Share

4. Martabak Manis

Hari ini Arfan terlihat sibuk di kantor. Setelah mengantar Kia ke sekolah, dia langsung menuju kantor. Nadia sudah mengingatkannya jauh-jauh hari jika ada rapat penting yang harus ia hadiri hari ini. Saat jam istirahat seperti ini pun, Arfan memilih untuk makan siang di ruangannya. Dia harus menyelesaikan semuanya agar tidak membawa pekerjaan ke rumah, karena bagi Arfan rumah adalah tempatnya untuk lepas dari semua hal mengenai pekerjaan.

Suara dering telepon memecah fokus Arfan. Dia meraih ponselnya dan melihat nama ibunya yang menghubunginya saat ini. Tanpa menunggu, Arfan langsung mengangkat panggilan itu dan bersandar pada kursinya.

"Halo, Buk?" sapa Arfan.

"Halo, Nak. Denger suara Ibuk nggak?" ucap suara di seberang sana.

"Denger kok, Buk. Ada apa?"

"Enggak, Ibuk cuma mau tanya kabar kamu, Fan."

Arfan tersenyum, "Kabar aku baik. Ibuk sama Bapak gimana?"

Ibu Arfan tersenyum di seberang sana, "Ibuk baik, keadaan Bapak juga udah mendingan, Fan. Tadi pagi juga ikut senam di lapangan."

"Syukurlah."

Cukup lama keheningan terjadi sampai akhirnya Ibu Arfan kembali berbicara, "Gimana keadaan kamu, Fan?"

"Udah dijawab tadi, Buk. Aku baik."

"Kamu tau kalau bukan itu yang Ibuk maksud."

Arfan tersenyum kecut, "Baik-baik aja kok, Buk. Beneran."

"Gimana sama Nak Kia?"

Arfan menghela napas kasar, "Kia juga baik, cuma agak bandel aja."

Tanpa diasangka Ibu Arfan tertawa, "Kan Kia masih muda, Fan. Masih remaja, masa di mana lagi seneng-senengnya itu."

"Tapi dia badung banget, Buk."

"Kamu yang sabar ya, pasti lama-lama juga bakal terbiasa. Kamu udah janji sama Pak Surya buat jagain Kia. Jangan buat Pak Surya kecewa."

Arfan mengangguk paham, "Aku ngerti, Buk. Pelan-pelan aku akan ajarain Kia nanti."

"Kapan kamu pulang? Ajak Kia main-main ke sini. Suka main ke sawah nggak?" tanyanya.

Arfan lagi-lagi hanya bisa tersenyum kecut. Kia dan sawah adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Kia adalah gadis kota yang menyukai hal-hal modern. Arfan yakin jika gadis itu tidak akan betah jika berada di desa.

"Kia lebih milih ke club dari pada ke sawah," jawab Arfan.

"Ih, kan belum cukup umur. Kamu ingetin dia."

"Iya, Buk. Ya udah aku mau kerja lagi. Ibuk sama Bapak sehat-sehat ya, nanti kalau ada libur panjang aku pulang."

"Iya, Nak. Kamu sehat-sehar ya di sana. Jagain Kia, jangan galak-galak. Kasian dia."

"Iya, Buk. Aku matiin dulu ya. Assalamualaikum."

Arfan memang bukan asli Jakarta. Dia hanyalah orang rantau yang datang ke Jakarta setelah lulus kuliah. Dia asli Surakarta dan orang tuanya masih tinggal di sana hingga saat ini. Kehidupan yang sederhana tapi cukup itu membuat Arfan nekat merantau ke Jakarta untuk mendapatkan peruntungan yang lebih besar.

Meskipun memiliki beberapa petak sawah dan kebun, Arfan tetap harus bertanggung jawab untuk hidup kedua orang tuanya yang pasti akan menua nanti. Sebagai anak tunggal, hanya dirinya yang bisa mengubah nasib orang tuanya. Tidak selamanya Arfan akan membiarkan orang tuanya bekerja di sawah, apalagi dengan penyakit jantung ayahnya.

Arfan kembali meraih map-map di hadapannya dan mencoba untuk fokus. Dia menghela napas sebentar sambil memijat pangkal hidungnya. Saat masih membaca, tiba-tiba matanya tertuju pada satu foto yang berada di atas meja. Terdapat foto Pak Surya bersama Kia kecil di sana. Sejak menggantikan posisi Pak Surya sebagai pemimpin perusaaan, Arfan memang menempati ruangan beliau. Dia tidak merubah apapun yang ada di ruangan itu, termasuk foto-foto keluarga Pak Surya.

Mata Arfan tertuju pada foto berukuran cukup besar di belakangnya. Tepat di belakang mejanya, ada foto Pak Surya beserta istri dan Kia yang masih bayi. Arfan memang hanya mengetahui istri Pak Surya dari foto, karena sejak pertama kali bekerja di sini, Pak Surya sudah berstatus duda dengan satu anak. Kesetiaan Pak Surya yang membuat Arfan kagum. Uang tidak membutakan segalanya. Bahkan hidup Pak Surya hanya untuk membahagiakan anaknya, Kia.

***

Masih berada di ruang kerjanya, Arfan melirik ponsel dan jam dinding berkali-kali. Dia menggaruk keningnya sebentar dan kembali menatap ponselnya. Nadia yang berada di depannya mulai bingung.

"Kenapa, Pak?"

"Saya harus jemput Kia di sekolah," ucap Arfan pelan.

"Tapi ini belum selesai, Pak. Kalau Pak Arfan mau, ini bisa diselesaikan nanti." Nadia memberi saran.

Arfan menghela napas lelah dan mulai meraih ponselnya. Dia malas jika membawa pekerjaan ke rumah. Lebih baik dia lembur dan pulang setelahnya lalu beristirahat dengan tenang sampai pagi kembali datang.

"Saya minta supir kantor untuk jemput Kia aja."

"Biar saya yang telpon, Pak." Nadia berlalu pergi untuk menghubungi supir kantor.

Arfan bergumam terima kasih dan mulai mengetik pesan untuk Kia.

"Kia, maaf saya nggak bisa jemput sekarang. Saya udah minta Pak Anwar buat jemput kamu di sekolah. Kamu tunggu aja."

Nadia kembali masuk bertepatan dengan Arfan yang sudah mengirim pesan pada Kia. Lima menit lagi jam sekolah gadis itu akan berakhir. Arfan mulai kembali lega dan fokus pada pekerjaannya dibantu dengan Nadia, sekretaris Pak Surya yang sekarang sudah menjadi sekretarisnya.

"Makasih ya, Nad." Arfan menatap Nadia yang kembali duduk.

"Sama-sama, Pak."

***

Kia keluar dari kelas dengan dahi yang berkerut. Dia berjaan pelan sambil membaca pesan dari Arfan. Perlahan senyum manis mulai muncul di bibirnya. Dia berteriak dan menggerakkan tubuhnya senang.

"Lo kenapa, Ki?" tanya Sandra bingung.

"Mas Arfan nggak jemput gue," ucapnya senang.

"Bisa jalan dong kita? Nongki yuk?" ajak Vita semangat.

"Skuy lah." Gio datang dan merangkul bahu Vita dan Kia.

"Ke mana? Gue nggak punya duit. Lagian Mas Arfan udah minta Pak Anwar buat jemput." Kia berucap sedih.

"Dih, kayak nggak punya temen aja lo. Ada duit gue, santai aja yang penting kita happy dulu sebelum UN," ucap Vita.

"Tapi kan—"

"Yaelah, Ki. Kita nongkrongnya kan cuma beli kopi, tapi duduknya setengah hari, sambil main wifi," ucap Gio terkekeh.

"Terus Pak Anwar gimana?" tanya Kia bingung.

"Belum dateng kan? Kita berangkat dulu aja. Gue kabarin yang lain." Gio dengan cepat berlalu ke tempat parkir untuk mencegah teman-temannya untuk pulang. Kapan lagi mereka sekelas bisa kumpul bersama seperti ini?

"Tapi nanti pulangnya jangan malem-malem ya, ngeri gue sama Mas Arfan," ucap Kia.

"Iya, gue juga nggak boleh pulang malem. Aman lah pokoknya." Vita kembali menarik Kia ke tempat parkir, mengabaikan Pak Anwar yang bisa saja sudah berangkat untuk menjemputnya.

Sebelum itu Kia juga sudah mengirim pesan untuk Arfan. Dia berkata jika akan pulang dengan temannya agar Pak Anwar tidak perlu menjemputnya. Tidak ada balasan dari Arfan dan itu membua Kia yakin jika pria itu mengizinkannya. Setidaknya jalan-jalannya kali ini tidak meninggalkan beban pikiran. Beruntung Kia memiliki teman-teman yang loyal dan mengerti akan kondisinya.

***

Tepat pukul tujuh malam, motor Gio berhenti tepat di depan rumah Arfan. Kia turun dan bergumam terima kasih.

"Makasih ya, Yo. Besok duit lo gue ganti," ucap Kia sambil mengangkat martabak manis yang ia bawa. Dia sengaja membeli itu untuk Arfan, sebagai bentuk pereda hati jika pria itu marah padanya nanti.

"Yaelah, masih bahas itu aja. Santai aja kali."

"Oke, hati-hati ya." Kia melambaikan tangannya.

"Gue duluan kalau gitu." Gio menyalakan motornya dan berlalu pergi.

Kia mengambil kunci pagar dan berusaha membukanya. Saat sudah masuk, langkah kakinya terhenti saat melihat Arfan tengah berdiri di teras sambil membawa secangkir kopi. Pria itu hanya menatapnya lekat dan tidak ada senyum sama sekali. Kia menelan ludahnya gugup dan mulai menutup. Dengan pelan dia berjalan menghampiri Arfan. Entah kenapa Kia mulai merasakan aura yang mencengkam.

"Mas Arfan," sapa Kia.

"Dari mana?" tanya Arfan begitu singkat. Pria itu masih berdiri dengan bersandar di pilar rumah.

"Habis main," jawab Kia menunduk.

"Kenapa nggak bilang?"

"Kan aku udah bilang pulang sama temen." Kia menatap Arfan kesal.

"Tapi kamu nggak bilang kalau mau main."

Kia berdecak kesal. Baginya tidak ada yang perlu dipermasalahkan tentang ini tapi kenapa Arfan selalu punya cela untuk memulai pertengkaran di antara mereka?

"Ya udah sih. Kan aku juga nggak pulang malem."

"Pulang sama siapa kamu tadi?"

"Sama Gio," jawab Kia singkat.

"Pacar kamu?"

Kia mendongak dan menatap Arfan kesal. Dia berjalan mendekat dan memberikan bungkusan martabak manis yang ia bawa. Arfan menatap makanan itu bingung.

"Apa itu?"

"Martabak manis," jawab Kia.

"Saya nggak suka manis."

Mata Kia membulat mendengar itu. Dia maju selangkah dan menatap Arfan tajam, "Ya udah, nanti makannya sambil liat kaca biar ada pait-paitnya!"

Setelah itu dia berlalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Arfan yang menatap martabak manis di tangannya dengan bingung. Perlahan senyum tipis menghiasi wajahnya. Dia menggeleng pelan dan ikut masuk ke dalam rumah.

***

TBC

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status