Share

Mencari Alasan

“Ibu punya ide apa?” tanya Sandra yang antusias mendengar ide dari ibunya.

“Gini San, gimana kalau kamu bilang aja sama atasan kamu, kalau kamu nggak bisa terima kerjaan ini karena kamu masih karyawan baru. Biasanya kan kalau karyawan baru nggak akan dipercaya sama proyek besar, pasti seniornya, iya kan?” cetus Siska dengan mata berbinar.

“Ah Ibu, nggak bakalan bisa, Bu. Soalnya menurut Pak Beni, Mas Devan itu milih Sandra karena dia ngelihat hasil rancangan Sandra waktu di Surabaya. Kalau Mas Devan pakai referensi itu, jadi udah otomatis kalau alasan itu nggak bisa ditolak,” jawab Sandra yang kembali lemas karena ide ibunya tidak tepat.

“Oh gitu, bisa nggak kalau kamu bilang butuh penyesuaian dulu. Soalnya kamu kan lama nggak ngedesain, jadi kamu butuh belajar dan takut salah. Lagian kamu tahu sendiri kan kalau Devan itu orangnya gampang marah kalau ada kerjaan yang salah.”

Sandra menggelengkan kepalanya, “Susah Bu, kayaknya nggak mungkin juga pakai cara itu.”

“Kalau kamu ancam kamu bakalan keluar dari perusahaan gimana?” Ide konyol keluar dari mulut Siska.

Sandra menoleh ke arah ibunya, “Terus kita hidup dari mana? Selama ini kan cuma kerjaan ini yang kita andalkan untuk kehidupan sehari-hari. Ah udah deh Bu, biarin aja. Ntar biar Sandra cari jalan keluarnya sendiri. Sandra mau mandi dulu ya, gerah banget,” ucap Sandra sambil melepas nafas berat.

Sandra mengacak lembut puncak kepala putra tampannya itu lalu memberikan sedikit kecupan di puncak kepala Nathan sebelum dia meninggalkan sang putra untuk mandi. Sandra mengganti bantalan kepala putranya dengan bantal sofa, agar Nathan bisa tetap nyaman berbaring sambil melihat TV.

Sandra terduduk diam di depan kaca meja rias yang ada di kamarnya. Sambil membersihkan riasan wajahnya, Sandra melihat pantulan dirinya sendiri di cermin besar itu.

“Aku harus gimana ya nanti kalau ketemu sama Mas Devan. Ya Tuhan, kenapa juga dari sekian banyak manusia di dunia ini, kenapa harus dia yang jadi klien pertama aku. Aduh ... males banget sebenarnya punya urusan sama dia lagi,” keluh Sandra.

Tanpa Sandra sadari, bayangan tentang Devan mulai muncul kembali di dalam pikirannya. Padahal kenangan itu sudah lama sekali dia kubur dan tidak ingin dia munculkan kembali apa pun alasannya.

Apalagi sekarang ada Nathan, yang menjadi buah cinta mereka berdua. Sandra takut kalau nanti Devan mengetahui keberadaan Nathan, maka pria arogan itu akan merampas Nathan dari hidupnya.

“Ah ya udahlah, apa kata ntar aja. Tapi kok aku jadi penasaran juga ya, gimana kehidupan Mas Devan sekarang. Apa dia udah beneran bahagia sama Irene,” gumam Sandra sedikit penasaran dengan kehidupan mantan suaminya.

Sandra tidak ingin terus bergelut dengan pikiran masa lalunya bersama Devan. Dia segera mandi dan menyiram kepalanya menggunakan air dingin, agar dia kembali tersadar kalau pria itu sudah menghancurkan hidupnya.

Triiing.

Suara telepon memecah kesunyian di kamar Sandra. Dia yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk segera melihat ke arah ponselnya yang sedang dia isi daya di atas meja rias.

“Eh, Pak Beni. Ada apa ya, kok malem-malem telpon,” gumam Sandra yang mengetahui siapa yang menghubunginya.

“Halo, selamat malam, Pak,” sapa Sandra sopan.

“Selamat malam, Bu Sandra. Bu, saya ada kabar mendadak nih dari Pasifik Jaya,” jawab Beni di seberang sana.

“Kabar apa, Pak?” Sandra ingin tahu.

‘Semoga ada keajaiban. Ayo batalin proyeknya,’ harap Sandra dalam hati.

“Ini Bu, Pak Devan pengen liat desainnya akhir minggu ini, Bu Sandra bisa kan?”

“Hah, akhir minggu, Pak!” Sandra kaget sampai matanya membulat lebar.

“Iya, sebenernya Pak Devan maunya hari Senin, tapi saya gak bisa karena harus keluar kota. Sedangkan hari lain, Pak Devan gak bisa. Jadi kami sepakat untuk melakukan pertemuan pertama di hari Jum’at siang.”

“Oh ya, Bu Sandra gak perlu khawatir tentang desainnya. Pak Devan cuma pengen tau ide ibu aja dulu. Jadi gak perlu di gambar di blueprint, Bu. Bisa kan, Bu?” lanjut Beni lagi.

“Oh iya, Pak. Saya usahakan untuk bisa nemuin ide bagus buat desainnya sesegera mungkin.” Badan Sandra semakin lemas saat ini.

“Baik, Bu. Saya yakin kalo Bu Sandra pasti bisa. Nanti kalo ada yang perlu di konsultasikan, Bu Sandra boleh tanya ke senior Ibu ato ke saya langsung ya, Bu,” pesan Beni.

“Baik, Pak,” jawab Sandra lemas.

Sandra menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Rasanya kakinya sudah terlalu lemas sampai tidak bisa menopang berat badannya sendiri.

“Aaaakkk!!!” teriak Sandra sambil mengangkat kakinya dan menendang-nendang udara.

Mendengar teriakan Sandra, Siska yang sedang menyuapi Nathan segera berlari masuk ke dalam kamar. Nathan yang juga kaget ikut masuk juga bersama dengan neneknya.

“San, kamu kenapa, San?” tanya Siska panik.

“Mama ... Mama kenapa, Mama,” tanya Nathan yang kini sudah ikut naik di atas tempat tidur dan menepuk-nepuk badan Sandra.

“Mama gak papa sayang. Tadi ada kecoa masuk. Mama jadi kaget.” Sandra mencari alasan dan mencubit pipi gembul Nathan.

“Mama takut sama kecoa? Mana kecoa, nanti Nathan pukul pake sandal kayak nenek,” celoteh lucu bocah tampan itu.

“Kecoanya udah sembunyi. Nathan lanjutin makan dulu gih. Mama cari kecoanya dulu ya.”

“Nanti ada kecoa, Mama panggil Nathan ya,” pesan Nathan sambil turun dari kasur lalu berlari lagi keluar kamar.

“Kamu kenapa, San?” tanya Siska sambil menggeser kursi meja rias untuk dia duduki.

“Sandra benci banget sama orang itu! Dari dulu kerjaannya Cuma nyusahin Sandra mulu. Ngeselin banget!!!” gerutu Sandra sambil meninju-ninju guling meluapkan amarahnya.

“Emang kenapa lagi sih? Devan nemuin kamu?”

“Bukan, Bu. Tapi barusan bos Sandra telpon. Dia bilang Mas Devan minta pertemuannya dipercepat. Sandra belum siapin desain, bahkan dari tadi aja Sandra belum bisa nemu desain yang cocok, Bu. Tu orang emang senengannya nyiksa Sandra kok. Nyebeliiin!!!” gerutu Sandra yang kembali memukul gulingnya.

“Ya kamu bilang aja kalo gak bisa. Masa sih bos kamu gak ngerti juga?” Siska mencoba memberikan solusi.

“Gak bisa, Bu. Bahkan Pak Beni tadi aja bilang cuma butuh ide, gak perlu desain. Sandra gak bisa nolak, Bu. Kenapa jadi gini sih, Bu. Huhuhu” Sandra menangis seperti anak kecil.

“Udah-udah. Makan dulu, ntar dipikirin lagi. Jangan nangis kayak anak kecil gini, diketawain Nathan kamu ntar. Ayo buruan makan,” perintah Siska sambil meraih tangan putrinya untuk dia ajak makan malam.

Sandra menjadi sangat stres di hari pertama dia bekerja. Dia tidak menyangka kalau hidupnya akan kembali susah saat dia kembali ke Jakarta.

***

Devan masih ada di ruang kerjanya. Dia sudah mulai mengendurkan pinggangnya yang terlalu lama duduk untuk bekerja.

Devan melihat ponselnya yang ada di atas meja menyala. Dia membuka pesan yang masuk di ponsel itu untuk dia.

“Kami sudah menemukan posisi Bu Sandra, Bos,” bunyi pesan yang masuk di ponsel Devan.

Devan mengangkat pandangannya. Dia tersenyum tipis saat dia mendengar kabar dari seorang detektif yang dia sewa belakangan ini untuk mencari keberadaan Sandra.

“Bagus! Kita akan segera bertemu lagi Sandra. Dan bersiaplah untuk terima hukumanmu,” gumam Devan lirih sambil menarik sudut bibir kanannya ke atas.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tokoh lebay kayak g punya otak. ngapain kau takut ketemu mantan njing.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status