Share

Namaku, Kenra Allen

Ralin duduk di depan ruang perawatan Kenra, kartu nama tersebut masih ada digenggamannya. Bagaimana mungkin dia menghubungi pria yang paling menyiksa hidupnya dulu yang ternyata adalah penyebab anaknya masuk rumah sakit.

Ralin terlihat menyeka air matanya, sebuah sapu tangan tersodor dihadapannya, Ralin mendongak dan melihat ada bosnya berdiri di dekatnya.

"Tu-tuan!" Ralin segera berdiri menyapa dan sedikit menundukkan kepala.

"Saya datang mau menjenguk putrimu," kata Darren tanpa basa basi.

"Ta-tapi ...," Ralin merasa tidak enak hati, dia ini termasuk karyawan baru. Apa pantas bosnya datang menjenguk keluarganya.

"Di mana ruangannya?" Darren menyentak lamunan Ralin.

"I-ini, Tuan." Mau tak mau Ralin pun membuka pintu ruangan Kenra si gadis kecil yang sudah membuka matanya.

"Hai cantik!" sapa Darren dengan ramah dan Ralin tidak percaya dengan yang di lihatnya.

"Kenalkan, Paman Darren, teman mommymu!" Ia mengulurkan tangannya.

"Kenra," jawab anak itu singkat.

"Paman membawakan buah untuk Kenra," kata Darren sambil menunjuk parsel kecil berisi buah-buahan.

"Terimakasih, Paman!" Kenra memang anak yang sopan, semua itu adalah ajaran dari Ralin.

Ralin meninggalkan Darren dan Kenra, ia menemui dokter yang menyerahkan kartu nama tadi.

"Nyonya sudah menghubunginya?" tanya sang dokter.

Ralin menggeleng, "Saya minta tolong agar dokter saja yang berhubungan dengannya tentang masalah biaya," kata Ralin, kedua tangannya saling meremas.

Dia tidak akan menolak pengobatan itu karena memang Ralin butuh, namun ia tidak ingin Kenzi datang ke rumah sakit. Itu saja.

Dokter mengangguk setuju.

"Dokter, saya boleh meminta bantuan, Dokter," kata Ralin sedikit ragu.

"Katakan saja." Dokter mempersilahkan ibu dari pasiennya itu bicara.

"To-long katakan pada Tuan Kenzi, tidak perlu datang ke rumah sakit. Sa-saya sudah memaafkannya." Ralin harus mengatakan ini karena tidak ingin bertemu Kenzi. Selain takut sekarang tidak lagi sama karena ada Kenra di sisinya.

Dokter yang merasa permintaan Ralin aneh tetap mengangguk setuju.

Malam hari Ralin menginap di rumah sakit, ia di temani oleh Petra.

"Petra, sekali lagi aku merepotkanmu, tolong temani Kenra di sini. Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan," ucapnya sungkan sebelum Petra pergi.

"Kau ini, seperti sama siapa saja. Aku pasti akan menemani peri kecil ini." Petra mencubit kecil hidung Kenra.

"Sakit Paman," protesnya.

Ralin merasa tenang sekarang, karena masih baru ia enggan libur, di tambah ada pekerjaan yang sangat mendesak, itupun akan ia upayakan agar selesai besok lalu permisi untuk menjaga putrinya.

Sedangkan Petra, pria itu memiliki teman yang siap menggantikan pekerjaannya.

Kenra sudah terlelap dan Petra pulang ke rumah, sementara Ralin tidak bisa terpejam dari tadi. Ingatannya kembali ke lima tahun silam, di mana ia harus menikah dengan Kenzi pria yang hanya menyentuh tubuhnya tanpa ingin mencintainya.

Violin, wanita yang selalu di puja pria itu. Awalnya Ralin pun tidak mencintai Kenzi, namun sejak pria itu menyentuhnya, perasaannya muncul perlahan hingga tumbuh di hati.

Ralin memperbaiki sikap, menyambut Kenzi dengan baik, namun makianlah yang selalu ia dapatkan. Pria itu terlalu dingin dan tidak tersentuh hatinya.

^^^^^^

Pagi-pagi sekali Petra datang dan menggantikan Ralin. Wanita itu kembali ke rumah dan bersiap hendak kerja.

"Bagaimana keadaan Kenra?" Nenek Rose menunggu di luar rumah begitu Ralin keluar ia bertanya.

"Tangannya patah, Nek. Selebihnya hanya lecet sedikit," jawab Ralin.

"Oh, cucuku yang malang!" desahnya, "aku belum bisa menjenguknya sekarang," lanjutnya.

"Tidak apa, Nek. Ada Petra yang menemaninya. Aku pergi dulu Nek!" pamit Ralin ketika melihat taksi yang ia pesan datang.

"Ya, hati-hati," sahut wanita tua itu sambil menatap kepergian wanita muda yang sudah menjadi tetangganya selama lima tahun ini.

Di perusahaan Ralin mengerjakan tugasnya dengan serius agar bisa pulang lebih cepat, dia sudah mengajukan izin pagi tadi.

"Nona Ralin bekerja?" Darren baru saja datang dan bertanya pada sekretarisnya.

Victoria mengangguk.

"Padahal putrinya masih sakit." Darren terlihat cemas.

"Nona Ralin sudah mengajukan izin cepat pulang, Tuan," kata Victoria.

Darren tampak berpikir sejenak sebelum mengatakan, "Suruh dia keruanganku sebelum pulang!" pesannya pada Victoria.

Selesai mengerjakan tugasnya Ralin segera menghadap ke ruangan Darren.

"Tuan memanggil saya?" tanyanya.

"Ya, ini tentang pekerjaanmu," kata Darren. Ralin terkesiap, apa mungkin ia telah melakukan kesalahan?

"Kau boleh meninggalkannya sampai putrimu sembuh," lanjutnya.

Bukannya senang, Ralin justru meresa tidak enak karena dia karyawan baru, "Tuan, terimakasih atas kebaikan anda, tapi bisakah saya membawa pekerjaan itu ke rumah. Dengan begitu saya tidak merasa di istimewakan sebagai karyawan baru." Ralin mendapatkan ide ini.

Darren menatapnya heran, dalam hati ia cukup mengagumi pilihan Ralin yang terkesan tidak memanfaatkan kebaikannya.

"Baiklah, aku tidak keberatan." Darren pun setuju.

Ralin kembali berterimakasih sebelum keluar dari ruangan Darren. Victoria sudah berdiri menunggu cerita dari Ralin.

"Kenapa lama sekali, apa yang kalian bicarakan? Apa Tuan Darren memecatmu?" Victoria memang kepo.

Ralin tersenyum menandakan kabar baik, "Tuan Darren memberikan izin untuk merawat putriku," kata Ralin dan hal itu sontak membuat Victoria terbelalak tak percaya. Ralin mengangguk meyakinkan.

"Astaga! Aku rasa Tuan Darren lupa meminum obatnya," komentar Victoria.

"Memangnya dia sakit?"

Victoria menggeleng, "Ini bukan dirinya, Ralin. Dia itu dingin dan terkesan tidak peduli." Victoria masih menggeleng tak percaya, "Kau sangat beruntung," pujinya.

^^^^^^

"Tuan Petra, pria yang menabrak Nona Kenra datang ingin bertemu," kata sang dokter menghampiri ruangan Kenra sementara di luar Kenzi menunggu.

"Ibunya tidak mengizinkan siapapun menjenguknya." Petra menolak dengan alasan Ralin.

"Tuan Kenzi tidak akan lama, hanya menyampaikan permintaan maaf," kata dokter lagi sesuai yang di katakan oleh Kenzi.

Sebenarnya ia sudah bicara ditelpon menyampaikan pesan dari Ralin, tetapi Kenzi tetap ingin datang menjenguk Kenra.

Petra nampak menimbang, rasanya memang tidak sopan bila menolak orang yang beritikad baik datang, lagi pula seluruh biaya Kenra hingga sembuh sudah di tanggungnya dan lagi kejadian itu tidak sepenuhnya salah pria itu.

"Baiklah, Dok. Biarkan dia masuk!" Petra mengalah akhirnya. Dokter segera membuka pintu dan memanggil Kenzi.

Saat melangkahkan kaki jantung Kenzi seakan lama berdetak, namun kuat. Perlahan ia masuk ke dalam, matanya langsung bertemu dengan manik mata Kenra gadis kecil polos yang duduk bersandar di brankar.

Mata itu seolah menghipnotisnya, Kenzi tidak bisa berpaling hingga tubuhnya telah berdiri di sisi anak kecil yang ia tabrak kemarin.

"Tuan Kenzi, saya permisi masih ada pasien yang harus diperiksa." Dokter pamit dan di angguki oleh Kenzi.

Petra tidak mau pergi, dia akan tetap mengawasi di dalam bagaimana pria itu akan meminta maaf pada Kenra kecil.

"Haa--ai!" sapa Kenzi.

Ini pertama kalinya ia gugup berhadapan dengan seseorang dan anehnya hanya seorang anak kecil.

Mata itu seperti sering ia lihat, tapi di mana? Kenzi membatin.

"Hai, Paman!" sahut Kenra dengan lancar, ia tersenyum sampai bibirnya berjarak hingga menampilkan gigi gingsulnya. Kenzi semakin terpana melihatnya.

Gadis kecil di hadapannya mirip dengan seseorang, tapi siapa? Kembali ia bertanya.

"Pa-man yang menabrakmu kemarin, tu-tujuan paman ke sini ingin me-lihat kondisimu sekaligus me-minta maaf!" Kenzi masih saja gugup.

Sedangkan Petra mengeryit mendengar pembicaraan itu. Apa memang pria ini gagap? Pikirnya.

Tanpa di duga Kenra menutup mulutnya dengan tangan kiri karena tertawa dan kini Kenzi yang mengeryit.

"Paman, gapap? Tidak lancar berbicara?" tanya Kenra masih ada senyum di bibirnya.

Kenzi pun ikut tersenyum kikuk, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Seperti sedang berhadapan dengan wanita sebaya, namun ini lebih mendebarkan.

"Ti-tidak, pa-paman tidak gagap." Kenzi menyangkalnya. Kenra kembali tertawa dan itu terlihat manis.

Ya Tuhan, Kenzi terpesona melihat anak kecil itu.

"Paman pasti takut? Tenang saja, Kenra tidak marah kok. Kata mommy, kita harus memaafkan orang yang meminta maaf pada kita," jelasnya dengan bijak.

"Oh ya?" Kenzi sangat takjub mendengarnya.

Kenra mengangguk antusias.

"Paman boleh tahu namamu?" Kenzi mengulurkan tangannya mengajak berkenalan.

"Tentu saja, namaku Kenra Allen, tapi mommy bilang cukup panggil Kenra saja padahal aku suka dengan Allen," jawab Kenra lalu berceloteh.

Raut wajah Kenzi sedikit lurus mendengar kata Allen.

"Kenapa tidak di panggil Allen saja?" tanya Kenzi ingin tahu.

"Kata mommy, Allen itu adalah marga, jadi tidak boleh memanggil anak perempuan dengan sebutan itu, kecuali kalau laki-laki yang sudah dewasa maka orang akan menyebutnya Tuan Allen."

Kenzi tersenyum mendengarnya, dia jadi ingin berlama-lama rasanya di sini bercerita dengan anak ini. Ia seolah menemukan dunia baru.

Di tengah keasyikan mereka berbincang, Petra pun permisi untuk membeli makanan. Melihat keakraban antara putri temannya dengan Kenzi cukup membuat ia berani meninggalkan mereka berdua.

"Paman!"

"Ya!"

"Kenra juga ingin minta maaf pada, Paman," kata Kenra dengan wajah menunduk memainkan kedua jarinya.

"Kenra tidak salah apa-apa pada paman," jawab Kenzi, ia mengangkat dagu kecil itu agar menoleh padanya. Kegugupannya telah hilang.

"Sebenarnya Kenra yang salah, menyebrang dengan tidak hati-hati, maafkan Kenra, Paman!"

Astaga!

Anak siapa ini. Sekecil ini pemikirannya dewasa dan sepertinya dia anak yang cerdas. Batin Kenzi.

Kenzi pun permisi setelah Petra datang, sebenarnya ia ingin bertemu dengan orang tua Kenra, tetapi ia tidak bisa lama-lama.

Ralin yang baru sampai begitu senang karena sudah tidak sabar bisa bertemu dan akan menemani putrinya sampai sembuh. Ia pun berjalan dengan cepat hingga bahunya bersenggolan dengan bahu Kenzi. Karena ingin cepat melihat putrinya, Ralin tidak melihat ke belakang, ia tetap melangkah dengan cepat sementara Kenzi berbalik sambil memegangi lengannya yang terkena bahu Ralin.

Matanya terus menatap wanita yang terkesan tidak punya sopan santun itu, ia berdecak. Sudah seharusnya wanita itu meminta maaf. Pikirnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status