Hari jum'at merupakan hari yang ditunggu oleh hampir setiap orang. Di hari inilah gerbang menuju akhir pekan mulai terbuka lebar. Namun apa yang dirasakan orang-orang tidak dirasakan oleh Kia. Dia menyambut hari ini dengan wajah yang cemberut. Demi Tuhan! Dia tidak mau menghabiskan akhir pekannya di rumah, setidaknya tidak berdua dengan Arfan.
Memasuki ruang makan, Kia melihat Arfan sudah tampak rapi dengan pakaian kerjanya. Pria itu makan dengan tenang. Bahkan kedatangan Kia tidak mengganggunya sedikit pun, seolah lupa dengan apa yang ia lakukan semalam.
"Mbak Kia semalem pulang jam berapa? Mbok khawatir loh," tanya Mbok Sum mulai mengambil makanan untuk Kia.
"Kia bisa ambil sendiri, Mbok." Ucapan Arfan membuat gerakan tangan Mbok Sum terhenti. Melihat sesuatu yang tidak beres, akhirnya wanita paruh baya itu memilih untuk berlalu ke dapur.
Kia yang tidak ingin berdebat mulai mengambil makanannya sendiri. Sebenarnya dia bukan tipe wanita manja yang suka dilayani, tapi karena kehidupannya yang selalu baik selama ini membuatnya terbiasa. Setidaknya itu dulu dan tidak lagi untuk sekarang.
Sarapan berlangsung dengan hening. Baik Arfan dan Kia tidak membuka suara sedikitpun. Arfan yang sudah menyelesaikan makanannya memilih untuk tetap duduk sambil memainkan ponselnya.
Kia mengumpat dalam hati. Kenapa pria itu tidak langsung pergi? Matanya panas melihat tingkah Arfan yang menyebalkan. Bagaimana bisa pria itu hidup membosankan seperti ini?
Arfan melirik Kia yang sudah menyelesaikan makannya. Setelah itu dia memanggil Mbok Sum untuk memintanya melakukan sesuatu.
"Iya, Mas?" tanya wanita tua itu.
"Tolong siapin bekal buat Kia ya, Mbok. Jangan lupa buah sama sayurnya."
Mata Kia membulat mendengar itu. Dengan cepat dia berdiri dan memukul meja dengan kencang. Habis sudah kesabarannya. Meskipun hanya beberapa kalimat yang terucap, tapi mampu membuat Kia kesal. Dia khawatir jika lama-lama bisa darah tinggi.
"Bekal, Mas?" tanya Mbok Sum bingung.
"Maksud Mas Arfan apa? Aku nggak mau bawa bekal!"
"Kamu bisa kelaparan kalau nggak bawa bekal," jawab Arfan santai.
"Aku bisa makan di kantin."
"Uang siapa?" tanya Arfan dengan alis yang terangkat.
Kia terdiam. Seketika dia merasa khawatir dengan apa yang akan Arfan lakukan. Dia merasa ada hal buruk yang akan terjadi sebentar lagi. Semoga apa yang Kia pikirkan itu salah.
"Uang dari Mas Arfan lah. Mana uang saku buat aku?!" Kia mulai mengulurkan tangannya.
Arfan melipat tangannya di dada dan menatap Kia tak acuh, "Nggak ada uang saku untuk hari ini."
Kia terlihat terkejut, "Nggak bisa gitu dong!"
Dimulai dari kemarin, Kia memang mendapatkan uang saku harian dari Arfan. Pria itu tidak mau memberikan uang bulanan karena tahu betapa borosnya Kia. Arfan juga sedikit diuntungkan di sini. Sesekali Kia harus diberi pelajaran untuk hidup lebih disiplin.
"Siapin ya, Mbok." Akhirnya Mbok Sum memilih untuk menurut. Lagi-lagi dia takut mendengar perdebatan Arfan dan Kia untuk yang kesekian kalinya.
"Belum ada seminggu tapi Mas Arfan udah seenaknya. Aku yakin Ayah nyesel udah percayain semuanya sama Mas Arfan," ucap Kia tajam.
"Saya cuma mau kamu belajar disiplin." Lagi-lagi Arfan menjawab dengan singkat.
"Tapi nggak gini caranya!" Kia meremas rambutnya kesal. Bahkan dia sudah merengek karena frustrasi dengan tingkah Arfan.
"Itu hukuman buat kamu karena sudah pulang malam."
Mulut Kia membulat sempurna. Ternyata Arfan benar-benar serius dengan ucapannya. Kia pikir kertas yang tertempel di pintu kamarnya semalam hanyalah surat peringatan biasa, tapi ternyata tidak.
"Emang kenapa kalau pulang malem?! Kan nggak setiap hari. Aku juga pergi sama temen-temen, nggak aneh-aneh." Kia berusaha untuk mengubah keputusan Arfan.
"Siapa yang jamin kalau kamu nggak aneh-aneh? Saya masih ingat kalau kamu kecelakaan sampai koma itu di malam hari saat mau berangkat party."
Kia terdiam mendengar ucapan Arfan. Dari mana pria itu tahu? Siapa lagi jika bukan ayahnya? Entah kenapa ucapan Arfan membuat luka lama yang ia kubur kembali terbuka. Seketika Kia teringat jika apa yang terjadi padanya saat ini juga karena kesalahannya. Andai saja malam itu dia tidak nekat pergi, penyakit jantung ayahnya tidak akan kambuh dan berujung maut.
"Kamu paham, Kia? Saya nggak mau hal itu terjadi lagi."
Kia menatap Arfan dengan bibir yang mengerucut, tidak bisa menjawab karena semua argumen yang digunakan pria itu adalah benar. Mungkin Arfan hanya ingin yang terbaik tapi Kia tidak menyukai caranya. Pria itu lebih terlihat seperti mengekangnya dari pada mendisiplinkannya.
Mbok Sum datang dengan kotak makan di tangannya. Wanita itu merasa lega saat tidak lagi mendengar pertengkaran Arfan dan Kia.
"Buahnya mana, Mbok?" tanya Arfan saat mengecek makanan yang telah disiapkan.
"Apel atau pisang, Mbak?" tanya Mbok Sum pada Kia.
"Pisang!" ucap Kia kesal dan mengambil buah pisang. Dengan kesal dia membuka pisang itu dan memakannya kasar, mencoba membayangkan wajah Arfan yang dia tekan hingga hancur seperti buah di tangannya.
"Mbak Kia beneran nggak dikasih uang saku, Mas?" tanya Mbok Sum khawatir.
Arfan terlihat berpikir dan menatap Kia lekat, "Nggak perlu," jawabnya pada akhirnya.
"Kalau nanti ada apa-apa gimana?" tanya Kia tidak terima.
"Kasih saya contoh."
Kia terdiam dan berpikir. Sebenarnya tidak ada alasan untuknya mengeluarkan uang selain untuk makan siang. Dia sudah membawa bekal hari ini dan Arfan juga mengantar-jemputnya setiap hari, jadi alasan apa yang akan ia gunakan?
"Buat pegangan aja, Mas." Mbok Sum berusaha untuk membantu Kia. Dia juga takut jika ada apa-apa dan Kia membutuhkan uang.
"Nah itu, kalau tiba-tiba aku pingin jajan cilok gimana?"
Arfan menghela napas lelah dan mulai membuka dompetnya. Kia tersenyum melihat itu, apalagi saat Arfan mengeluarkan selembar uang berwarna merah.
Arfan melihat uang di tangannya dan Kia bergantian. Setelah itu dia menatap Mbok Sum dan berbicara, "Mbok Sum ada uang lima ribu?"
Mbok Sum mulai menggali kantong dasternya dan menemukan uang pecahan lima ribu rupiah di sana, "Ada, Mas. Buat apa?"
"Bagus." Arfan bergerak untuk menukar uang seratus ribu miliknya dan uang lima ribu milik Mbok Sum, "Ini buat belanja ya, Mbok. Nanti malam masak cumi tepung."
Arfan kembali menatap Kia dan memberikan uang lima ribu itu, "Buat kamu."
"Lima ribu?" tanya Kia tidak percaya.
"Buat beli cilok kan?" tanya Arfan santai dan mulai berdiri, "Kamu siap-siap, kita berangkat sekarang."
Mbok Sum terdiam dengan apa yang Arfan lakukan. Benar-benar di luar dugaan. Wanita tua itu menatap uang di tangannya dengan bingung. Uang lima ribunya berubah menjadi berkali-kali lipat nominalnya. Bahkan jika digunakan untuk membeli cumi-cumi pun masih tersisa banyak.
"Sialan!" teriak Kia tertahan sambil menghentakkan kakinya kesal. Dia bahkan juga memukul udara dengan gemas.
Bagaimana bisa Kia bertahan sampai empat tahun jika dengan satu hari saja pria itu sudah berhasil membuatnya gila?
"Sabar, Mbak." Mbok Sum mulai menenangkan Kia.
"Dia nyebelin banget, Mbok!" Kia masih menghentakkan kakinya kesal.
"Iya.. iya.. sekarang Mbak Kia siap-siap ya, nanti telat ke sekolah."
Dengan wajah yang memerah, Kia mulai mengambil tasnya. Tidak ada lagi kesempatan untuknya berdebat dengan Arfan. Pria itu tidak akan merubah keputusannya. Baik wajah, hati, dan tingkah laku pria itu sudah mirip seperti batu yang begitu keras.
Dasar Arfan sialan!
***
TBC
Hari ini Arfan terlihat sibuk di kantor. Setelah mengantar Kia ke sekolah, dia langsung menuju kantor. Nadia sudah mengingatkannya jauh-jauh hari jika ada rapat penting yang harus ia hadiri hari ini. Saat jam istirahat seperti ini pun, Arfan memilih untuk makan siang di ruangannya. Dia harus menyelesaikan semuanya agar tidak membawa pekerjaan ke rumah, karena bagi Arfan rumah adalah tempatnya untuk lepas dari semua hal mengenai pekerjaan. Suara dering telepon memecah fokus Arfan. Dia meraih ponselnya dan melihat nama ibunya yang menghubunginya saat ini. Tanpa menunggu, Arfan langsung mengangkat panggilan itu dan bersandar pada kursinya. "Halo, Buk?" sapa Arfan. "Halo, Nak. Denger suara Ibuk nggak?" ucap suara di seberang sana. "Denger kok, Buk. Ada apa?" "Enggak, Ibuk cuma mau tanya kabar kamu, Fan." Arfan tersenyum, "Kabar aku b
Di sabtu sore, Arfan sudah rapi dengan kaos berkerah yang ia pakai. Dia mamakai jam tangannya sambil keluar dari kamar. Hari ini Arfan akan membawa Kia untuk berbelanja kebutuhannya. Meskipun sedikit memperketat ruang gerak Kia, tapi dia juga paham dengan kebutuhan wanita. Sebisa mungkin Arfan akan membuat Kia disiplin tanpa harus merasa kekurangan. Arfan mengetuk kamar Kia sebentar. Setelah mendapat sahutan, dia masuk dan bersandar pada pintu. Arfan menghela napas kasar saat melihat Kia yang tampak bermalas-malasan di atas kasur. Di depan gadis itu terdapat laptop dan banyak makanan ringan. Arfan yakin jika stok camilan di dapur sudah habis dan ini saatnya dia kembali berbelanja untuk mengisi kekosongan dapur. "Apa?" tanya Kia menghentikan film yang ia putar. Tanpa menjawab, Arfan masuk dan mulai melihat meja rias Kia. Dia memperhatian satu persatu alat kecantikan itu dengan lekat. Setelah itu dia bersandar pada m
Matahari yang sudah muncul sedari tadi tidak mengganggu tidur Kia. Dia masih betah berada di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, Kia bergerak untuk mengambil remot AC. Dia mengubah suhu ruangan menjadi lebih dingin dan kembali bergelung di dalam selimut. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana Kia bebas untuk bangun siang. Benar saja, tak butuh waktu lama dia sudah kembali ke alam mimpi. Di luar kamar, Arfan berdiri di depan pintu kamar Kia dengan ragu. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Arfan sudah bangun sejak tadi dan sampai saat ini dia masih belum mendengar suara Kia. Di sinilah dia sekarang, di depan pintu kamar gadis itu. "Kia?" panggil Arfan mulai mengetuk pintu. Saat tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk. Dia menghela napas kasar saat melihat kamar Kia yang masih gelap, bahkan tirai jendela juga belum dibuka. Akhirnya Arfan
Langit yang cerah membuat perasaan Kia jauh lebih tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan memasuki area makam. Hari ini adalah hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum kedua orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin meminta dukungan kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional nanti. Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh. "Ayo berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa. Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengajaknya untuk mengunjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur, tapi juga ada perasaan sedih karena harus kembali sadar jika dia hanya sendiri di dunia ini. S
Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya. "Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio. "Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu. Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus." "Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras. "Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh. "Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya. "Skuy lah, bu
Bersandar di kepala ranjang menjadi pilihan Arfan kali ini. Telinganya masih aktif mendengarkan petuah ibunya di seberang telepon. Mau tidak mau Arfan hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa membantah ibunya. "Kamu jangan keras-keras sama Kia." Selalu itu yang ibunya ucapkan saat mereka bertelepon. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi entah kenapa ibu Arfan sangat peduli dengan Kia. Ditambah fakta jika gadis itu sudah yatim piatu sekarang. Hanya Arfan satu-satunya orang yang dia harap bisa menjaga Kia. Seperti wasiat Pak Surya. "Kalau nggak dikasih ketegasan nanti dia ngelunjak, Buk." Suara helaan napas terdengar dari mulut ibunya. Wanita paruh baya itu memang paling mengerti anaknya. Arfan adalah tipe orang yang perfeksionis. Bagus memang, tapi tidak semua hal harus sama seperti apa yang ia inginkan. Seharusnya anaknya tahu jika sikap itu tidak bisa diterapkan pada Kia. &nbs
Sebenarnya sulit bagi Arfan untuk membiarkan Kia pergi. Bukan karena ingin mengekang, tapi dia masih tidak percaya dengan Kia. Memang selama tinggal bersama gadis itu mulai melunak. Kia sudah mulai bisa mengontrol waktu dan keuangan, tapi tidak dengan emosinya. Gadis itu masih sering marah meskipun ujung-ujungnya selalu kalah. Arfan masih menatap mobil van yang mulai menjauh dari pekarangan rumah. Dia menghela napas kasar dan menunduk. Di sampingnya ada Mbok Sum tampak menatapnya khawatir. "Mas Arfan nggak papa?" "Kia nggak bakal aneh-aneh kan, Mbok?" tanya Arfan, "Saya sudah janji sama Pak Surya buat jaga dia." "Mbok yakin Mbak Kia nggak aneh-aneh, Mas." "Saya masih kurang percaya sama teman-temannya. Mereka juga yang ajak Kia pergi di malam kecelakaan itu." "Itu udah takdir, Mas." Betul, Arfan tahu jika semua itu adalah ta
Hari minggu kali ini tidak digunakan Arfan untuk beristirahat seperti biasa. Di pagi hari, Nadia sudah berada di rumahnya untuk membicarakan masalah perusahaan. Sebagai sekretaris, Nadia termasuk orang yang cakap dan tanggap. Tak salah Pak Surya mempekerjakan wanita itu. Meja makan menjadi tempat mereka bekerja pagi ini. Dengan ditemani sarapan sederhana dan potongan buah, mereka tampak lebih santai dari pada di kantor. Arfan sendiri masih fokus pada Ipad-nya. "Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, Pak." "Untuk Pak Johan?" tanya Arfan memakan mangganya. "Sudah juga, tapi Pak Johan minta berangkat sore, Pak." Arfan mengangguk pelan, "Nggak masalah selama dia sudah ada di Bali besok lusa." "Aman, Pak." "Oke, kita sarapan dulu," ucap Arfan. Nadia tersenyum dan menyingkirkan laptop serta map-map yang