6 tahun kemudian.
“San, kamu udah mau berangkat ke kantor sekarang?” tanya Siska, ibu Sandra.“Iya Bu, soalnya jarak dari kantor ke sini agak lumayan jauh. Takutnya nanti malah kena macet. Biasalah Jakarta kan macet banget,” jawab Sandra sambil merapikan rambutnya sebelum dia berangkat ke kantor.“Tapi kamu tetap naik mobil angkutan perusahaan kan, San?”“Iya, Bu. Nanti mobilnya jemput di depan. Kayaknya Sandra nanti barengan sama pegawai lainnya deh. Nathan mana, Bu? Udah beres mandinya?” tanya Sandra yang ingin tahu keberadaan putranya saat ini.“Masih mainan di kamar mandi. Hari ini Nathan juga mau sekolah, moga aja dia betah di sekolah barunya ya.”“Moga aja, Bu. Tapi nanti Ibu antar dulu sambil nungguin di sana nggak papa kan? Soalnya takutnya nanti Nathan ada apa-apa. Maklumlah ... namanya juga sekolah baru, dia harus banyak adaptasi.”“Iya, Ibu bakal nungguin sampai Nathan pulang sekolah nanti. Paling juga nggak akan lama sekolahnya, kan masih TK. Lagian jarak ke sekolah juga nggak terlalu jauh dari sini. Ibu tinggal ngeliat Nathan dulu ya,” pamit Siska pada putrinya.“Iya, Bu.”Sandra kembali meneruskan aktivitasnya untuk bersiap pergi ke kantor. Ini adalah hari pertama dia pergi ke kantor cabang utama setelah kepulangannya dari Malaysia beberapa waktu lalu.Setelah meninggalkan rumah Devan, Sandra sempat pulang ke rumah ibunya, tapi dia tidak lama tinggal di sana. Telinganya tidak kuat mendengar cibiran tetangga kampungnya yang sering sekali membicarakan dia yang buang oleh suami kayanya dalam keadaan hamil.Sandra terpaksa menjual semua barang pemberian dari mendiang mertuanya untuk modal awal tinggal di Surabaya. Sandra berjuang sendirian sampai dia melahirkan seorang putra yang tampan di kota itu. Setelah Nathan sudah bisa dia tinggal, Sandra mencoba peruntungannya untuk melamar di sebuah perusahaan untuk membantu kestabilan ekonomi keluarganya.Rupanya keberuntungan melindungi dia dan putra kecilnya itu. Sandra yang memang sejak dulu pintar, menjadi salah satu karyawan andalan bahkan dipercaya untuk mengenyam pendidikan di Malaysia untuk memperluas ilmu yang dia pelajari secara otodidak selama dia hamil.Dan kini, Sandra kembali ke Jakarta untuk bekerja di kantor pusat tempat dia dulu bekerja. Dia menyewa sebuah rumah kecil yang dekat dengan sekolah Nathan, putra kesayangannya.“Mama, Mama,” panggil seorang bocah kecil yang berlari mendekati Sandra yang masih duduk di depan meja rias.“Halo, sayang. Uuhh ... gantengnya, anak Mama udah wangi ya. Sini cium dulu,” jawab Sandra yang kemudian segera menangkup wajah mungil Nathan dengan kedua tangannya lalu memberikan sebuah kecupan di pipi tembam itu.“Mama mau kerja apa sekolah?” tanya bocah mungil itu.“Mau kerja dong. Kan Mama udah gak sekolah lagi. Nathan suka gak tinggal di sini?” tanya Sandra sambil mentoel pipi tembam sang putra.“Suka. Nanti Nathan mau sekolah sama eyang,” jawab Nathan penuh antusias.“Nanti kalo di sekolah gak boleh nakal ya. Biar Nathan punya banyak teman. Sini pake baju dulu, biar gak masuk angin,” celetuk Siska yang baru saja masuk ke dalam kamar Sandra sambil membawa seragam sekolah Nathan.“Nathan gak nakal kok. Kata Mama, anak ganteng gak boleh nakal,” jawab Nathan sambil mulai memakai seragam sekolahnya dibantu oleh Siska.Sandra tersenyum lebar melihat putranya yang selalu ceria itu. Keberadaan Nathan adalah sumber kekuatan Sandra selama ini menjalani kerasnya hidup sendirian tanpa suami.Nathan selalu berhasil membuat lelah Sandra hilang dengan segala tingkah polosnya itu. Dia sangat bertekad untuk melindungi putranya itu sampai akhir.“Bu, Sandra berangkat dulu ya,” pamit Sandra setelah dia selesai sarapan.“Iya San, kamu ati-ati ya. Nathan, salim mama dulu gih,” perintah Siska yang sedang menyuapi Nathan makan.Sandra pun segera mencium dan memeluk putranya dengan sangat erat. Dia kemudian mengambil sepatu dari atas rak dan memakainya sebelum dia berangkat.Sandra harus berjalan keluar dari gang rumahnya menuju ke titik kumpul penjemputan. Sandra melihat ada beberapa orang yang sudah duduk di tempat itu, untuk menunggu kedatangan mobil perusahaan.“Kamu nunggu mobil jemputan PT Arya Duta juga?” tanya seorang wanita muda yang duduk di dekat Sandra.“Iya, saya baru kerja di Arya Duta,” jawab Sandra sambil tersenyum ramah.“Oh, anak baru toh ... pantes kok gak pernah liat. Kenalin aku Tata, aku di divisi desain.”“Divisi Desain? Wah, kayaknya ntar kita ada di satu divisi yang sama. Oh ya, aku Sandra,” jawab Sandra sambil menyambut uluran tangan Tata.“Tunggu! Kamu di divisi desain juga? Apa kamu yang baru dateng dari Malaysia itu?” tanya Tata meminta kepastian.“Iya, aku orang dari cabang Surabaya yang disekolahkan di Malaysia kemaren.”“Waaah ... akhirnya ketemu juga. Ntar ceritain ya, gimana kamu bisa dapet beasiswa itu. Soalnya, depetinnya susah banget itu. Keren kamu, San. Eh ... mobilnya udah dateng, tuh,” ucap Tata sambil menunjuk ke arah mobil yang sedang menuju ke arah mereka.Sandra hanya menjawab dengan anggukan, lalu dia segera berdiri seperti pegawai yang lain. Sandra dan rekan kerjanya itu segera masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke kantor baru.Sandra lebih banyak melihat ke luar mobil untuk melihat perkembangan kota Jakarta sekarang. Kota yang sudah dia tinggalkan cukup lama dan tadinya dia bahkan sempat tidak ingin kembali lagi ke sini.Mata Sandra melebar saat mobil yang dinaikinya itu berhenti di depan sebuah gedung perkantoran besar karena terkena sedikit macet. Mata Sandra terus melihat ke gedung itu dan tangannya meremas tali tasnya dengan kuat.‘Pasifik Grup. Perusahaan punya Mas Devan. Apa dia masih di sini?’ tanya Sandra dalam hatinya sendiri.‘Semoga selama aku di sini, aku gak akan ketemu lagi sama orang itu. Aku pasti bakalan emosi banget kalo ketemu dia. Ya Tuhan, moga Mas Devan gak di Jakarta lagi,’ doa Sandra dalam hati.Tanpa terasa mobil yang dinaiki Sandra sudah tiba di lobi kantornya. Dia dan rekan kerjanya yang lain di turunkan di depan sebuah pintu kecil yang ada di dekat jalur menuju basemen kantor.Sandra melihat, di depan pintu utama lobi ada sebuah sedan mewah berwarna hitam terparkir di sana. Pikiran Sandra langsung melayang ke mobil yang dulu sering parkir di depan rumahnya, saat menjemput dan mengantar suaminya itu pulang kerja.‘Ih apaan sih aku ini. Ngapain juga inget ama dia. Malesin banget,’ gerutu Sandra dalam hati mencoba membuat dirinya sadar kembali.“San, masuk yuk. Aku tunjukin ruang kerjamu,” ajak Tata pada teman barunya itu.“Oh iya ... ayo. Eh, tapi aku mau ke HRD dulu, soalnya aku belum laporan,” jawab Sandra.“Ya udah aku anter sekalian. Kamu pasti belum apal kantor ini kan. Yuk masuk, ntar kita telat.”Sandra dan Tata pun segera berjalan bersama masuk ke dalam lobi. Tata memberikan penjelasan singkat tentang perusahaan dan menunjukkan beberapa tempat penting di kantor ini.Sandra mendengar dengan baik dan menghafal di mana saja letak divisi yang mungkin akan sering dia kunjungi nanti. Dia merasa senang karena langsung mendapatkan seorang teman kerja yang baik seperti Tata.“Jadi itu coffee shop-nya ya. Itu pasti salah satu tempat penting di kantor ini ya,” ucap Sandra sambil terkekeh.“Pasti penting lah. Mungkin pentingnya sama kayak ruangan si bos. Kamu suka sama kopi juga, San?” tanya Tata.“Suka banget. Kalo kerja boleh bawa kopi kan?”“Boleh dong. Aku juga suka beli kok kalo lagi ngantuk. Wah, kayaknya kita bakalan cocok nih. Kamu seru juga ternyata, San,” puji Tata.“Bisa aja kamu. Yuk buruan, kayaknya lift nya rame tuh di depan,” ucap Sandra sambil melihat kerumunan para pekerja di depan pintu lift.“Ya gitu deh. Tiap jam masuk kantor pasti gitu. Padahal udah ada 5 lift di sediain, tapi tetep aja masih ngantri. Kalo yang antriannya sepi itu, cuma buat manajemen atas. Jadi jangan sampe salah naik ya,” ucap Tata memberi petunjuk pada Sandra.“Oh, ok!”Sandra dan Tata kini semakin mendekat ke arah lift. Mereka ikut mengantre di depan pintu lift, yang akan membawa mereka ke ruang kerja mereka masing-masing.Namun mata Sandra tertuju pada punggung seorang pria yang sedang berdiri lebih dekat dengan lift pimpinan. Dia sangat terpaku pada punggung yang dibalut dengan kemeja berwarna putih yang saat ini sedang berdiri dengan 3 orang lain di sampingnya.“Kok kayak kenal orang itu ya?” gumam Sandra pelan sambil berharap agar orang itu menoleh ke samping, agar dia bisa melihat wajahnya.Namun pria berbadan tegap itu kini melangkah masuk ke dalam lift. Dia masuk lebih dulu, lalu di susul dengan tiga orang yang tadi bersamanya. Mata Sandra masih terus melihat ke arah orang itu, berharap agar dia bisa segera berbalik.‘Mas Devan!’ pekik Sandra dalam hati."Mas Devan," panggil Sandra lirih.Sandra masih melihat ke arah lift, di mana Devan dan rombongannya tadi masuk. Namun sayangnya, hingga pintu lift itu tertutulp, Devan masih tidak menyadari kehadiran Sandra di sana.“Sandra, ayo masuk. Masih nungguin apa?” tanya Tata ketika melihat Sandra berdiri termenung melihat pintu lift yang dikhususkan untuk para atasan itu. “Oh iya, maaf,” jawab Sandra yang kemudian segera masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan dia ke ruang HRD. Saat berada di dalam lift, pikiran Sandra masih terus berjalan memikirkan sosok pria yang tadi secara samar dia lihat. Dia sangat yakin kalau yang tadi dia lihat itu adalah Devan. Namun ada keraguan juga dalam diri Sandra, karena sepertinya tidak mungkin Devan ada di perusahaan lain sepagi ini. Bisa saja itu adalah sosok orang lain yang dia kira seperti Devan. ‘Iya nggak mungkin kalau itu Mas Devan. Masa iya dia ke kantor orang lain pagi-pagi kayak gini. Tunggu dulu, kantor ini nggak lagi merger kan sama Pacific
Tok tok tok.Sandra mengetuk pintu ruang kerja di perusahaan tempat dia bekerja. Meski hari ini adalah hari pertamanya masuk ke perusahaan ini, Sandra sudah dipanggil oleh pimpinan dan menurut selentingan kabar yang dia dengar dari Ratna, Sandra akan diberi kepercayaan untuk menangani sebuah proyek besar.Setelah diizinkan untuk masuk ke dalam ruangan, Sandra segera melangkah masuk dan menemui pria muda yang kini sedang duduk di singgasana tertinggi di perusahaan Artha Graha.“Selamat siang, Pak Beni. Saya Sandra yang baru saja dipindahkan dari cabang Surabaya, Pak,” lapor Sandra penuh hormat pada pimpinannya itu.“Selamat siang Bu Sandra. Wah akhirnya kita ketemu juga ya. Saya udah banyak dengar prestasi ibu di cabang Surabaya dan saya berharap Ibu akan bisa terus meningkatkan kualitas kerja Bu Sandra di sini. Silakan duduk Bu, ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Bu Sandra,” sambut Benny pada salah satu karyawan teladannya itu.Sandra segera duduk di kursi yang ada di depan
“Hamil?” tanya Devan dengan ekspresi kaget.“Iya, aku hamil anak kamu!” tegas Irene.Devan melihat ke arah Dewi, sekretarisnya, lalu menyuruh wanita muda itu untuk keluar dari ruang kerjanya. Dia tidak ingin masalah yang dibawa oleh Irene ini akan didengarkan oleh orang lain.Devan menatap tajam ke arah Irene, namun dia tetap berusaha mengontrol emosinya. Devan kemudian menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerjanya dan sedikit mengangkat dagunya.“Kalau kamu hamil, lalu apa urusanku?” tanya Devan dingin sambil sedikit menyempitkan matanya.“Apa maksud kamu? Ini anak kamu, Devan. Aku hamil anak kamu!” jawab Irene dengan nada marah.“Anak aku? Irene, kamu harusnya sadar kalau aku nggak pernah nyentuh kamu selama ini. Lalu bagaimana aku bisa ngehamilin kamu!” tegas Devan.“Cih! Trus apa yang yang udah kamu lakukan sama aku bulan lalu pas aku ulang tahun. Kamu ngapain di kamar aku dan maksa aku ngelayanin kamu, hah!” Irene memaksa Devan untuk mengingat tentang kejadian di malam
“Ibu punya ide apa?” tanya Sandra yang antusias mendengar ide dari ibunya.“Gini San, gimana kalau kamu bilang aja sama atasan kamu, kalau kamu nggak bisa terima kerjaan ini karena kamu masih karyawan baru. Biasanya kan kalau karyawan baru nggak akan dipercaya sama proyek besar, pasti seniornya, iya kan?” cetus Siska dengan mata berbinar.“Ah Ibu, nggak bakalan bisa, Bu. Soalnya menurut Pak Beni, Mas Devan itu milih Sandra karena dia ngelihat hasil rancangan Sandra waktu di Surabaya. Kalau Mas Devan pakai referensi itu, jadi udah otomatis kalau alasan itu nggak bisa ditolak,” jawab Sandra yang kembali lemas karena ide ibunya tidak tepat.“Oh gitu, bisa nggak kalau kamu bilang butuh penyesuaian dulu. Soalnya kamu kan lama nggak ngedesain, jadi kamu butuh belajar dan takut salah. Lagian kamu tahu sendiri kan kalau Devan itu orangnya gampang marah kalau ada kerjaan yang salah.”Sandra menggelengkan kepalanya, “Susah Bu, kayaknya nggak mungkin juga pakai cara itu.”“Kalau kamu ancam
“Kita ke Cafe Mentari dulu,” ucap Devan pada Raka, asisten pribadinya yang akan mengantarkannya pulang.“Siap, Bos,” jawab Raka yang kemudian segera menginjak pedal gas mobil menuju ke Cafe Mentari.Setibanya di Cafe, Devan langsung menuju ke sebuah meja yang berada di sudut belakang Cafe. Di sana sudah ada seorang pria yang duduk sendirian dan melihat ke arah Devan. Pria itu berdiri, ketika Devan sudah ada di depannya.“Selamat malam, Bos,” sapa pria muda itu.“Di mana dia?” tanya Devan tanpa basa-basi.Pria muda itu mengeluarkan amplop berwarna coklat berukuran besar dari dalam tas yang dia letakkan di sampingnya. Dia segera menyodorkan amplop itu pada Devan, agar orang yang sudah membayar jasanya itu bisa melihat hasil dari pencariannya selama ini.Devan melihat sejenak ke arah detektif yang dia sewa, kemudian dia segera membuka isi amplop yang diberikan oleh detektif berharga mahal itu.“Malaysia,” tebak Devan ketika dia melihat foto-foto Sandra di tangannya.“Benar Bos, ternya
Sandra menekan tombol lift dan tidak lama kemudian pintu lift yang ada di depannya terbuka. Sandra terbelalak hingga mulutnya terbuka saat dia melihat sosok yang ada di depannya. “Sandra!” panggil Tata mengagetkan Sandra sambil menepuk pundak teman sekaligus atasannya itu. “Ih kamu nih ya. Bikin aku kaget aja deh,” protes Sandra yang kaget saat melihat Tata keluar dari dalam lift sambil mengagetkannya yang sejak tadi berdiri sambil memainkan ponsel. “Maaf deh, maaf. Kamu mau ke mana?” tanya Tata. “Mau ke ruangan Pak Beni.” “Mau masuk?” tanya seorang pria yang sedari tadi berdiri di dalam lift. “Oh, iya. Aku naik dulu, ya,” pamit Sandra pada sahabatnya itu. Sandra segera masuk ke dalam lift karena dia tidak enak pada orang yang sejak tadi menunggunya masuk. Dia menganggukkan kepalanya, sedikit memberi salam pada orang itu dan juga pernyataan minta maafnya. Pintu lift segera tertutup kembali dan membawa Sandra naik ke atas. “Kira-kira Pak Beni mau ngapain ya? Masa dia udah nanya
“Akhirnya dia pergi juga. Haduuh, tuh orang kapan sih gak bikin aku susah?” gerutu Sandra yang merasa kesal pada Devan karena pria itu sampai nekat datang ke ruang kerjanya.“Sandra. Eh ita bener, ini kamu kan? Sandra si kutu buku,” sapa seseorang yang sedikit mengagetkan Sandra.“Bang Rio. Astaga Bang, amu ampe lupa kalo Abang di sini,” sapa balik Sandra yang senang bertemu dengan kenalannya saat dia kuliah di Malaysia.“Hmmm ... gitu ya, aku dilupain. Kupikir kamu belum dateng, San. Aku denger kamu bakalan pindah ke sini, kamu masuk kapan sih emang?” tanya Rio.“Baru kemaren, Bang. Oh ya, Abang di divisi apa sekarang?” tanya Sandra.“Aku di pemasaran. Naik jadi manajer aku sekarang.”“Waah ... kalo gitu aku harus panggil Pak Rio dong. Halo Pak Rio, saya Sandra, pegawai baru di sini, Pak,” ledek Sandra.“Gak pantes, San.” Rio tertawa mendengar candaan receh Sandra yang selalu berhasil membuat dia tertawa.“San, aku pergi dulu ya. Ntar kita ngobrol lagi. Eh, makan siang bareng
“Namanya Rio Haryanto. Dia seorang manajer keuangan di Artha Graha dan merupakan kakak tingkat Bu Sandra saat mereka kuliah di Malaysia dulu,” lapor Raka pada Devan.“Jadi mereka udah kenal sejak di Malaysia ya” tanya Devan dengan nada geram.“Iya Bos, tapi Pak Rio dulu tidak bekerja di cabang Surabaya dan sepertinya mereka baru bertemu kembali setelah sama-sama pindah ke Jakarta.”“Mereka lulus bareng?”“Tidak, Bos. Pak Rio lulus lebih dulu dan kembali ke Jakarta, kemudian beliau langsung masuk ke Artha Graha. Satu tahun kemudian baru Bu Sandra datang untuk masuk ke Artha Graha Pusat juga.”“Seberapa dekat hubungan mereka?” tanya Devan yang masih kesal ketika dia mengingat ketika tangan istrinya digandeng oleh Rio.“Maaf Bos, saya belum mencari tahu soal itu.”“Cari tahu kedekatan mereka sejauh apa. Aku nggak mau si brengsek itu bakal semakin berani ngedeketin istriku!” perintah Devan sambil menyipitkan matanya menahan rasa geramnya pada Rio.Sejak malam itu Devan menjadi lebi