Luna merasa gugup lantaran untuk pertama kali dibawa ke pesta kaum elit, terlebih dengan pakaian yang sangat membuatnya tidak nyaman. Leon benar-benar menyebalkan dengan semua keangkuhannya. Pria itu juga tak hentinya memaksakan kehendak, sampai akhirnya dengan berat hati Luna mau mengenakan gaun brokat berlapis furing dengan potongan sabrina, dan memiliki ekor sedikit lebih panjang. Luna hanya tidak menyangka, Leon sampai mendatangkan seorang MUA demi membantunya bersiap untuk menghadiri pesta. Pesta yang ternyata tamu undangannya tidak terlalu banyak seperti yang Luna pikirkan. Gaun berwarna maroon yang Luna kenakan tampak pas di tubuhnya, ditambah rambut yang digulung sedikit ke atas hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Membuat penampilan Luna tampak menawan dan berkelas. Leon yang sebelumnya sempat kesal, dan memilih menunggu di lantai satu—dekat tangga, sampai terpana melihat Luna saat berjalan pelan menuruni anak tangga. Siapa yang percaya jika gadis itu mantan pel
Sontak saja, Luna terperanjat ketika wajahnya disiram air beraroma khas oleh wanita yang ada di depannya. "Jika memang tidak suka lebih baik minuman itu tetap di gelasmu, dan tinggalkan saja di atas meja. Bukan malah kau buang sembarangan!" Luna masih berusaha bersabar, meski tahu wanita itu sengaja membasahi wajahnya. Tapi apa masalah wanita itu sebenarnya? Sedangkan Luna yakin, itu pertemuan pertama mereka. "Aku bahkan sangat ingin mengguyur tubuhmu! Agar kau sadar seberapa mahal barang-barang mewah yang Leon gunakan menutup tubuhmu, kau tetap saja jalang rendahan!" Tanpa mengusap wajahnya, Luna lantas berdiri menatap berani wanita itu. "Apa sebelumnya kita pernah bertemu? Tolong beritahu aku, dan itu terjadi dimana? Karena aku benar-benar sudah melupakan wajah sadismu." Tidak tahu karena cairan itu mengenai wajahnya, atau lantaran terkejut, sekarang Luna merasa
"Kau sudah lama?" kata Darma seraya menarik kursi, lantas duduk di depan Emma. Mereka ada di cafe yang lumayan ramai pengunjung, untuk sekedar melewati siang itu yang lumayan terik, seperti yang Emma jelaskan di dalam pesan singkatnya satu jam lalu. Duduk berhadapan dengan pesanan Emma yang sudah tersaji, Darma tampak lebih ringan dibanding pertemuan mereka tempo hari. "Aku juga baru datang, tapi langsung memesan ini. Kau mau minum apa?" ujar Emma menunjukkan jus jeruk pesanannya. "Sebentar." Darma mengedarkan pandangan mencari keberadaan waiters. Begitu melihat pria berseragam itu muncul dari arah party dan menoleh padanya, Darma segera mengangkat tangan. Waiters itu pun langsung mendekat. "Aku mau kopi tanpa gula." "Baik, Kak. Mohon, tunggu sebentar." Darma mengangguk setuju. Begitu waiters pergi, Darma kembali berkata, "aku sengaja mengambil hari libur untuk dua hari kedepan," ujarnya mengingat pertanyaan Emma dipesan tadi yang belum sempat ia balas. "Kau tidak berniat meng
Senyum smirk Leon nampak mengerikan kala matanya menatap serius berita yang sedang disaksikan melalui laptop, di ruang kerjanya. Seorang pria yang juga ia kenal, tertunduk saat dibawa keluar dari lobby kantor. Banyaknya blitz kamera, serta serbuan pertanyaan membuat pria paruh baya itu semakin menunduk dalam, dengan kedua tangan tertaut di depan perut. Tidak ada satu katapun yang diucapkan sampai pria itu memasuki mobil, dan tidak lama iring-iringan mobil perlahan meninggalkan para mencari berita yang sepertinya juga kecewa—-tidak mendapat keterangan apapun. Selain dugaan sementara keterlibatan pria itu dalam kasus yang sedang beredar. Tapi itu sudah cukup membuat Leon tersenyum puas. "Saya pastikan statusnya akan segera berubah menjadi tersangka, Tuan," jelas Gerry yang berdiri di samping Leon—ikut menyaksikan berita trending hari itu. "Kau sudah menemukan pria itu?" "Masih dalam pengejaran orang kita, Tuan. Karena memang pemuda itu tidak bisa kita anggap remeh. Dia sangat cerdi
Cuaca sedang sangat bersahabat malam itu, dengan taburan bintang di langit yang tidak terlalu terang. Angin sepoi menampar langsung kulit wajah Emma, menghadirkan sensasi dingin hingga sekujur tubuh. Tapi Emma belum berniat pergi. Masih ingin berlama-lama disana.Duduk di sofa rooftop seorang diri, berteman serangga malam yang tidak terlalu menggelitik telinga, Emma merasa sedikit mendapat ketenangan.Sejak pertemuannya dengan Darma siang tadi, Emma merasa debaran itu kembali muncul. Rasa yang ia anggap telah mati bersama seseorang yang membawanya, kini mulai mengusik pikiran.Setelah sangat keras menyakinkan diri—-Darma dan Rocky dua orang yang berbeda. Tapi tetap saja, apapun yang ada di tubuh Darma selalu mengingatkan Emma pada laki-laki egois yang telah tega pergi bersama separuh jiwanya."Kau pasti tersenyum puas melihat kebodohanku sekarang. Bukankah aku memang bodoh dengan memperhatikanmu dari sini?"Menatap salah satu bintang yang bersinar paling terang, Emma merasa itulah le
"Aku tidak suka kau selalu mengulang kalimat yang sama. Apa yang kuberikan sudah lebih dari cukup. Jangan berharap sesuatu yang tidak mungkin bisa aku lakukan," tegas Leon. Sebenarnya jawaban itu juga sudah berulang kali-kali Leon tegaskan. Tapi Anastasya yang bebal tidak bisa mengingatnya, atau memang sengaja mengabaikannya. Berharap setelah bulan berganti tahun, Leon akan berubah pikiran. Nyatanya, Leon masih sangat konsisten pada keputusannya. "Dimana hatimu! Kenapa kau tidak bisa melihat dia sebentar saja. Dia putrimu, Le. Darah dagingmu!" Sepertinya Anastasya juga tidak akan bosan untuk terus mengingatkan. Tangis yang terlihat tulus tapi palsu selalu menjadi pemanis setiap drama yang Anastasya mainkan. Jangankan Leon, bahkan Gerry saja sudah sangat muak melihat itu. "Setidaknya jika kau tidak ingin mengakui dia putrimu, bersikaplah hangat sebagai seorang kakak." Leon tiba-tiba berdiri. "Aku anggap pembicaraan ini sudah selesai. Aku tidak ingin mendengar apapun lagi." "Tungg
"Aku lelah Bu, biarkan seperti ini lebih lama lagi." Meletakkan kepala di atas pangkuan wanita yang sangat dirindukan, Luna merasa semua beban di hati menguap begitu saja. Luna ingin berlama-lama seperti itu, ia merasa jauh lebih baik."Ada kalanya setiap orang merasakan lelah, Nak. Tetapi dengan terus bertahan akan memberinya hal baru. Hidup untuk belajar, memahami kondisi dan situasi. Jika kau bisa melewati semua itu, kau akan mendapat sesuatu yang berharga.""Aku merasa sendiri, Bu. Tidak ada satupun orang yang berpihak padaku. Bahkan ayah yang selalu aku tunggu kepulangannya saja, sampai saat ini tidak ada kabarnya. Sepertinya dia sudah melupakan aku."Hamparan bunga warna-warna yang membentang luas, memanjakan mata Luna, ditambah usapan di kepala membuatnya benar-benar tidak ingin meninggalkan tempat itu. Ia sudah sangat nyaman sekarang."Tetaplah bersabar, dengan begitu kau akan menemukan kebahagiaan yang s
"Dimana dia?" Begitu membukakan pintu apartemen, Flint dibuat terkejut dengan kedatangan Leon disaat hari hampir tengah malam. Tapi kemarahan di wajah pria itu tak kalah membuat Flint bertanya-tanya. Sesuatu pasti sudah terjadi."Ada apa?""Jesslyn!! Keluar!" Tanpa menjawab, Leon langsung menerobos masuk, lantas berteriak seperti orang kesetanan. Suara Leon sampai menggema memenuhi ruangan. Mustahil wanita itu tidak mendengarnya. Lantaran Leon yakin Flint datang ke kota itu tidak sendiri, melainkan bersama Jesslyn seperti yang selalu dilakukan. Tapi sialnya, sudah menunggu lebih dari satu menit, wanita itu tak kunjung keluar, membuat kemarahan Leon semakin menjadi.Bahkan sekalipun Flint menghalanginya untuk bertemu Jesslyn, Leon tidak keberatan jika harus menghadapi teman baiknya itu. Kemarahan berhasil mengalahkan akal sehat, Leon sudah sangat murka, dan semakin menggebu ingin membunuh siapa saja yang sudah berani menyakiti wanitanya.Flint segera menyusul Leon yang masih saja ber