Share

6. Chef Arfan

Matahari yang sudah muncul sedari tadi tidak mengganggu tidur Kia. Dia masih betah berada di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, Kia bergerak untuk mengambil remot AC. Dia mengubah suhu ruangan menjadi lebih dingin dan kembali bergelung di dalam selimut. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana Kia bebas untuk bangun siang. Benar saja, tak butuh waktu lama dia sudah kembali ke alam mimpi.

Di luar kamar, Arfan berdiri di depan pintu kamar Kia dengan ragu. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Arfan sudah bangun sejak tadi dan sampai saat ini dia masih belum mendengar suara Kia. Di sinilah dia sekarang, di depan pintu kamar gadis itu.

"Kia?" panggil Arfan mulai mengetuk pintu.

Saat tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk. Dia menghela napas kasar saat melihat kamar Kia yang masih gelap, bahkan tirai jendela juga belum dibuka. Akhirnya Arfan masuk dan melihat Kia yang masih tidur dengan lelap.

Kepalanya menggeleng melihat pola hidup Kia yang tidak teratur. Terbiasa bangun pagi dan hidup sesuai jadwal membuat Arfan mengelus dada melihat tingkah Kia. Perlahan tangannya terulur untuk membuka tirai jendela, membiarkan cahaya matahari mulai memasuki kamar. Arfan juga mematikan AC untuk menghemat listrik. Setelah itu dia berlalu keluar kamar. Arfan tidak membangunkan Kia secara langsung, tetapi dia akan membuat gadis itu bangun dengan sendirinya.

***

Suara langkah kaki yang menuruni anak tangga membuat Arfan menoleh. Dia melihat Kia sudah terlihat segar dengan pakaian rumahnya. Arfan yang sedang menonton film di ruang tengah mengalihkan pandangannya kembali ke televisi, mengabaikan Kia yang berjalan menuju dapur. Sudah dipastikan jika gadis itu sedang lapar saat ini.

"Mbok Sum ke mana, Mas? Kok nggak keliatan?" Kia kembali muncul dengan sepiring nasi di tangannya. Dia duduk di atas karpet dan ikut menonton film yang Arfan putar.

"Mbok Sum di kamar. Nggak enak badan katanya," jawab Arfan melirik piring Kia, memastikan jika menu makan gadis itu sudah lengkap.

"Udah minum obat?" tanya Kia.

"Sudah."

Tidak ada yang berbicara setelah itu. Baik Kia dan Arfan kembali fokus pada film yang mereka tonton. Beginilah kehidupan mereka, begitu dingin dan monoton. Kadang bisa terasa panas jika ada perdebatan yang hebat.

"Enak?" tanya Arfan.

Kia mengangguk dan meletakkan piring kosongnya di atas meja, "Enak. Pesen di restoran mana?" tanyanya saat mengingat jika Mbok Sum masih sakit dan harus beristirahat.

Arfan tersenyum tipis, "Saya yang masak."

Kia yang sedang meminum air putihnya tersedak mendengar itu. Dia menatap Arfan tidak percaya.

"Bohong banget," ucapnya.

"Terserah." Arfan mengangkat bahunya tidak peduli. Lagipula dia tidak butuh pengakuan dari Kia.

"Beneran Mas Arfan yang masak?" tanya Kia ragu.

Bagaimana tidak ragu jika menu siang ini adalah bebek madura? Dari mana Arfan belajar membuat makanan yang cukup rumit itu?

"Kalau nggak percaya ya udah."

Kia mencibir, "Iya, aku emang nggak percaya."

Kia belalu ke dapur dengan membawa piring kotornya. Dia kembali ke ruang tengah dan kali ini duduk di samping Arfan. Dia menatap pria di depannya dengan wajah yang memelas.

Arfan melirik Kia dengan bingung, "Apa lagi?"

"Aku boleh keluar nggak?" tanya Kia hati-hati.

Arfan mematikan televisi dan menatap Kia lekat, "Mau ke mana?"

"Main sama temen-temen."

Dahi Arfan berkerut, "Bukanya kamu udah main kemarin?"

Kia mengerutkan dahinya bingung, "Kapan?"

"Kemarin, waktu saya nggak bisa jemput kamu."

Kia membulatkan matanya tidak percaya, "Itu kan udah lama. Lagian cuma sebentar."

"Tapi kamu nggak ijin."

Kia semakin mendekatkan duduknya, "Makanya sekarang aku ijin. Boleh ya?"

"Sama siapa?" tanya Arfan lagi.

Kia berdecak, "Sama temen lah, Mas."

"Ada pacar kamu?"

"Pacar?" tanya Kia bingung.

"Cowok yang anter kamu kemarin?"

"Gio?" tanya Kia bingung, "Ya pasti ada, kan kita sekelas."

"Kalau gitu nggak boleh pergi." Arfan berdiri dan berlalu menuju kamarnya.

"Kenapa?" Kia menatap punggung Arfan kesal.

Benar bukan? Jika tidak membosankan maka hawa panas yang akan muncul karena perdebatan mereka.

"Papa kamu nggak bolehin kamu pacaran dulu," jawab Arfan tak acuh.

"Tapi Gio bukan pacar aku." Kia mengikuti langkah Arfan, berusaha untuk meyakinkan pria itu untuk merubah keputusannya.

"Bohong."

Kia berdecak, "Ya udah kalau nggak percaya."

"Iya, saya memang nggak percaya." Arfan bebalik saat sudah berada di depan kamarnya, "Jatah main kamu cuma dua kali seminggu. Bisa berubah kalau kamu nggak nakal. Sekarang, mending kamu belajar. Buku yang kita beli kemarin belum kamu buka kan? Sekarang kerjakan sampai halaman 20, setelah itu kasih ke saya nanti."

"Apaan sih? Nggak, nggak mau! Bosen tau di sekolah belajar, di rumah juga belajar," ucap Kia kesal.

"Satu nomer benar kamu dapet lima ribu."

Kia tampak berpikir mendengar tawaran itu, "Naikin," ucapnya dengan dagu yang terangkat.

Arfan menggeleng pelan, "Kerjakan sampai halaman 20, sekarang."

"Naikin!" Kia menghentakkan kakinya kesal.

"Lima ribu atau nggak sama sekali?"

"Oke, deal!" Kia dengan cepat berlari ke kamarnya.

"Waktu kamu cuma sampai nanti sore. Setelah itu uangmu hangus."

"Curang!" Kia kembali menghampiri Arfan.

Melihat itu, Arfan dengan cepat masuk ke kamarnya dan menguncinya. Mengabaikan Kia yang tampak kesal dengan tendangan di pintu kamarnya. Arfan menggeleng pelan dan mulai merebahkan diri di atas kasur.

Arfan tidak menyangka jika mengurus seseorang akan sesulit ini. Sudah bertahun-tahun dia hidup sendiri dan selama itu pula dia terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri. Bahkan Arfan tidak berpikir untuk dekat dengan seorang wanita. Bukannya tidak suka, tapi Arfan belum ingin untuk saat ini.

***

Arfan mengetuk pintu kamar Kia saat gadis itu tak kunjung keluar. Saat tidak mendengar suara sahutan, Arfan memutuskan untuk masuk. Langkahnya terhenti saat melihat Kia yang menatapnya tajam dari meja belajarnya.

"Belum selesai?" tanya Arfan berjalan mendekat.

Kia berdecak dan mulai merengek, "Kepalaku pusing," ucapnya sambil menjatuhkan kepalanya di atas meja.

Arfan menghela napas pelan dan melihat soal-soal yang Kia kerjakan. Masih sampai pada halaman 10, itupun dia memilih untuk mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Pikiran Arfan tentang Kia yang mengerjakan soal matematika ternyata salah. Tentu gadis itu tidak akan mau mempersulit hidupnya.

"Nanti saya koreksi," ucap Arfan.

Kia mengangkat kepalanya dan menatap Arfan yang berdiri di sampingnya, "Udahan ya? Aku capek."

"Kamu bosen?" tanya Arfan mengabaikan permintaan Kia.

"Bosen banget!"

"Mau bikin kue?" tanya Arfan tiba-tiba.

"Kue?"

"Mau nggak? Ayo bantu saya di dapur."

Kia mendongak untuk menatap wajah Arfan lebih jelas, "Mas Arfan bisa bikin kue?"

Arfan tersenyum miring, "Mau nggak?"

"Aku mau donat," ucap Kia cepat.

"Oke." Setelah mengucapkan itu, Arfan mulai keluar dari kamar.

Kia yang masih duduk di meja kerjanya mendadak linglung. Entah kenapa tingkah Arfan seperti bunglon. Kadang menyebalkan tapi kadang juga bisa berubah baik. Pria itu tidak memiliki kepribadian ganda bukan? Seketika tubuh Kia merinding. Sepertinya dia terlalu banyak menonton film hingga memiliki pikiran seperti itu.

"Jadi bikin kue nggak?!" Suara keras Arfan membuat Kia bangkit dan berlari keluar kamar.

Meskipun tidak pandai memasak, Kia lebih memilih untuk berada di dapur dari pada mengerjakan soal-soal yang membuatnya pusing. Tidak ada salahnya memang belajar. Namun untuk di hari libur, Kia tidak mau melakukannya. Dia bisa gila jika dipaksa dan lebih parahnya lagi mentalnya yang akan terganggu. Sepertinya bermain tepung di dapur atau mengganggu Arfan adalah opsi yang bagus untuk saat ini.

Kita lihat seberapa ahlinya Chef Arfan di dalam dapur. Jujur saja, Kia masih tidak percaya jika pria itu pandai memasak.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status