"Menikahlah denganku."
Luna terhenyak, tetapi tidak berkata apapun ketika memperhatikan Leon bergerak duduk di sofa. Mengira telah salah mendengar."Menikahlah denganku," ujar Leon lagi. Tapi tidak begitu jelas terdengar oleh Luna. Menganggap Leon sudah tidak sabar menunggu minuman dingin yang sebelumnya dipesan. Luna pun bersiap akan pergi.Namun, baru memutar badan, Leon sudah lebih dulu meraih pinggangnya. "Biarkan aku membuktikan sesuatu padamu.""To-to-tolong jangan seperti ini, Tuan. Lepaskan saya." Terkejut bercampur risih—Luna berusaha melepaskan belitan tangan Leon di pinggangnya. Tapi sayang, bukannya terlepas, tangan lain pria itu justru mencengkram pelan leher depan Luna, hingga membuatnya menegang. "Aku akan memberimu kehidupan yang layak. Baik sekarang maupun nanti. Kau hanya perlu menikmatinya.""Apa yang Anda bicarakan, Tuan. Sa-saya tidak mengerti." Akal sehat Luna mengingatkan harus segera menyelamatkan diri. Bagaimanapun caranya. Atau ia bisa saja berakhir tragis di tangan sang majikan. Leon pria maniak. Mustahil bukan itu yang diinginkan darinya."Aku hanya ingin membuktikan sesuatu padamu," racau Leon lagi.Mengabaikan kalimat Leon, Luna terus meronta---berusaha semakin keras agar bisa terbebas. Tapi detik berikutnya, Luna semakin menegang kaku, hingga bulu-bulu tubuhnya meremang kala merasakan bibir hangat Leon telah berhasil menelusuri batang lehernya yang jenjang. Sadar tindakan tersebut tidaklah benar, Luna segera memekik dan kembali meronta. "Lepas!" Sialnya, Leon bertambah brutal dengan berani menjelajahi bagian tubuh Luna yang lain. Penolakan Luna tidak ada artinya. Pria itu sudah hilang kendali."Lepas!! Anda tidak sepantasnya melakukan hal serendah ini kepada saya!!!" teriak Luna histeris. Semakin takut tidak bisa menyelamatkan diri.Alih-alih mendengarkan peringatan Luna, secara tiba-tiba Leon justru mengangkat tubuh mungil gadis itu ala bridal style. Membawanya ke kamar tamu terdekat. Begitu pintu kembali tertutup, dan Leon tidak lupa menguncinya. Dihempaskan kasar tubuh Luna ke atas ranjang."Tolong!! Siapapun tolong aku!!!" teriak Luna seraya menjauhi Leon. Naasnya, pria itu lebih dulu menangkapnya saat akan melompat turun."Kenapa kau berisik sekali! Aku hanya ingin membuktikan sesuatu yang pasti kau juga menyukainya."Luna benar-benar tidak peduli apapun yang Leon katakan. Terus meronta, berharap dekapan pria itu terlepas."Akkk!! Sialan kau!!!" Tidak sengaja bisa melukai Leon hingga dekapannya pria terlepas, Luna segera melompat turun. Tetapi tangan panjang Leon sudah lebih dulu berhasil kembali menangkapnya. Bahkan sebelum menjauhi ranjang."Kau berani menolakku?"Dengan kasar Leon menyentak pakaian atas Luna, hingga beberapa kancingnya terlepas.Luna berusaha mempertahankan pakaiannya agar tidak sampai tertanggal, saat Leon yang marah kembali menyentaknya kasar. "Tolong Tuan, jangan seperti ini. Ampuni saya sudah menyakiti Anda. Saya berjanji akan mengobatinya jika memang itu yang Anda inginkan."Luna memang tidak pernah tahu jika telah menyakiti bagian intim Leon saat meronta tadi. Memangnya apa yang bisa ia lakukan jika bagian itu benar-benar terluka atas tindakannya?"Kau sudah membuatku banyak membuang tenaga dengan sia-sia. Kau pikir aku akan melepaskanmu setelah kau menyakitinya?"Sontak, Luna menggeleng tegas. Selain takut, ia juga merasa bersalah telah menyakiti sang tuan."Kau harus bertanggung jawab dengan tubuhmu," ujar Leon dingin.Tidak. Itu tidak adil. Luna tidak ingin menyerahkan kehormatannya pada pria seperti Leon."Tidak, Tuan. Saya mohon jangan lakukan itu. Masa depan saya masih panjang. Saya ingin laki-laki yang menikahi saya nanti bangga dengan mendapatkannya pertama kali." Alasan itulah yang selama ini Luna pegang teguh, dan mujurnya ia bisa memiliki kekasih yang pengertian. Bisa menjaganya dengan baik. Tiga tahun telah Luna lalui bersama pria pujaan hatinya, tapi tidak pernah sekalipun pria itu menuntut sesuatu darinya. Benar-benar menjaganya layaknya berlian.Namun sayang, alih-alih terkesan, Leon justru menyungging senyum misterius. "Kau terlalu naif dengan tetap mempertahankan itu. Karena aku yakin, kau akan menginginkannya lagi dan lagi setelah tahu bagaimana rasanya."Luna segera beralih ke arah lain. Tidak nyaman dengannya. "Saya ada di sini malam ini atas permintaan Pak Jang. Apa Anda pikir saya berniat menyerahkan diri seperti jalang-jalang Anda? Tidak! Untuk itu saya tegaskan, jaga sikap Anda, Tuan. Jangan sampai hilang rasa hormat saya terhadap Anda karena Anda sendiri yang tidak layak dihormati!"Merasa tidak ada pergerakan Leon lagi, Luna pikir pria itu berubah pikiran. Ternyata Tidak. Dengan mata yang mendelik tajam, pun rahang yang juga mengeras, Luna tahu seberapa marah pria itu. Tapi Luna tidak peduli, keinginannya hanya satu. Leon membiarkannya pergi saat itu juga."Kau terlalu banyak bicara. Apa kau pikir bisa semudah itu pergi dari kamar ini saat aku tidak memberimu izin?""Saya tidak perlu izin dari Anda untuk melindungi kehormatan saya! Seharusnya Anda paham itu. Bersikaplah layaknya pria terhormat, Tuan. Dengan tidak memaksakan kehendak pada pelayan rendahan seperti saya." Luna sengaja menekan setiap kata yang diucapkan. Mengabaikan Leon yang semakin tersulut emosi.Namun, tanpa diduga Leon kembali melempar Luna ke atas ranjang, dan dengan cepat menindihnya. Leon lantas menahan kedua tangan Luna dengan lututnya yang keras, saat tangannya sibuk melepaskan kancing kemeja yang ia kenakan."Lepas!!! Tolong!! Tolong aku!!! Akkhhh!!"Sekuat tenaga Luna berusaha melepaskan diri. Ia juga terus menepis tangan Leon yang ingin melepas kain penutup tubuhnya. Naasnya, secepat kilat keadaan telah berubah. Luna tidak lagi bisa melawan, ketika Leon menahan kedua tangannya di atas kepala. Sehingga tonjolan menantang di balik kain renda yang sejak tadi berusaha ia tutupi, justru menyembul keluar. Hampir tumpah dari wadahnya.Terbatasnya ruang gerak Luna, tidak bisa menghentikan Leon yang kini sudah berhasil menguasai tubuh atasnya. Pria itu semakin leluasa meninggalkan jejak merah dimanapun yang diinginkan. Sesaat berhasil menanggalkan pakaian atas Luna."Aku mengutukmu, Leon," ujar Luna marah. Tapi tidak juga menyerah untuk melepaskan diri. "Bajingan!! Lepaskan aku!!"Tidak ada lagi rasa hormat Luna terhadap Leon. Selain itu, ia juga merutuki kebodohannya yang hanya mengenakan setelan katun. Tanpa pernah terlintas di benaknya, jika piyama berlengan panjang tersebut bisa berakhir tragis di atas lantai. Leon telah mengoyaknya menjadi dua bagian."Cukup! Hentikan!! Kau tidak berhak mendapatkannya!"Leon kembali mencengkram tangan Luna ketika tahu akan menahannya melepas pakaian bawah gadis itu."Tolong hentikan, Tuan. Saya mohon." Luna sampai rela merendahkan diri, setelah semua usaha perlawananya berakhir sia-sia. Naasnya, tetap tidak bisa menghentikan kegilaan Leon. Sampai akhirnya apa yang ditakutkan terjadi. Leon telah merenggut satu-satunya yang berharga dalam hidupnya. Tidak ada lagi yang Luna banggakan, dan sekarang tidak hanya tubuhnya. Hatinya pun merasakan sakit luar biasa kala senyum manis seseorang di luar sana melintasi benaknya.'Maafkan aku. Sungguh maafkan aku.'Di tengah ketidakberdayaan, Luna hanya bisa terisak dalam diam. Terus mengulang kata 'maaf' dalam hati, merasa telah mengkhianati kekasih yang selama ini setia menunggunya kembali."Dengan begini kau telah menjadi milikmu."Belum bisa menerima kenyataan, Luna mengabaikan apa yang baru saja Leon katakan. Pikirannya terlalu kalut, dengan hati yang tak lebih baik. Mendengar pintu ditutup dari luar, barulah kesadaran Luna kembali. Tapi detik berikutnya tangis pun pecah. Masa depannya telah hancur. Tidak ada yang bisa ia banggakan lagi. Selain telah mengecewakan mendiang ibunya, ia juga sudah melukai kekasih hatinya."Aku sudah tidak pantas lagi untukmu. Maafkan aku, Kak.""Tugasmu hanya melayaniku layaknya suami. Karena membuat semua mata menatapmu jijik, bukan hal sulit aku lakukan."Kendati sangat marah mendengar kalimat itu keluar dari mulut seorang Leon Smith. Tapi Luna sadar siapa dirinya untuk melawan. Leon tidak pernah main-main dengan ucapannya. Pria arogan yang memiliki sisi gelap, dan tidak semua orang mengetahuinya.Meski keberatan dan jelas amat sangat terpaksa, tak ayal malam itu Luna kembali merasakan keganasan Leon di atas ranjang. Luna benci penyerahan diri yang ia lakukan lagi dalam keadaan sadar. Menganggap dirinya tak lebih baik dari wanita-wanita peliharaan sang tuan. "Kau puas sekarang?" Suara bergetar Luna terdengar ketika Leon bahkan belum mengatur nafas dengan benar.Pria itu baru saja berguling, dan seketika menoleh kesamping, sambil berucap dingin. "Sebelumnya aku pernah menawarkan pernikahan padamu. Sekarang jangan pernah menganggap dirimu korban jika kau juga menikmatinya.""Karena aku tahu pernikahan macam yang kau janjikan
"Apa yang ingin kau tunjukkan? Bentuk tubuhmu? Atau kakimu yang jenjang?"Tangan Luna terkepal kuat, hingga buku-buku tangannya memucat. Tidak terima dengan tuduhan Leon yang seolah menganggap dirinya gemar memamerkan lekuk tubuh. Selain itu, Luna juga tidak menyangka Leon akan ikut turun. Pasalnya setelah menyambar kaos pria itu dan mengenakannya----Luna sempat memastikan jika Leon benar-benar masih terlelap setelah percintaan panas mereka beberapa saat lalu."Ini tubuhku, kau tidak berhak mengaturku harus bagaimana!" Luna sangat marah, terlebih mengetahui ada orang lain yang juga ikut mendengar tuduhan Leon padanya.Tanpa mengalihkan pandangan dari Luna yang berdiri di ujung tangga, kaki Leon perlahan turun menapaki anak tangga satu persatu. Hingga tak berselang lama, tubuh tinggi besarnya sudah menjulang di dekat Luna yang semakin terlihat kecil. Leon masih berdiri di dua anak tangga terakhir, ketika menatap pria paruh baya yang berdiri tidak jauh dari Luna."Pergilah Pak Jang, biar
Keesokan pagi begitu membuka mata, seperti biasa Luna tidak mendapati Leon ada disampingnya lagi. Leon yang juga gemar berolahraga, baru akan turun satu jam sebelum berangkat ke kantor. Rutinitas yang sebenarnya tidak sengaja mulai Luna perhatikan. Meski sebenarnya ia juga tidak peduli, kapan pria itu akan naik ke lantai tiga, dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempertahankan otot tubuhnya disana. Luna tidak mau ambil pusing apapun yang Leon lakukan baik di dalam, maupun luar mansion. kecuali pada tubuhnya. Untuk itu Luna harus segera melarikan diri, sebelum benar-benar kehilangan akal."Lebih baik aku mandi." Muak dengan aroma tubuh Leon yang dirasa masih menempel tubuhnya, Luna bergegas meninggalkan ranjang—melenggang begitu saja meski dengan keadaan polos. Namun, saat akan memasuki bilik shower, langkah Luna terhenti di depan cermin wastafel. Ia tertegun begitu melihat ada banyak tanda kepemilikan yang Leon tinggalkan di tubuhnya. "Dia benar-benar membuatku jijik dengan
"Tidak kusangka dia akan senikmat itu. Cukup sepadan untuk penolakannya tempo hari."Menatap keramaian kota saat hari mulai gelap, bersamaan dengan lampu dari gedung-gedung pencakar langit lain yang juga mulai dinyalakan, membuat pikiran Leon semakin sulit teralihkan dari Luna. Gadis belia yang sengaja ia jerat dengan picik.Luna tidak pernah tahu seberapa besar resiko atas keputusanya telah berani menolak seorang Leon Smith. Tentunya tetap harus lebih dari apa yang sudah gadis itu lakukan. Leon bukanlah pribadi yang mudah menyerah. Sekeras apa usaha yang sudah dilakukan, tentunya akan sepadan dengan hasil yang didapat."Dia masih terlalu lugu." Tersenyum licik seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku celana. Pandangan Leon masih lurus ke depan. Menyaksikan sepasang anak manusia yang ada di atap gedung lain. Kendati jaraknya cukup jauh, tetapi mata tajamnya masih bisa menangkap jelas apa yang sedang mereka lakukan."Tidak ada yang lebih berhak atas dirinya selain aku. Dia milikku, d
Tatapan kesal Luna menghunus Leon yang kini duduk di hadapannya. Alih-alih membersihkan diri di bawah kucuran shower seperti yang selalu dilakukan, Leon justru ikut bergabung dengannya. "Kenapa menatapku seperti itu? Kau menganggap hanya dirimu yang berhak menggunakan tempat ini?"Cukup sadar diri, Luna seketika bangkit. Tetapi Leon yang bahkan sudah menutup mata serta kepala yang bersandar di bibir jacuzzi, dengan cepat menahan tangannya."Lepas! Aku sudah selesai.""Temani aku.""Kau kira aku sudi melakukannya? Tidak! Berada di tempat yang sama dengan pria mesum sepertimu, aku bisa benar-benar kehilangan akal." Mendapat penolakan, cengkraman Leon menguat. "Lepas, Le! Aku bisa kedinginan jika terlalu lama berendam." Luna bertambah kesal, tetapi Leon yang sudah membuka mata mengabaikannya."Aku bisa menghangatkanmu."Luna memutar bola mata malas, enggan menanggapi ucapan Loen yang memang tidak pernah jauh dari selangkangan. Sayangnya bermaksud ingin menyentak tangan pria itu, kaki Lu
Luna mengabaikan rasa asin di bibir bawah bagian dalam atas gigitannya sendiri. Ia juga tidak peduli seberapa dalam giginya tertancap di sana, dan memilih menahan rasa itu dengan menutup mulut rapat-rapat."Rupanya kau lebih suka aku paksa, hm?"Leon masih sangat brutal menghujam Luna dengan posisi berdiri. Mengangkat satu kaki Luna, dan diletakkan ke atas bahu pria itu. Kondisi yang sebenarnya nyaris membuat Luna hilang kesadaran.Namun, Luna gadis yang cukup keras kepala untuk mengakui kekalahannya. Memilih mempertahan ego, meski sebenarnya bernafas pun semakin sulit ia lakukan.."Hentikan! Kau benar-benar kotor," cicit Luna pada akhirnya."Kau yang memintanya dengan berani bermain-main denganku." Tiba-tiba Luna memekik tertahan. Secara mengejutkan Leon mengangkat dan menangkup bokongnya menggunkan kedua tangan, sebelum akhirnya kembali dihentak dengan kasar. "Kau menyakitiku," kata Luna pelan dengan tubuh masih terpantul-pantul. Ia nyaris mati jika Leon tidak juga berniat berhent
"Karena itu kau menikahinya?" "Bukankah semua tetap harus sepadan?" Leon menarik ujung bibirnya hingga memunculkan seringai licik."Aku hanya berharap kau tidak pernah menyesal dengan keputusanmu sekarang.""Tidak akan."Menemukan gurat kecemasan di wajah tua pria yang ada di hadapannya itu, Leon tidak begitu saja terprovokasi. Memilih tetap menujukkan sikap tenang seperti yang selalu dilakukan. "Menginaplah untuk malam ini. Lizzie juga pasti menginginkannya.""Kau tahu jawabanku," singkat Leon yang langsung berdiri dari kursi. "Aku datang untuk mengurus bisnis, bukan menuruti keinginannya."Tuan Smith mendesak nafas kasar, tapi Leon tak acuh dengan memilih segera pergi. Bahkan ketika wanita cantik yang baru datang membawa nampan bermaksud berbasa-basi menyapa---Leon juga mengabaikannya. Tetap melangkah lebar menuju pintu utama."Apa dia baru saja datang?""Seperti yang kau pikirkan."Pandangan wanita itu beralih pada paper bag coklat yang ada di atas meja."Setidaknya dia selalu i
Waktu berlalu, dan tanpa terasa hari berganti begitu cepat. Duduk di kursi taman seorang diri, Luna belum berniat beranjak meski sudah sejak satu jam lalu ada di sana. Tidak tahu pasti apa yang sedang dipikirkan. Memandangi bunga-bunga bermekaran sedang bergoyang tertiup angin, tiba-tiba kehampaan menelungkup hati. Anehnya ada sekelumit rasa yang tidak bisa dijelaskan, tetapi begitu nyata dirasa. Tepatnya sejak terbangun pagi tadi, mendapati sisi samping masih tetap rapi seperti hari kemarin dan lusa. Mendadak timbul kesedihan yang tidak diketahui pasti apa penyebabnya. Mungkinkah ia merindukan Leon?Tidak! Sisi hati Luna yang lain seketika menolak tegas. Rasa itu bukan tentang Leon yang bahkan tidak ada kabarnya sejak pergi satu minggu yang lalu. Kesedihan Luna lantaran teringat pertemuannya dengan Darma tempo hari. Yah! Itu yang sebenarnya terjadi.Mirisnya saat itu Darma tetap menganggapnya pembual. Seberapa keras ia sudah berusaha menjelaskan, tetap saja pria itu mengbabaikanny