Share

2. Rumah Neraka

Kia hanya menginginkan satu hal, yaitu hidup sendiri di rumah peninggalan orang tuanya. Selama ini ayahnya selalu mendidiknya agar mandiri dan berani. Kia tidak butuh wali, setidaknya tidak dengan Arfan. Dia benci bergantung pada orang lain, terutama Arfan.

"Ayo, Mbak." Mbok Sum membuka pintu mobil dan meminta Kia untuk keluar.

Kia turun sambil menghentakkan kakinya kesal. Rumah sederhana bergaya modern di depannya tidak membuatnya tertarik. Menurut Kia, rumah ternyaman adalah rumahnya sendiri. Kia mendengkus saat Arfan masuk lebih dulu dengan membawa koper miliknya. Apa pria itu tidak melihat wajah kesalnya? Apa dia bisa bertahan hidup dengan terus bermusuhan seperti ini?

"Masuk," ucap Arfan tanpa menatap wajah Kia. Dia membuka pintu rumahnya lebar.

Dengan sedikit paksaan dari Mbok Sum, akhirnya Kia mulai masuk ke dalam rumah. Hal yang pertama kali ia rasakan saat memasuki rumah ini adalah dingin dan kosong. Tentu saja, Arfan adalah pria lajang, tidak ada yang istimewa di rumah ini. Hanya berisi sedikit perbotan yang didominasi warna hitam, abu-abu, dan putih.

"Mulai sekarang kamu tinggal di sini."

Kia memutar matanya jengah. Pria itu masih bertahan dengan sikap tak acuhnya. Tidak masalah, Kia semakin yakin untuk membuat Arfan gila karena memaksanya hidup bersama.

"Di mana kamarku?"

"Di atas, pintu kedua dari kanan," jawab Arfan.

Tanpa mengucapkan apapun, Kia mengambil kopernya dan berlalu menaiki tangga. Dia tahu jika tingkahnya tidak sopan, tapi dia sangat ingin sendiri. Setidaknya Kia bisa sedikit tenang tanpa melihat wajah Arfan.

***

Cahaya pagi mulai mengusik tidur Kia. Dia mengerang dan semakin merapatkan selimut yang menutupi tubuhnya. Belum sepenuhnya kembali tidur, Kia dikejutkan dengan selimut yang mendadak hilang.

Kia mengerang dan menatap pria di depannya dengan kesal, "Mas Arfan apaan sih?!" ucapnya marah.

Arfan hanya diam dan mulai membuka tirai jendela agar cahaya semakin masuk ke dalam

kamar. Kia mengambil bantal dan menutup wajahnya rapat. Sungguh, dia masih mengantuk.

"Bangun. Kamu harus sekolah."

Kia langsung membuang bantalnya saat mendengar ucapan Arfan. Apa dia tidak salah dengar? Arfan sudah memintanya untuk kembali ke sekolah? Demi apapun, dia baru saja berduka!

Baiklah, Kia hanya malas.

"Mbok Sum udah masak cumi tepung kesukaan kamu."

Kia mengerang dan mulai bangun dari tidurnya. Dia melirik jam yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.

"Aku boleh bolos nggak hari ini?" tanyanya memelas. Sungguh dia tidak punya tenaga setelah kembali menangis semalaman.

Arfan berbalik dan menatap Kia lekat, "Kamu sakit?"

"Enggak."

"Kalau nggak sakit, nggak ada alasan buat bolos," ucap Arfan.

Kia memukul bantal dengan gemas, "Aku baru aja berduka kemarin, Mas! Tega banget udah minta aku masuk sekolah."

Arfan tidak menjawab. Dia hanya diam dengan tatapan yang tidak beralih seikitpun dari Kia. "Saya yakin Ayah kamu nggak suka liat kamu terus berduka."

Mata Kia mulai memanas mendengar itu. Benar, seharusnya berduka tidak ia jadikan alasan. Ayahnya pasti kecewa.

"Sekarang mandi dan turun. Saya antar kamu ke sekolah." Setelah mengucapkan itu, Arfan keluar dari kamar.

Kia memukul bantal dengan gemas. Mencoba membayangkan wajah Arfan yang ia pukuli. Demi apapun, wajah datarnya membuat Kia kesal. Baru sehari tapi dia sudah berani memerintahnya.

Dasar papan telenan!

***

Sekolah adalah salah satu tempat yang Kia benci. Hanya di tempat ini dia merasa kepalanya ingin meledak. Setidaknya itu dulu, tidak untuk kali ini. Setelah masa berkabung, Kia tidak menyesal untuk datang ke sekolah. Teman-temannya berhasil menghiburnya.

"Ikut jalan yuk?" ajak Vita, salah satu teman Kia.

"Ke mana?"

Bel tanda berakhirnya sekolah baru saja berbunyi. Para siswa mulai berlari keluar sekolah, tapi tidak untuk kelas 12. Mereka harus mengikuti bimbingan belajar untuk menghadapi ujian nasional yang diadakan dua minggu lagi.

"Refreshing, Ki. Lo nggak pusing liat rumus matematika?" tanya Gio.

"Pusing banget, sampe mau muntah gue," jawab Kia.

"Makanya ayo jalan. Kita bolos sekali aja. Yang lain udah pada di parkiran." Vita mulai menarik tangan Kia dan Sandra.

Kia memilih untuk menurut. Dia memang bukan murid yang baik, bahkan membolos adalah kebiasaannya. Sempat dia berpikir, apa ayahnya pergi karena tidak kuat mengurus anak nakal sepertinya? Namun seperti inilah Kia, dia merasa lebih hidup jika bisa bebas.

"Lo nggak boleh bawa motor. Biar Gio yang bonceng." Kia hanya mengangguk dan menerima helm dari Gio.

Sebenarnya Kia ingin sekali mengendarai motor sendiri, tapi dia memiliki kenangan buruk dengan itu. Koma selama tiga minggu cukup membuat semua orang melarangnya untuk menaiki motor. Padahal dia sendiri tidak merasa trauma.

Kia mengambil ponsel dan mematikannya, berharap jika tidak ada yang akan menghubunginya, terutama Arfan. Kia yakin jika pria itu akan menjemputnya nanti, tapi Kia memilih untuk pergi. Dia tidak akan betah berada di rumah jika ada Arfan. Dia lebih nyaman bersama dengan teman-temannya.

***

Halaman rumah yang sudah gelap membuat Kia berjalan dengan pelan. Bersyukur jika Arfan tidak mengunci pagar. Saat akan memasuki rumah, Kia melepaskan sepatunya agar tidak menimbulkan suara. Dia mengintip jendela berharap jika tidak ada siapapun yang menunggunya di dalam. Napas lega kembali ia keluarkan saat bisa membuka pintu rumah dengan kunci cadangan yang Arfan berikan. Dia berjalan dengan berhati-hati, berusaha untuk tidak membangunkan siapapun.

Tentu saja, ini sudah jam 11 malam!

Kia melirik kamar Arfan yang berada di samping kamarnya. Merasa jika tidak ada aktivitas di sana, dia kembali merasa lega. Langkahnya terhenti saat melihat sebuah kertas yang tertempel di pintu kamarnya. Dengan dahi berkerut Kia mengambilnya.

Peraturan rumah nomer 1

Dilarang pulang malam tanpa ijin. Jika masih melanggar, maka fasilitas akan dicabut.

Arfan Ghaisan

"Shit!" Kia mengumpat dan meremas kertas di tangannya kesal. Matanya melirik kamar Arfan dengan penuh kebencian.

"Jika melanggar maka fasilitas akan dicabut," cibir Kia mengikuti isi kertas dengan bibir yang maju.

Dengan kesal, dia menutup pintu kamarnya kencang. Tidak peduli lagi dengan penghuni rumah yang akan terkejut mendengarnya. Biar saja, dia lebih senang jika Arfan tahu akan kekesalannya.

"Banyak banget aturan kayak jalan raya. Perasaan Ayah dulu nggak gini-gini banget. Kenapa Mas Arfan malah gini?!" Kia mengacak rambutnya kesal.

Tanpa mengganti seragamnya, Kia menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Tatapannya menerawang melihat lampu kamarnya. Begitu terang dan menyilaukan mata. Ingatannya kembali berputar pada saat semua kejadian pahit menimpanya. Mulai dari kecelakaan motor hingga koma, penyakit jantung ayahnya yang kambuh saat mendengar kabarnya, kesehatan ayahnya yang tak kunjung pulih, hingga akhirnya pria itu menghembuskan napas terakhirnya.

Semua terjadi begitu cepat dan Kia masih berharap jika semuanya hanyalah mimpi.

***

TBC

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Elly theo
dasar badung nih kia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status