Matahari yang sudah muncul sedari tadi tidak mengganggu tidur Kia. Dia masih betah berada di bawah selimut yang menutupi tubuhnya. Dengan mata yang terpejam, Kia bergerak untuk mengambil remot AC. Dia mengubah suhu ruangan menjadi lebih dingin dan kembali bergelung di dalam selimut. Hari ini adalah hari minggu, hari di mana Kia bebas untuk bangun siang. Benar saja, tak butuh waktu lama dia sudah kembali ke alam mimpi.
Di luar kamar, Arfan berdiri di depan pintu kamar Kia dengan ragu. Dia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Arfan sudah bangun sejak tadi dan sampai saat ini dia masih belum mendengar suara Kia. Di sinilah dia sekarang, di depan pintu kamar gadis itu.
"Kia?" panggil Arfan mulai mengetuk pintu.
Saat tidak mendengar sahutan, akhirnya Arfan memutuskan untuk masuk. Dia menghela napas kasar saat melihat kamar Kia yang masih gelap, bahkan tirai jendela juga belum dibuka. Akhirnya Arfan masuk dan melihat Kia yang masih tidur dengan lelap.
Kepalanya menggeleng melihat pola hidup Kia yang tidak teratur. Terbiasa bangun pagi dan hidup sesuai jadwal membuat Arfan mengelus dada melihat tingkah Kia. Perlahan tangannya terulur untuk membuka tirai jendela, membiarkan cahaya matahari mulai memasuki kamar. Arfan juga mematikan AC untuk menghemat listrik. Setelah itu dia berlalu keluar kamar. Arfan tidak membangunkan Kia secara langsung, tetapi dia akan membuat gadis itu bangun dengan sendirinya.
***
Suara langkah kaki yang menuruni anak tangga membuat Arfan menoleh. Dia melihat Kia sudah terlihat segar dengan pakaian rumahnya. Arfan yang sedang menonton film di ruang tengah mengalihkan pandangannya kembali ke televisi, mengabaikan Kia yang berjalan menuju dapur. Sudah dipastikan jika gadis itu sedang lapar saat ini.
"Mbok Sum ke mana, Mas? Kok nggak keliatan?" Kia kembali muncul dengan sepiring nasi di tangannya. Dia duduk di atas karpet dan ikut menonton film yang Arfan putar.
"Mbok Sum di kamar. Nggak enak badan katanya," jawab Arfan melirik piring Kia, memastikan jika menu makan gadis itu sudah lengkap.
"Udah minum obat?" tanya Kia.
"Sudah."
Tidak ada yang berbicara setelah itu. Baik Kia dan Arfan kembali fokus pada film yang mereka tonton. Beginilah kehidupan mereka, begitu dingin dan monoton. Kadang bisa terasa panas jika ada perdebatan yang hebat.
"Enak?" tanya Arfan.
Kia mengangguk dan meletakkan piring kosongnya di atas meja, "Enak. Pesen di restoran mana?" tanyanya saat mengingat jika Mbok Sum masih sakit dan harus beristirahat.
Arfan tersenyum tipis, "Saya yang masak."
Kia yang sedang meminum air putihnya tersedak mendengar itu. Dia menatap Arfan tidak percaya.
"Bohong banget," ucapnya.
"Terserah." Arfan mengangkat bahunya tidak peduli. Lagipula dia tidak butuh pengakuan dari Kia.
"Beneran Mas Arfan yang masak?" tanya Kia ragu.
Bagaimana tidak ragu jika menu siang ini adalah bebek madura? Dari mana Arfan belajar membuat makanan yang cukup rumit itu?
"Kalau nggak percaya ya udah."
Kia mencibir, "Iya, aku emang nggak percaya."
Kia belalu ke dapur dengan membawa piring kotornya. Dia kembali ke ruang tengah dan kali ini duduk di samping Arfan. Dia menatap pria di depannya dengan wajah yang memelas.
Arfan melirik Kia dengan bingung, "Apa lagi?"
"Aku boleh keluar nggak?" tanya Kia hati-hati.
Arfan mematikan televisi dan menatap Kia lekat, "Mau ke mana?"
"Main sama temen-temen."
Dahi Arfan berkerut, "Bukanya kamu udah main kemarin?"
Kia mengerutkan dahinya bingung, "Kapan?"
"Kemarin, waktu saya nggak bisa jemput kamu."
Kia membulatkan matanya tidak percaya, "Itu kan udah lama. Lagian cuma sebentar."
"Tapi kamu nggak ijin."
Kia semakin mendekatkan duduknya, "Makanya sekarang aku ijin. Boleh ya?"
"Sama siapa?" tanya Arfan lagi.
Kia berdecak, "Sama temen lah, Mas."
"Ada pacar kamu?"
"Pacar?" tanya Kia bingung.
"Cowok yang anter kamu kemarin?"
"Gio?" tanya Kia bingung, "Ya pasti ada, kan kita sekelas."
"Kalau gitu nggak boleh pergi." Arfan berdiri dan berlalu menuju kamarnya.
"Kenapa?" Kia menatap punggung Arfan kesal.
Benar bukan? Jika tidak membosankan maka hawa panas yang akan muncul karena perdebatan mereka.
"Papa kamu nggak bolehin kamu pacaran dulu," jawab Arfan tak acuh.
"Tapi Gio bukan pacar aku." Kia mengikuti langkah Arfan, berusaha untuk meyakinkan pria itu untuk merubah keputusannya.
"Bohong."
Kia berdecak, "Ya udah kalau nggak percaya."
"Iya, saya memang nggak percaya." Arfan bebalik saat sudah berada di depan kamarnya, "Jatah main kamu cuma dua kali seminggu. Bisa berubah kalau kamu nggak nakal. Sekarang, mending kamu belajar. Buku yang kita beli kemarin belum kamu buka kan? Sekarang kerjakan sampai halaman 20, setelah itu kasih ke saya nanti."
"Apaan sih? Nggak, nggak mau! Bosen tau di sekolah belajar, di rumah juga belajar," ucap Kia kesal.
"Satu nomer benar kamu dapet lima ribu."
Kia tampak berpikir mendengar tawaran itu, "Naikin," ucapnya dengan dagu yang terangkat.
Arfan menggeleng pelan, "Kerjakan sampai halaman 20, sekarang."
"Naikin!" Kia menghentakkan kakinya kesal.
"Lima ribu atau nggak sama sekali?"
"Oke, deal!" Kia dengan cepat berlari ke kamarnya.
"Waktu kamu cuma sampai nanti sore. Setelah itu uangmu hangus."
"Curang!" Kia kembali menghampiri Arfan.
Melihat itu, Arfan dengan cepat masuk ke kamarnya dan menguncinya. Mengabaikan Kia yang tampak kesal dengan tendangan di pintu kamarnya. Arfan menggeleng pelan dan mulai merebahkan diri di atas kasur.
Arfan tidak menyangka jika mengurus seseorang akan sesulit ini. Sudah bertahun-tahun dia hidup sendiri dan selama itu pula dia terbiasa untuk melakukan semuanya sendiri. Bahkan Arfan tidak berpikir untuk dekat dengan seorang wanita. Bukannya tidak suka, tapi Arfan belum ingin untuk saat ini.
***
Arfan mengetuk pintu kamar Kia saat gadis itu tak kunjung keluar. Saat tidak mendengar suara sahutan, Arfan memutuskan untuk masuk. Langkahnya terhenti saat melihat Kia yang menatapnya tajam dari meja belajarnya.
"Belum selesai?" tanya Arfan berjalan mendekat.
Kia berdecak dan mulai merengek, "Kepalaku pusing," ucapnya sambil menjatuhkan kepalanya di atas meja.
Arfan menghela napas pelan dan melihat soal-soal yang Kia kerjakan. Masih sampai pada halaman 10, itupun dia memilih untuk mengerjakan soal Bahasa Indonesia. Pikiran Arfan tentang Kia yang mengerjakan soal matematika ternyata salah. Tentu gadis itu tidak akan mau mempersulit hidupnya.
"Nanti saya koreksi," ucap Arfan.
Kia mengangkat kepalanya dan menatap Arfan yang berdiri di sampingnya, "Udahan ya? Aku capek."
"Kamu bosen?" tanya Arfan mengabaikan permintaan Kia.
"Bosen banget!"
"Mau bikin kue?" tanya Arfan tiba-tiba.
"Kue?"
"Mau nggak? Ayo bantu saya di dapur."
Kia mendongak untuk menatap wajah Arfan lebih jelas, "Mas Arfan bisa bikin kue?"
Arfan tersenyum miring, "Mau nggak?"
"Aku mau donat," ucap Kia cepat.
"Oke." Setelah mengucapkan itu, Arfan mulai keluar dari kamar.
Kia yang masih duduk di meja kerjanya mendadak linglung. Entah kenapa tingkah Arfan seperti bunglon. Kadang menyebalkan tapi kadang juga bisa berubah baik. Pria itu tidak memiliki kepribadian ganda bukan? Seketika tubuh Kia merinding. Sepertinya dia terlalu banyak menonton film hingga memiliki pikiran seperti itu.
"Jadi bikin kue nggak?!" Suara keras Arfan membuat Kia bangkit dan berlari keluar kamar.
Meskipun tidak pandai memasak, Kia lebih memilih untuk berada di dapur dari pada mengerjakan soal-soal yang membuatnya pusing. Tidak ada salahnya memang belajar. Namun untuk di hari libur, Kia tidak mau melakukannya. Dia bisa gila jika dipaksa dan lebih parahnya lagi mentalnya yang akan terganggu. Sepertinya bermain tepung di dapur atau mengganggu Arfan adalah opsi yang bagus untuk saat ini.
Kita lihat seberapa ahlinya Chef Arfan di dalam dapur. Jujur saja, Kia masih tidak percaya jika pria itu pandai memasak.
***
TBC
Langit yang cerah membuat perasaan Kia jauh lebih tenang. Dia keluar dari mobil dan berjalan memasuki area makam. Hari ini adalah hari Jumat, baik dirinya, Arfan, dan Mbok Sum memutuskan untuk mendatangi makam almarhum kedua orang tuanya. Selain itu Kia juga ingin meminta dukungan kedua orang tuanya sebelum melakukan ujian nasional nanti. Wajah Kia mulai berubah sedih. Dia menatap dua gundukan tanah yang terawat di depannya dengan perasaan sakit. Dia merindukan kedua orang tuanya. Kia merindukan masa kecil di mana keluarganya masih utuh. "Ayo berdoa." Arfan mulai duduk dan memimpin doa. Kia tidak banyak berbicara hari ini. Dia lebih banyak menurut karena memang tidak mau berdebat dengan Arfan. Sudah bagus pria itu mengajaknya untuk mengunjungi makan kedua orang tuanya sebelum ujian. Ada rasa syukur, tapi juga ada perasaan sedih karena harus kembali sadar jika dia hanya sendiri di dunia ini. S
Ujian nasional telah berakhir, Kia dan teman-temannya keluar dari kelas dengan perasaan lega. Rasa kalut dan pusing di kepala langsung lenyap seketika. Seperti prinsip yang dipegang oleh Kia selama ini, kerjakan dan lupakan. Jika terus dipikirkan maka dia bisa gila nantinya. "Akhirnya selesai juga. Nggak sia-sia gue iku bimbel," ucap Gio. "Gila ya, gue ngerjain nggak ada yang paham tadi. Masa beda sama yang gue pelajarin semalem." Ganti Sandra yang menggerutu. Kia terkekeh dan merangkul bahu Sandra, "Lupain, sekarang kita fokus sama tes masuk kampus." "Ya Allah, pening pala gue!" Gio memukul keningnya keras. "Sama, gue pikir kalau udah lulus bakal santai ternyata malah banyak pikiran." Vita ikut mengeluh. "Nongkrong yuk, refreshing. Anak-anak udah nungguin di depan," ucap Gio sambil membaca pesan dari temannya. "Skuy lah, bu
Bersandar di kepala ranjang menjadi pilihan Arfan kali ini. Telinganya masih aktif mendengarkan petuah ibunya di seberang telepon. Mau tidak mau Arfan hanya bisa mengangguk. Dia tidak bisa membantah ibunya. "Kamu jangan keras-keras sama Kia." Selalu itu yang ibunya ucapkan saat mereka bertelepon. Meskipun hanya bertemu satu kali, tapi entah kenapa ibu Arfan sangat peduli dengan Kia. Ditambah fakta jika gadis itu sudah yatim piatu sekarang. Hanya Arfan satu-satunya orang yang dia harap bisa menjaga Kia. Seperti wasiat Pak Surya. "Kalau nggak dikasih ketegasan nanti dia ngelunjak, Buk." Suara helaan napas terdengar dari mulut ibunya. Wanita paruh baya itu memang paling mengerti anaknya. Arfan adalah tipe orang yang perfeksionis. Bagus memang, tapi tidak semua hal harus sama seperti apa yang ia inginkan. Seharusnya anaknya tahu jika sikap itu tidak bisa diterapkan pada Kia. &nbs
Sebenarnya sulit bagi Arfan untuk membiarkan Kia pergi. Bukan karena ingin mengekang, tapi dia masih tidak percaya dengan Kia. Memang selama tinggal bersama gadis itu mulai melunak. Kia sudah mulai bisa mengontrol waktu dan keuangan, tapi tidak dengan emosinya. Gadis itu masih sering marah meskipun ujung-ujungnya selalu kalah. Arfan masih menatap mobil van yang mulai menjauh dari pekarangan rumah. Dia menghela napas kasar dan menunduk. Di sampingnya ada Mbok Sum tampak menatapnya khawatir. "Mas Arfan nggak papa?" "Kia nggak bakal aneh-aneh kan, Mbok?" tanya Arfan, "Saya sudah janji sama Pak Surya buat jaga dia." "Mbok yakin Mbak Kia nggak aneh-aneh, Mas." "Saya masih kurang percaya sama teman-temannya. Mereka juga yang ajak Kia pergi di malam kecelakaan itu." "Itu udah takdir, Mas." Betul, Arfan tahu jika semua itu adalah ta
Hari minggu kali ini tidak digunakan Arfan untuk beristirahat seperti biasa. Di pagi hari, Nadia sudah berada di rumahnya untuk membicarakan masalah perusahaan. Sebagai sekretaris, Nadia termasuk orang yang cakap dan tanggap. Tak salah Pak Surya mempekerjakan wanita itu. Meja makan menjadi tempat mereka bekerja pagi ini. Dengan ditemani sarapan sederhana dan potongan buah, mereka tampak lebih santai dari pada di kantor. Arfan sendiri masih fokus pada Ipad-nya. "Saya sudah pesan tiket pesawat untuk besok, Pak." "Untuk Pak Johan?" tanya Arfan memakan mangganya. "Sudah juga, tapi Pak Johan minta berangkat sore, Pak." Arfan mengangguk pelan, "Nggak masalah selama dia sudah ada di Bali besok lusa." "Aman, Pak." "Oke, kita sarapan dulu," ucap Arfan. Nadia tersenyum dan menyingkirkan laptop serta map-map yang
Suara musik yang terdengar keras di ruang tengah membuat tubuh Kia tak berhenti untuk bergerak. Di tangannya ada sapu yang ia gunakan untuk menyapu ruang tengah. Mbok Sum hanya bisa menggeleng melihat tingkah Kia dari dapur. Untuk pertama kalinya gadis itu kembali bertingkah bebas. Bukan tanpa alasan Kia menjadi seperti ini. Saat bangun tidur dia mendapat kabar dari Mbok Sum jika Arfan sudah berangkat ke Bali untuk urusan pekerjaan. Tentu Kia sangat senang mendengar itu. Kesenangannya bertambah berkali-kali lipat saat Arfan juga memberikan uang saku yang cukup banyak. "Nanti malem Mbok Sum nggak usah masak ya?" Kia berjalan memasuki dapur. "Kenapa, Mbak?" "Kita pesen makan aja, aku yang traktir." Kia menaik-turunkan alisnya. "Siap, Mbak! Mbok mau sambel jengkol." Mbok Sum juga ikut bersemangat. "Oke, habis ini aku mandi terus keluar." &nbs
Hari ini adalah tepat sepuluh hari Arfan berada di Bali. Urusan pekerjaan yang awalnya hanya berlangsung lima hari harus mundur karena banyaknya urusan yang harus diselesaikan. Arfan yang kebetulan berada di sana memilih untuk turun tangan langsung menyelesaikan semua. Selama lima hari pula, Arfan terlihat sangat sibuk. Bahkan waktu tidurnya berkurang menjadi empat jam dalam sehari. Kesibukkan itu juga yang membuatnya tidak menghubungi Kia akhir-akhir ini. Kali ini bukan sengaja, tapi dia benar-benar sibuk. Bahkan Mbok Sum sendiri yang berinisiatif memberikan kabar rumah tanpa ia minta. "Pak, saya sudah pesan kopi." Nadia datang dan duduk di salah satu kursi. Arfan hanya mengangguk, masih fokus pada kertas di tangannya, "Terima kasih." "Pak Arfan nggak capek?" tanya Nadia. Lagi-lagi setelah pulang dari rapat bukannya beristirahat mereka malah kembali berdiskusi. Jam sud
Keadaan bandara terlihat cukup ramai. Kia memilih untuk menunggu di dalam mobil, sedangkan Pak Tomo yang akan menyusul Arfan ke dalam. Kia masih malas untuk bertemu pria itu. Entah kenapa rasa kesal itu begitu nyata, dia tidak tahu kenapa. Dari jauh, Kia bisa melihat Arfan keluar dari bandara. Dengan berbalut jas berwarna abu-abu, Arfan tampak santai berjalan dengan koper di tangannya. Melihat gaya pria itu, Kia mencibir tidak suka. "Liat wajahnya, nggak ada rasa bersalah sama sekali," gumamnya. Kia masih belum sadar jika rasa kesalnya sangat tidak beralasan. Arfan tidak sendiri kali ini. Di belakangnya ada Pak Tomo dan Nadia. Alis Kia terangkat, Nadia tidak langsung pulang? Pintu belakang terbuka dan Arfan masuk dengan santainya. Dia melirik Kia dan tersenyum tipis. Tangan kanannya terangkat dan menepuk kepala gadis itu pelan. "Gimana kabar kamu?