"Tugasmu hanya melayaniku layaknya suami. Karena membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan."
Kendati sangat marah mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang Leon Smith. Tapi Luna sadar siapa dirinya untuk melawan. Leon tidak pernah main-main dengan ucapannya. Pria arogan yang memiliki sisi gelap, dan tidak semua orang mengetahuinya.Meski keberatan dan jelas amat sangat terpaksa, tak ayal malam itu Luna kembali merasakan keganasan Leon di atas ranjang. Luna benci penyerahan diri yang ia lakukan lagi dalam keadaan sadar. Menganggap dirinya tak lebih baik dari wanita-wanita peliharaan sang tuan. "Kau puas sekarang?" Suara bergetar Luna terdengar ketika Leon bahkan belum mengatur nafas dengan benar.Pria itu baru saja berguling, dan seketika menoleh kesamping, sambil berucap dingin. "Sebelumnya aku pernah menawarkan pernikahan padamu. Sekarang jangan pernah menganggap dirimu korban jika kau juga menikmatinya.""Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan," lirih Luna sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. "Kau menjadikanku seperti pelacurmu, dan sekarang kau mengatakan aku juga menikmatinya? Aku memang bukan gadis yang layak untuk kau hargai, karena aku hanya pelayanmu. Tapi apakah pantas seorang Leon yang terhormat mengurung gadis dekil sepertiku hanya untuk dijadikan pemuas hasrat? Apakah kau sudah kehabisan stok wanita di luar sana?!"Leon enggan menanggapi kemarahan Luna, meski suara tangis gadis itu cukup mengusik pendengarannya. Memilih bangkit dan meninggalkan ranjang seperti yang ia lakukan pada malam-malam sebelumnya.Melihat Leon pergi begitu saja, Luna yang semakin hancur hanya bisa menenggelamkan diri di dalam selimut—-meringkuk layaknya bayi.Sudah sejak satu bulan lalu, Luna terkurung di apartemen Leon yang tidak diketahui persis dimana lokasinya. Ia dibawa dalam keadaan tidak sadarkan diri. Lantas, jangankan melihat kehidupan luar, melewati pintu apartemen itu saja tidak bisa ia lakukan. Persis seperti Putri Rapunzel yang dikurung di puncak menara oleh penyihir jahat—hanya bisa melihat kehidupan yang ada di bawah melalui jendela. Sedangkan Luna, lewat balkon.Luna hanya berpikir dirinya berada di ketinggian puluhan meter dari atas permukaan tanah. Berulang kali Luna berusaha melarikan diri, tetapi usahanya selalu gagal. Lantaran belum juga melihat dua pria yang katanya berjaga di depan pintu apartemen. Seorang wanita yang dua puluh empat jam mengawasinya, selalu berhasil memergoki dirinya yang hendak melewati pintu.Tapi anehnya, tidak tahu dimana keberadaan wanita itu setiap kali Leon datang. Luna merasa seperti sandra yang dipaksa melayani nafsu bejat pria yang dulu sangat dihormati. Pria mapan, tampan yang juga terhormat itu dulu begitu tampak mengagumkan dengan karisma dan wibawanya. Luna bahkan pernah menganggap Leon pria tertampan yang pernah ditemui, sebelum tahu sisi gelap pria itu.Beberapa saat setelah lelah menangis, pun merasa bosan dengan ketidakberdayaan---Luna perlahan bangun, dan segera kembali mengenakan pakaiannya.Dengan langkah gontai ia melangkah menuju pintu. Begitu mengetahui ruang tengah dalam keadaan remang, Luna buru-buru menuju dapur. Sesampainya di ruangan yang tidak terlalu luas itu, Luna bergegas memeriksa semua laci yang ada di lemari bawah kompor.CeklekBersamaan Luna menemukan sebilah pisau dari salah satu laci, tiba-tiba dikejutkan lampu yang menyala dan ruangan berubah terang benderang."Mau apa kau dengan benda itu? Jangan konyol! Atau kau sendiri yang akan rugi." Leon masih cukup tenang meski jelas-jelas matanya memicing curiga—mendapati tangan kanan Luna menggenggam pisau dapur."Lebih baik aku mati daripada harus menjadi pemuas hasratmu. Aku muak, kau jijik dengan tubuhku sendiri," lirih Luna.Sejak dirinya terkurung, hilang sudah rasa hormat Luna pada Leon yang dianggap tidak perlu dilakukan lagi. Karena sekarang Leon bukan lagi majikannya, melainkan pria bejat yang menindasnya dengan cara picik."Kalau begitu, matilah jika itu yang kau inginkan. Lakukan sekarang. Aku tidak keberatan jika harus menyaksikannya secara langsung."Kalimat itu seperti dukungan yang membuat Luna semakin yakin ingin mengakhiri hidup. Dengan mata terpejam ia mengangkat pisau dan diarahkan pada pergelangan tangannya yang lain. Sementara itu Leon yang masih bergeming diambang pintu dapur, tersenyum sinis melihat tangan Luna bergetar. 'Dia tidak akan berani melakukannya.' Yakin Leon dalam hati.Namun sayang, dugaan Leon meleset. Luna benar-benar menyayat pergelangan tangannya. Sebelum darah mengalir semakin deras, dan benda bermata tajam itu berhasil memutus nadi Luna. Leon segera berlari merampas pisau dari tangan Luna, lantas melemparkannya ke lantai."Kau benar-benar gila!" pekik Leon geram. "Kau pikir setelah mati jiwamu akan tenang? Bodoh! Dasar gadis bodoh!""Setidaknya itu lebih baik," kata Luna pelan disertai desisan. Ia merasakan nyeri di pergelangan tangannya, tapi sebisa mungkin ditahan. Luna tidak akan sudi merintih di hadapan Leon. Gengsinya terlalu tinggi untuk melakukan itu."Aku memang bodoh karena tetap membiarkanmu semena-mena pada tubuhku. Kau tidak berhak melakukannya, kau tidak berhak atas tubuhku." Suara Luna sudah melemah. Hingga detik berikutnya tubuh itu pun terhuyung, dan ambruk ke lantai."Luna!"**************Tidak tahu apa yang terjadi setelah dirinya tidak sadarkan diri. Luna yang belum sepenuhnya sadar, butuh sepersekian detik untuk bisa melihat jelas apa yang ada di sekitarnya. Hingga ia menemukan Leon tengah berdiri di hadapan seorang pria berkepala plontosBukankah pria itu? Luna baru akan bertanya perihal pria yang ada di hadapan Leon, tetapi mendadak terbelalak begitu beralih ke samping kiri—-mengetahui Tari tak ubahnya seperti mayat hidup. "Kak, ada apa denganmu? Dan kenapa kita bisa ada di sini?"Bukannya menjawab, gadis itu malah semakin terisak dengan kepala tertunduk. Apa yang terjadi?Merasa ada yang tidak beres, Luna kembali mengedarkan pandangan. Seketika itu ia menelan kasar salivanya. Ada banyak pria bersenjata yang berjaga. Dan, yang lebih mencengangkan lagi, dua senjata laras panjang tengah diarahkan pada Tari serta pria yang ada di hadapan Leon.Situasi macam apa ini?"Aku akan memasangkan cincin pernikahan kita di jari manismu, istriku."Luna terkejut mengetahui Leon sudah berjongkok di depannya. Tapi bukan itu permasalahannya sekarang. Kenapa mereka bisa berdiri di depan altar. Tidak. Pernikahan itu tidak sah. Lantaran ia tidak pernah menginginkannya."Aku bukan istrimu, dan aku tidak akan pernah sudi penyandang status itu!" sanggah Luna menyembunyikan kedua tangannya. "Jelaskan padaku apa yang terjadi pada mereka?" Mengetahui kemana arah pandang Luna, Leon terkekeh seraya menarik paksa tangan Luna agar keluar dari balik gaun yang dikenakan.Tidak ingin cincing bermata berlian itu melingkar di jari manisnya, Luna segera menarik kasar tangan lagi. "Aku tidak mau!""Aku bisa menjamin mereka tetap baik-baik saja, dengan syarat. Pakai cincin pernikahan kita, dan bersikaplah manis sebagai istri yang baik. Saat itu terjadi, maka aku pastikan siapa saja yang ada di sekitarmu tetap aman.""Apa yang ingin kau tunjukkan? Bentuk tubuhmu? Atau kakimu yang jenjang?"Tangan Luna terkepal kuat, hingga buku-buku tangannya memucat. Tidak terima dengan tuduhan Leon yang seolah menganggap dirinya gemar memamerkan lekuk tubuh. Selain itu, Luna juga tidak menyangka Leon akan ikut turun. Pasalnya setelah menyambar kaos pria itu dan mengenakannya----Luna sempat memastikan jika Leon benar-benar masih terlelap setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu."Ini tubuhku, kau tidak berhak mengaturku harus bagaimana!" Luna sangat marah, terlebih mengetahui ada orang lain yang juga ikut mendengar tuduhan Leon padanya.Tanpa mengalihkan pandangan dari Luna yang berdiri di ujung tangga, kaki Leon perlahan turun menapaki anak tangga satu persatu. Hingga tak berselang lama, tubuh tinggi besarnya sudah menjulang di dekat Luna yang semakin terlihat kecil. Leon masih berdiri di dua anak tangga terakhir, ketika menatap pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari Luna."Pergilah Pak Jang, biar
Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada disampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana. Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar kehilangan akal."Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. "Dia benar-benar membuatku jijik dengan
"Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari."Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan picik.Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya tetap harus lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat."Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di atap gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan."Tidak ada yang lebih berhak atas dirinya selain aku. Dia milikku, d
Tatapan marah Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah shower seperti yang selalu dilakukan, Leon justru ikut masuk ke dalam jacuzzi. "Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?"Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata serta kepala yang bersandar di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangannya."Lepas! Aku sudah selesai.""Temani aku.""Kau kira aku sudi melakukannya? Tidak! Berada di tempat yang sama dengan pria mesum sepertimu, aku bisa benar-benar kehilangan akal." Mendapat penolakan, cengkraman Leon menguat. "Lepas, Le! Aku bisa kedinginan jika terlalu lama berendam." Luna bertambah kesal, tetapi Leon yang sudah membuka mata mengabaikannya."Aku bisa menghangatkanmu."Luna melotot tajam. Enggan menanggapi ucapan Leon yang memang tidak pernah jauh dari selangkangan, Luna berniat menyentak tangan pria itu. Tapi sayangnya kaki Luna justru terg
Luna mengabaikan rasa asin di bibir bawah bagian dalam atas gigitannya sendiri. Ia juga tidak peduli seberapa dalam giginya tertancap di sana, dan memilih menahan rasa itu dengan menutup mulut rapat-rapat."Rupanya kau lebih suka aku paksa, hm?"Leon masih sangat brutal menghujam Luna dengan posisi berdiri. Mengangkat satu kaki Luna, dan diletakkan ke atas bahu pria itu. Kondisi yang sebenarnya nyaris membuat Luna hilang kesadaran.Namun, Luna gadis yang cukup keras kepala untuk mengakui kekalahannya. Memilih mempertahan ego, meski sebenarnya bernafas pun semakin sulit ia lakukan.."Hentikan! Kau benar-benar kotor," cicit Luna pada akhirnya."Kau yang memintanya dengan berani bermain-main denganku." Tiba-tiba Luna memekik tertahan. Secara mengejutkan Leon mengangkat dan menangkup bokongnya menggunkan kedua tangan, sebelum akhirnya kembali dihentak dengan kasar. "Kau menyakitiku," kata Luna pelan dengan tubuh masih terpantul-pantul. Ia nyaris mati jika Leon tidak juga berniat berhent
"Karena itu kau menikahinya?" "Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik."Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang.""Tidak akan."Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan. "Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya.""Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama."Apa dia baru saja datang?""Seperti yang kau pikirkan."Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja."Setidaknya dia selalu i
Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati. Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari. Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikanny
"Jaga batasanmu, Ana!"Wanita itu mendengus, tetapi masih urung melakukan apa yang Leon perintahkan. Justru semakin mengeratkan kedua tangannya di leher pria itu."Aku berpikir semesta berpihak padaku dengan menurunkan hujan saat aku sampai di sini," ucapnya manja."Tidak ada gunanya kau bicara omong kosong!" ketus Leon menyentak kasar tangan Anastasya dari lehernya hingga terlepas. "Sekalipun hujan turun sepanjang malam, tidak akan terjadi apapun pada kita." Memilih menghindar dengan bangkit dari sofa, dan berjalan ke dekat jendela.Anastasya telah mengacaukan pikiran liarnya tentang Luna—gadis naif yang masih saja menginginkan pria lain. Tapi sayangnya telah mengusik benaknya sepanjang hari tadi. Kabar dari Pak Jang yang menjelaskan keadaan di sana aman terkendali pun, tak cukup membuatnya lega. Luna masih belum bisa ia tepikan dari benaknya, hingga kemunculan Anastasya yang tiba-tiba."Kenapa Le, kenapa kau selalu menolakku? Bukankah kita sudah pernah melakukannya sampai—""---tutup