Share

8. Meminta Izin

Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya.

"Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio.

"Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu.

Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus."

"Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras.

"Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh.

"Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya.

"Skuy lah, butuh es biar kepala adem." Vita menatap Kia, "Lo ikut kan, Ki?"

Kia terdiam dan tampak berpikir. Dia ingin sekali ikut tapi dia belum meminta izin pada Arfan. Jujur saja, dia sedikit trauma dengan hukuman Arfan. Pria itu memiliki kartu As yang membuatnya bungkam. Hukuman  yang pria itu berikan bukan main-main. Arfan memang tidak melarangnya untuk pergi bersama teman-temannya, tapi harus ada izin terlebih dahulu. Jika bisa, izin harus diajukan jauh-jauh hari.

"Lo sekarang susah diajak jalan, Ki." Gio terlihat kesal.

"Ya, gimana? Kalian tau kalo hidup gue nggak sama lagi."

"Emang Mas Arfan kejem banget ya? Kalo iya gue laporin ke Kak Seto." Vita mulai membuka ponselnya.

Kia dengan cepat mencegahnya, "Ngapain Kak Seto? Emang gue bocah?"

"Jadi ikut nggak?"

Kia berdecak, "Ikut deh, tapi nggak bisa lama ya. Gue harus pulang sebelum Mas Arfan pulang kerja."

"Lo nggak dijemput?" tanya Sandra. Di tahu jika selama ini Arfan selalu menjemput Kia di sekolah.

Kia menggeleng, "Tadi bilangnya enggak bisa. Lagi sibuk di kantor."

"Bagus! Nanti biar gue yang anter pulang," ucap Gio.

Di tempat parkir, Kia menghentikan langkahnya saat melihat mobil yang ia kenal. Vita yang melihat Kia terdiam ikut melihat arah pandang Kia.

"Katanya Mas Arfan nggak jemput!" Vita tampak kesal karena dia tahu jika Kia tidak akan ikut lagi kali ini.

"Gue juga nggak tau." Kia tampak sedih. Tubuhnya seketika lemas. Kenapa Arfan tidak pernah membiarkannya untuk sendiri  walau hanya sebentar? Hanya dengan melihat pria itu, entah kenapa emosi Kia menjadi naik.

"Terus gimana?" tanya Gio.

"Gue coba ijin dulu ya, kalian jangan pergi dulu." Kia dengan cepat menghampiri mobil Arfan dan masuk ke dalamnya.

Kia menutup pintu dan mencegah Arfan yang berniat untuk menjalankan mobil, "Katanya tadi nggak bisa jemput?"

Arfan menaikkan alisnya bingung, "Rapat dundur besok. Kenapa?"

Kia menunduk dan memainkan tangannya gelisah, "Aku mau main boleh?" tanyanya pelan.

"Kamu habis ujian, nggak mau istirahat?"

Kia menatap Arfan kesal, "Istirahatku sama Mas Arfan itu beda. Mas Arfan nggak punya temen makanya tidur terus, beda sama aku."

Arfan terkejut saat Kia mengejeknya. Jika bukan karena tanggung jawab, tentu Arfan tidak akan sesibuk ini sampai lupa akan kehidupan pribadinya.

"Main sama siapa?" tanya Arfan sabar.

Kia menunjuk teman-temannya yang masih menunggu. Dari wajah-wajah itu, Arfan bisa melihat jika mereka semua mengharapkan kehadiran Kia. Gadis di sampingnya itu adalah wanita yang supel, tidak heran jika memiliki banyak teman.

"Kalau saya nggak ijinin?" tanya Arfan lagi.

Wajah Kia berubah sendu. Dulu mungkin dia bisa memberontak tapi seiring berjalannya waktu dia sudah mulai belajar jika ucapan Arfan tidak main-main. Kia takut dengan hukuman Arfan jika dia berani membantah. Bisa saja dia mengeluarkan argumennya tapi dia malas untuk melakukannya. Entah kenapa semenjak dari makam orang tuanya minggu lalu, perasaan Kia mulai melunak. Kapasitas kesabarannya seolah semakin bertambah.

"Aku nggak boleh pergi?" tanya Kia memastikan.

Saat tidak mendengar jawaban dari Arfan, Kia menghembuskan napas kasar dan mengangguk. "Aku kabarin temen-teman dulu kalau nggak bisa ikut."

Saat Kia akan membuka pintu mobil, Arfan mencegahnya. Pria itu mengambil dompetnya dan mengeluarkan tiga lembar uang berwarna merah. Arfan memberikan uang itu pada Kia.

"Ambil, main saja," ucapnya.

Kia menatap Arfan terkejut, bahkan mulutnya terbuka lebar saat ini. "Aku boleh main?"

"Cepet ambil sebelum saya berubah pikiran."

Kia tersenyum dan mengambil uang itu cepat. "Makasih ya, Mas. Aku janji nggak pulang malem."

"Harus."

Dengan semangat Kia mencium tangan Arfan sebelum pergi. Dia segera keluar dan berlari ke arah teman-temannya dengan senyuman lebar.

Arfan menggeleng pelan dan meraih ponselnya. Dia akan menghubungi Mbok Sum saat ini.

"Halo, Mbok. Menu istimewa siang ini buat nanti malam aja. Kia main sama temennya. Siang ini nggak usah masak dulu karena saya nggak pulang."

Setelah selesai, Arfan mematikan ponselnya dan mulai menjalankan mobilnya kembali ke kantor. Sebenarnya hari ini dia sudah meminta Mbok Sum untuk menyiapkan menu istimewa untuk makan siang sebagai bentuk perayaan Kia yang telah menyelesaikan ujiannya. Bahkan Arfan rela untuk memundurkan rapatnya karena ini. Namun sepertinya Kia lebih senang menghabiskan waktu bersama teman-temannya. Arfan tidak masalah, sepertinya memang ini yang Kia butuhkan.

Ucapan Kia sedikit menyentilnya tadi. Tentu Arfan tidak bisa merasakannya karena ia tidak mempunyai banyak teman. Arfan  lebih memilih tidur untuk menjernihkan pikiran, berbeda dengan Kia yang memiliki banyak teman untuk saling bertukar pikiran.

***

Tepat pukul lima sore, Arfan sudah sampai di rumah. Dia berjalan masuk dan mencari keberadaan Kia. Dia tidak melihat gadis itu di manapun. Apa dia belum pulang? Apa Kia melupakan janjinya?

Arfan masuk ke dapur dan melihat Mbok Sum yang tampak sibuk dengan masakannya.

"Kia udah pulang, Mbok?" tanya Arfan.

"Eh, Mas Arfan. Belum, Mas."

Arfan menghela napas kasar dan berlalu ke kamarnya. Namun langkahnya terhenti saat mendengar suara gaduh di depan rumah. Dia kembali ke depan dan terkejut melihat Kia yang datang dengan membawa pasukan. Terlihat ada tujuh orang yang Arfan yakini sebagai teman-teman Kia.

"Ada apa ini?" tanya Arfan yang membuat semua orang terkejut.

Kia maju selangkah saat Vita mendorongnya. Entah kenapa semua teman Kia mendadak takut pada Arfan. Apalagi saat mendengar cerita Kia tadi siang.

"Anu, Mas." Kia tampak gugup dan menggaruk lehernya, "Temen-temen mau minta izin."

"Loh, kita dijadiin tumbal," bisik Gio pada Vita yang masih bisa didengar Arfan.

"Izin buat apa?"

"Itu, Mas...," Vita tampak resah sambil memainkan tasnya.

"Kalian semua masuk, kita bicarain di dalam."

Saat Arfan masuk, semua orang tampak bernapas lega. Mereka kembali saling mendorong untuk menentukan siapa yang masuk terlebih dahulu.

"Lo duluan lah, Ki. Ini kan rumah lo!" Sandra tampak kesal karena Kia yang tampak ketakutan.

Akhirnya Kia masuk diikuti teman-temannya. Di sana sudah ada Arfan yang duduk di sofa ruang tamu.

"Kalian mau minta izin untuk apa?"

Kia menarik napas dalam dan mulai berbicara, "Anak-anak ada rencana mau liburan, aku boleh ikut nggak?"

"Liburan? Ke mana?"

"Ke Bandung," jawab Kia pelan.

Arfan mengangguk paham. Sekarang dia mengerti kenapa Kia membawa pasukannya. Gadis itu cukup pintar karena Arfan tidak mungkin menolak permintaannya di hadapan banyak orang. Meskipun apa yang ia lakukan demi kebaikan Kia tapi orang-orang juga akan berpikir jika dia terlalu mengekang gadis itu.

"Bandung? Mau ngapain?"

"Liburan lah, Mas. Habis ujian pusing tau." Kia berucap dengan bibir yang maju.

"Kapan?"

"Lusa." Kia tampak semangat saat Arfan mulai bertanya.

"Berapa lama?"

"Cuma nginep sehari."

"Nginep? Kalian semua?" Arfan seketika panik melihat ada teman Kia yang berbeda jenis kelamin.

"Kita nggak bakal aneh-aneh kok, Mas. Beneran." Gio angkat bicara saat Arfan menatapnya lekat.

Cukup lama Arfan terdiam sampai akhirnya dia tersenyum tipis, senyum yang tampak manis dan membuat teman-teman wanita Kia mulai terhipnotis.

"Kalian sudah makan?" tanya Arfan mulai berdiri.

Mereka semua kompak menggeleng.

"Kalian makan malam dulu di sini. Kebetulan Mbok Sum masak banyak buat ngerayain Kia yang udah selesai ujian."

"Mas Arfan serius?" Kia ikut berdiri dan tersenyum senang. Untuk pertama kalinya dia melihat Arfan yang terbuka seperti ini. Apalagi pada teman-temannya.

"Iya, kalian santai-santai dulu. Kia ikut saya sebentar."

Kia mengangguk dan mulai mengikuti Arfan sampai di depan kamar pria itu. Senyumnya masih merekah berpikir jika Arfan akan mengizinkannya pergi berlibur karena respon yang diberikan cukup baik.

"Gimana, Mas? Boleh ya?"

Arfan menghela napas kasar dan berbalik, "Jangan senang dulu. Saya belum ambil keputusan. Jujur saya agak keberatan kalau kamu nginep."

"Ya masa ke Bandung cuma sehari?"

"Biar saya pikirin nanti."

"Tapi Mas Arfan baik sama temen-temenku, aku pikir bakal diizinin." Kia mengerucutkan bibirnya kesal.

"Nggak ada hubungannya. Teman-teman kamu itu tamu. Jadi saya harus sopan. Udah sana balik ke bawah."

Kia menatap Arfan kesal. Dia tidak ragu lagi untuk menunjukkan wajah marahnya. Melihat itu, Arfan tersenyum tipis dan mendorong pelan wajah Kia. Setelah itu dia masuk ke kamar meninggalkan Kia di depan pintu.

"Nyebelin tau nggak!" teriak Kia kesal dan menendang pintu kamar.

Arfan menggelengkan kepalanya pelan dan bergegas membersihkan diri. Dia harus cepat karena ada teman-teman Kia di bawah. Setidaknya dengan seperti ini, dia bisa melihat bagaimana karakter teman-teman Kia. Apa benar mereka yang memberi pengaruh negatif pada Kia sehingga menjadi bebal seperti ini?

***

TBC

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Uswa Cmc
mulai seru seh
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status