Share

6. Naik pitam

Tatapan marah Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah shower seperti yang selalu dilakukan, pria itu justru ikut masuk ke dalam jacuzzi. 

"Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?"

Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata sebelumnya sambil menyandarkan kepala di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangan Luna.

"Lepas! Aku sudah selesai!" Luna menyentak tangan Leon. Tapi cengkraman pria itu tidak terlepas juga. "Lepas, aku bisa kedinginan."

"Temani aku."

"Tidak mau! Aku juga tidak mau ketinggalan waktu sarapanku lagi." Gerutuan Luna justru ditanggapi kekehan pelan oleh Leon.

"Bukankah mandi bersamaku jauh lebih mengenyangkan daripada sarapan?

Leon sengaja menggoda Luna yang langsung melotot tajam.

"Dasar mesum!" ketus Luna bermaksud akan kembali menyentak tangan Leon lebih keras lagi. Tapi diduga ia justru tergelincir dan nyaris jatuh terduduk kalau Leon tidak sigap menahan tubuhnya.

"Seharusnya kau tidak melakukan itu. Tetaplah di sini. Temani aku berendam sebentar saja." Dari nada tegas yang Leon katakan, sepertinya ia juga terkejut.

"Aku tidak mau!" kata Luna tak kalah tegas. "Apa kau tidak dengar!" Luna kesal Leon malah menari dirinya hingga duduk di atas pangkuan pria itu.

"Tidak ada yang salah jika kita melakukan itu dimanapun. Bukankah sudah kewajibanmu menyenangkan aku, suamimu."

"Tapi kau suami yang tidak pernah aku inginkan." 

Jika Leon selalu mengungkit status mereka, Luna pun tidak akan bosan mengingatkan siapa Leon baginya.

Leon memindahkan Luna duduk di antara kedua kakinya yang terbuka.

"Sudah aku katakan. Bersikaplah layaknya istri yang baik. Kau hanya perlu membuka pangkal pahamu kapanpun aku inginkan. Dengan begitu—"

"---kau memang brengsek!" sela Luna mengumpat. Ia benar-benae muak mendengar kalimat itu lagi.

"Satu lagi. Jangan melebihi batasanmu." Punggung Luna seketika terjengkit kaku. Bukan hanya cengkram Leon di aset kembarnya. Tetapi juga kalimat pelan yang pria itu ucapkan tepat di dekat telinga, mampu mengalirkan sengatan-sengatan kecil di area tengkuk. "Aku tidak peduli sekalipun hatimu sudah tertaut dengan pria lain. Asal kau tahu bagaimana membuatmu senang, maka apapun akan kau dapatkan. Kecuali berniat pergi dariku."

Deg!!

Sontak saja, Luna menelan kasar salivanya. Jadi Leon tahu dirinya berniat melarikan diri pagi tadi? Mungkinkah pak Jang yang melapor?

"Kau terlalu lugu menganggap bisa meninggalkan istanaku sekalipun aku tidak ada. Kau bahkan lupa ada berapa banyak cctv yang terpasang di mansion ini."

Kebodohan yang baru saja Luna sadari sekalipun Pak Jang memilih tetap menutup mulut. Ia benar-benar telah melupakan cctv yang terpasang di semua sudut ruangan, dan pastinya bisa memantau apapun yang dirinya lakukan sepanjang hari. 

"Sedangkan yang ada di kamar ini terhubung langsung dengan ponselku," lanjut Leon semakin membuat Luna tidak bisa berkutik.

"Seharusnya aku paham apa yang bisa pria sinting sepertimu lakukan untuk tetap mengurungku," sarkas Luna.

"Karena kau milikku." Tiba-tiba Luna meringis saat Leon kembali mencengkram gumpangan kembar miliknya l, dan lebih kuat dari yang sebelumnya. "Atau kau ingin aku membawa pria itu ke hadapanmu. Menunjukkan padanya jika sekarang kau milikku, hm?"

"Siapa yang kau bicarakan?" Dibalik sikap tenang yang Luna tunjukkan, ada jantung yang berdengung kencang. Luna tidak menyangka, Leon mengetahui akan sosok yang menjadi alasannya menolak ajakan menikah pria itu tempo hati. 

"Darma, bukankah itu namanya?"

Sekali lagi Luna hanya bisa menghela nafas pelan dengan mata terpejam. Sebenarnya ia sangat merindukan pemilik nama itu. Hanya saja, sekarang keadaan telah berubah. Luna tidak bisa lagi mengungkapkan apa yang sedang dirasakan, dan semua itu demi kebaikannya—-Darma.

'Bagaimana kabarmu sekarang? Aku berharap kau tetap baik-baik saja. Sekali lagi maafkan aku. Hiduplah dengan layak. Aku juga berharap untuk kebahagiaanmu.'

Bulir bening sudah merangsak keluar dari sudut mata. Luna pernah bersumpah untuk tidak menangis di hadapan Leon. Tetapi nyatanya, mengingat satu nama yang saat ini masih menempati posisi terindah di dalam sana, Luna tak cukup mampu menahan diri. Rasa sakit yang sama masih merongrong hingga dasar hati.

"Kau menangis untuknya?"

"Tidak!" tegas Luna segera mengusap pipinya yang basah. "Aku memang menyedihkan." Tiba-tiba Luna memutar badan, menatap dalam manik hijau keemasan milik Leon. 

Pria itu bergeming, ingin melihat apa yang sebenarnya akan Luna lakukan dengan keadaan mereka sekarang. Terlebih Luna menekan tombol pembuangan air, sehingga dalam hitungan dengan cepat, air sudah berkurang setengahnya.

Detik berikutnya, Luna mencengkam milik Leon, lantas memasukan ke dalam mulutnya yang kecil. Tentu saja tindakan tersebut sangat mengejutkan, tetapi juga Leon menyukainya. Tidak menyangka gadis yang sebelumnya ia anggap lugu, bisa melakukan hal seliar itu. 

Luna memang sudah sangat sinting dengan berani melakukan sesuatu yang menurutnya sangat menjijikan. Tapi apapun itu, ia rela melakukannya demi Darma, dan berharap Leon tidak lagi menyebut nama itu di hadapannya. Sebab, dengan begitu Luna bisa memastikan Darma akan tetap baik-baik saja.

"Kau melakukan ini karena ingin melindungi pra itu?" Luna yang memang sudah berniat menyudahi aksi gilanya, segera mengangkat kepala. Menatap ragu Leon yang sudah sangat tegang kaku. Selain menahan malu, sebenarnya Luna sangat khawatir dengan apa yang ingin Leon katakan lagi. "Tapi apapun alasanmu itu tidaklah penting bagiku. Aku suka kau yang agresif."

Luna seketika memalingkan wajah, menyembunyikan semburat merah di pipinya sambil beringsut memposisikan diri agar Leon bisa memasukinya. "Aku akan patuh, dengan satu syarat." 

Luna memang menyebalkan, dengan tetap melakukan penawaran disaat Leon sudah sangat ingin dihangatkan.

"Apa yang kau inginkan?" balas Leon disertai geraman.

"Jangan pernah libatkan siapapun atas diriku. Biarkan Kak Tari atau siapa saja mereka yang kau targetkan, tetap hidup dengan tenang."

Sempat melihat senyum misterius Leon, Luna cemas pria itu akan menolak tawarannya. "Apa dengan begini kau telah memasrahkan dirimu padaku?"

"Anggap saja begitu."

"Baiklah. Aku setuju." Leon mengarahkan tangan Luna untuk kembali menyentuh miliknya yang masih tegang berkedut-kedut. "Sekarang tunjukkan bagaimana caramu meredamnya."

Luna mendesak nafas pelan lebih dulu, sebelum mengarahkan milik Leon memasuki dirinya. Detik berikutnya, desahan halus seketika lolos dari mulut Leon bersamaan Luna menekan pinggulnya semakin turun. 

"Oh." 

Sialnya karena keberanian Luna menenggelamkan milik Leon hingga sempurna, justru menghadirkan sensasi luar biasa yang Luna sendiri sulit mengendalikan diri. 

'Semoga kau bisa mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dariku.' 

Darma tetap ada dipikiran Luna bahkan dalam kondisi setengah waras.

"Bergerak, Sayang." 

Luna berubah ragu. Rasa tidak rela tiba-tiba muncul—-melarangnya melakukan apa yang Leon perintahkan. 

Dilema. Disisi lain Luna tetap tidak ingin terjadi sesuatu pada Darma. Tetapi akal sehat masih saja menentang penyerahan diri yang sudah ia lakukan seperti jalang.

"Kenapa masih diam?"

Meski sebenarnya sangat tidak nyaman milik Leon berkedut-kedut di dalam sana, Luna tetap saja gamang—belum juga bergerak.

Leon berusaha keras menahan diri agar tidak meledak saat itu juga. Luna telah berani menggantung dirinya begitu tragis. Namun, alih-alih membimbing Luna bergerak erotis di atasnya, Leon justru menatap Luna yang tertunduk.

Rupanya gadis itu ingin bermain-main dengannya.

"Maaf, tapi aku tidak bisa." Tidak hanya kalimat sialan itu, Leon semakin marah saat tiba-tiba Luna melepaskan diri. "Aku tetap tidak bisa," ulang Luna yang benar-benar membuat Leon naik pitam.

Leon terjingkat bangkit setelah mendorong Luna menjauh darinya. "Brengsek sialan! Kau anggap dirimu siapa, hah!" Suara Leon menggelegar memenuhi kamar mandi. " Kau ingin mengujiku? Lihat saja apa yang bisa kulakukan pada kalian semua!"

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status