengatakannya. Seolah hal itu adalah lumrah baginya.

"Siapa yang tidak percaya, seorang Kenzi!" Darren menaikkan kedua alisnya.

Padahal Kenzi tidak begitu, rumor yang terus dihembuskan oleh pesaing hingga orang-orang berpikir ia pemain wanita, ia hanya kekasih Violin hingga saat ini sudah dua belas tahun mereka bersama.

Barulah mereka berpelukan untuk melepas rindu lalu duduk sambil bercerita. Kenzi mengatakan akan menikahi Violin dalam waktu dekat, tentu saja hal itu membuat Darren terkejut.

"Kau yakin mau menikahi wanita itu?" Dari pertanyaan itu jelas terbaca kalau Darren kurang menyukai tunangan sahabat sekaligus sepupunya itu.

"Dia selalu menuntutku," jawab Kenzi. Senyumnya yang semula merekah tadi telah berganti menjadi sendu, seperti ada yang ia pikirkan saat ini.

"Sejak kapan seorang Kenzi bisa di tuntut?" Darren menanggapinya dengan bergurau. Bertunangan sampai lima tahun saja dia tega membiarkan Violin menunggu.

"Aku serius, perusahaanku butuh dana, dia bersedia meminta bantuan ayahnya dengan syarat pernikahan."

"Butuh dana? Kau tidak pernah mengatakannya." Darren tidak mengetahui hal ini, yang ia tahu Kenzi sangat handal dalam mengelola perusahaan keluarganya.

"Tepatnya satu bulan yang lalu, Luke membawa kabur uang perusahaan."

Darren membelalak tak percaya, "Bagaimana bisa?"

"Entahlah, dia terlalu buta hingga bisa di manfaatkan oleh pacarnya. Bodoh." Ia benci setiap mengingat wajah Luke.

Luke adalah adik Kenzi yang memiliki pacar seorang dokter, namun siapa sangka wanita itu sangat beracun dan bisa mengendalikan Luke.

"Hal yang tidak pernah kulakukan, meminjam uang. Perusahaan nyaris bangkrut karena ulahnya." Kenzi masih teringat dengan kejadian itu.

Entah kenapa Darren tertawa mendengarnya hingga membuat Kenzi menyipitkan mata.

"Seharusnya Kau bersimpati bukan malah meledekku." Kenzi mendengkus kesal.

"Aku hanya menertawakan kebodohan Luke, bisa-bisanya dia menghancurkan perusahaan keluarganya sendiri."

Kenzi menggedikkan bahunya, "Violin banyak membantuku, jadi aku merasa tidak enak bila menolak ajakannya."

"Lagi pula bukankah itu wajar, Kau memacarinya sejak kuliah dan sekarang umurmu sudah tiga puluh tahun lebih. Menurutku dia terlalu sabar menunggumu."

"Kami saling mencintai, menikah atau tidak bagiku tidak penting, tetapi kali ini ia memaksaku. Dua belas tahun bersama kami saling setia, selain waktu tiga bulan pernikahanku dengan putri Benedict, itupun aku tetap memprioritaskan Violin." Kenzi menghargai kesetiannya selama ini. Ia jadi teringat dengan Ralin. "Wanita itu? Sudah jatuh miskin tetap saja sombong!" ucapnya kemudian.

Hal itu mengundang tanya dari Darren, "Aku jadi penasaran, wanita seperti apa yang kau nikahi waktu itu?"

"Wanita yang hanya mengharapkan hartaku untuk mengambil kembali perusahaan orang tuanya," jawab Kenzi.

"Aku meragukan ucapanmu, kalau dia seperti yang Kau katakan tentu ia akan memilih untuk bertahan." Darren tidak percaya sepenuhnya.

Kenzi menggedikkan bahunya, "Violin mendengar langsung dari mulutnya, itu sebabnya aku membuat hidupnya seperti di neraka."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status