Alpha tidak tau harus bersikap seperti apa setelah ditarik oleh perempuan asing menerobos rumahnya sendiri. Kalau saja yang menarik Alpha dengan semena-mena adalah bu Warni—tetangganya—Alpha tidak akan marah. Namun ini beda cerita. Bukan bu Warni yang menarik pergelangan tangan Alpha, tapi perempuan asing tidak tau diri yang sudah Alpha usir tapi tidak mau pergi. Alpha ingin memukul apa saja rasanya karena kesal.
"Tinggalkan rumah saya. Laki-laki tadi pasti sedang mencari kamu," datar Alpha menatap Saras. Perempuan itu berdiri di hadapannya, sedangkan Alpha duduk di pinggiran sofa."Beneran nggak butuh pembantu, Mas?" Saras masih berharap. Tentu saja, ini harapan terakhir Saras untuk tetap hidup. Saras bisa saja berkelana lagi mencari lowongan pekerjaan, tapi ia terlalu malas.Alpha menggeleng tegas. "Tolong segera tinggalkan rumah ini. Mumpung saya masih baik."Saras menatap Alpha sinis. "Kalau baik ya terima saya kerja di sini, bukan ngusir." Saras mendumel. "Saya baru aja mengalami kejadian kurang mengenakan. Mertua saya jahat, adik ipar saya mesum dan suami saya gila perempuan. Saya terpaksa kabur dan nggak bawa uang. Saya butuh pekerjaan dan juga... tempat tinggal."Saras spontan bercerita. Terlanjur sedih dan kecewa karena Alpha tidak bersimpati padanya. Saras terlihat begitu menyedihkan. Tidak kah Alpha merasa kasihan? Merasa iba barang hanya 1% saja?"Lalu?"Kepala Saras terangkat, menatap wajah datar Alpha. "Tolong bantu saya, Mas."Alpha menghela napas jengah. Ia beranjak, menghampiri Saras. Lalu menarik pergelangan tangan Saras, menyeret perempuan itu keluar. Alpha sudah cukup sabar untuk tidak menghubungi satpam."Mas, ayolah. Tolong saya. Kita ini sama-sama manusia." Saras berusaha menggapai apa saja agar kakinya tidak meninggalkan rumah ini. Bisa saja Saras dianggap gila dan tak punya harga diri, tapi apa boleh buat? Terkadang harga diri perlu diturunkan sedikit agar seseorang bisa hidup. Ah, mungkin Saras saja yang punya pemikiran demikian."Saya bukan manusia."Setiap manusia punya alasan bersikap kejam pada manusia lain. Alpha sedang tidak butuh siapapun di rumahnya. Ia memang sedang mencari asisten rumah tangga, tapi setelah dipikir-pikir lagi, Alpha bisa mengurus Gani sendirian. Sejauh ini Alpha mengurus putranya dengan baik tanpa bantuan siapapun.Lagipula, brosur itu bukan Alpha yang memasang, melainkan ibunya. Wanita itu kasihan melihat Alpha kesusahan merawat Gani. Padahal nyatanya, Alpha baik-baik saja."Saya nggak peduli. Mau mas bukan manusia, alien, hantu, vampir, manusia harimau atau apalah itu, saya bakal bekerja dengan baik. Gajinya dikit juga nggak papa, Mas," ucap Saras. "Saya janji nggak bakal macam-macam, ma--"Brak!Ucapan Saras di sambar bunyi dentuman pintu yang ditutup kuat. Ia meneguk ludah, merasa sia-sia berbicara panjang lebar. Dasar laki-laki jahat! Saras do'akan suatu saat ia menjadi superman dalam hidup laki-laki itu biar dia tau rasa. Apa susahnya menolong orang? Maaf juga karena Saras memaksa, tapi ia tidak punya pilihan lagi. Rumah ibu jauh di kampung sementara Saras tidak memegang uang sepeser pun.Hidup Saras sepertinya akan segera berakhir. Jika ia mati hari ini karena belum makan, ini adalah mati dengan cara paling konyol. Semoga di kehidupan selanjutnya Saras terlahir sebagai presiden. Ia akan mencari laki-laki itu dan membunuhnya. Saras akan membunuh siapapun yang berbuat jahat padanya.Ah, lama-lama Saras bisa gila. Ia mulai berkhayal menjadi presiden."Gani nggak suka ya liat papa jahat sama orang.""Papa nggak melakukan apapun, Gani.""Tadi Gani liat papa nyeret perempuan, terus ada bunyi pintu di tutup kenceng.""Gani...""Tante!"Pintu terbuka, menampakkan tubuh mungil seperti tuyul yang kini menatap Saras. Sepertinya dia adalah malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan."Gani." Alpha muncul di belakang Gani. Tampak menahan kesal."Tante kenapa?" Gani mengabaikan Alpha. Fokusnya tertuju pada Saras.Sebuah peluang. Makhluk kecil nan manis ini pasti anak dari laki-laki datar itu. Dengan cepat Saras memasang raut wajah sedih. Ia merendahkan tubuh seraya meraih dua tangan mungil bocah bernama Gani itu."Tante lagi ada masalah. Sekarang lagi nyari kerjaan. Tadi tante nggak sengaja liat ada brosur nempel di pagar rumah ini. Katanya lagi nyari ART." Mata Saras melirik Alpha yang tampak pasrah. Lalu kembali menatap Gani. "Tante coba tanya sama papa kamu, katanya nggak butuh pembantu. Tapi brosurnya masih baru, nggak mungkin ditempel cuma buat pajangan. Tante butuh kerjaan, tante sekarang juga nggak punya tempat tinggal."Memalukan sekali. Saras tidak pernah membayangkan akan berada di posisi ini. Kalau saja teman-temannya tau, Saras pasti akan ditertawakan.Gani punya hati yang lembut. Ia tidak bisa melihat orang lain kesusahan. Terlebih lagi perempuan."Kata Oma, papa emang lagi butuh pembantu," ucapnya polos.Sudut bibir Saras terangkat sedikit. "Tapi kata papa kamu--""Papa bohong. Dia emang gitu," balas Gani melirik Alpha sinis.Pria itu merotasikan bola matanya malas.Saras tersenyum haru. Ia mengusap kedua matanya yang tak berair. "Jadi tante bisa kerja di sini?""Butuh banget ya, tante?" tanya Gani.Saras menganggukkan kepalanya. "Sekarang tante udah nggak punya apa-apa. Tante juga nggak punya siapa-siapa. Tante sendirian."Gani menggelengkan kepalanya cepat. "Tante nggak sendirian. Ada Gani.""Eh?" Mata Alpha praktis melotot mendengar ucapan putranya."Sekarang tante ikut Gani ke dalam. Katanya Oma mau datang." Tangan mungil Gani menggenggam satu tangan Saras. Sejenak, Saras diam. Tidak bisa berkata-kata melihat kebaikan bocah dengan senyuman manis itu. Berbeda sekali dengan pria yang sejak tadi bersedekap dada di belakang Gani."Jangan sembarang bawa orang, Gani. Kalau dia penjahat gimana?" Alpha menahan Gani agar tidak bisa masuk."Mana ada penjahat cantik, papa." Gani menggeleng tidak habis fikir. "Mungkin penjahatnya papa."Dahi Alpha mengerut. "Kenapa papa?""Karena bohong, terus ngusir tante ini. Dia lagi kesusahan loh, papa." Gani mendorong Alpha agar menyingkir dari depan pintu. Ia berjalan dengan senyuman manis, membawa Saras memasuki rumah."Gani?" Alpha tidak percaya. Semudah itu Gani akrab dengan orang asing? Apa perempuan itu punya ilmu hitam, makanya mudah memikat hati anak kecil? Wah, Alpha harus segera menyusul. Gani berada dalam bahaya."Saya beneran boleh kerja di sini, mas?"Mungkin pertanyaan barusan sudah ditanyakan untuk ke enam kalinya sejak kepergian mama dari rumah. Tadi mama Alpha datang, mendiskusikan perihal Saras. Katanya Alpha tidak bisa hidup berdua dengan Gani. Anak kecil itu butuh teman bermain, teman bercerita sedangkan Alpha sibuk bekerja dan sering pulang larut malam. Gani juga butuh perhatian. Harus ada satu orang yang memperhatikan jadwal Gani. Dimulai dari bangun hingga bangun lagi di keesokan harinya. Alpha meminta mama saja yang menjaga Gani, tapi wanita itu menolak. Ia juga sibuk, tour ke sana kemari bersama komunitas travelingnya. Ya, semenjak ditinggal papa, mama tidak pernah betah duduk di rumah. Paling hanya empat hari, lalu esoknya pergi lagi.Alhasil, dengan sangat amat terpaksa, Alpha menerima Saras menjadi pembantu di rumahnya. Tentu saja tidak cuma-cuma. Alpha memberikan beberapa syarat yang harus Saras sanggupi jika memang ingin bekerja di rumah ini."Jangan bikin saya berubah piki
Hari ini adalah hari pertama Saras bekerja. Tugas pertamanya adalah membuat sarapan untuk Alpha dan Gani. Semalam Alpha mendatangi kamarnya, memberikan beberapa helai kemeja untuk Saras kenakan. Pria dingin itu juga membawakan makanan, sembari menegaskan sekali lagi mengenai tugas Saras di rumah ini. Ia diberikan kebebasan untuk melakukan apa saja asalkan jangan menggangu area terlarang yaitu kamar Alpha. Saras mengangguk dengan tegas, mengatakan bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya di kamar itu sekalipun ada urusan mendesak. Alpha melarang Saras untuk menapaki kamarnya, tapi tidak dengan mengetuk pintu kamar tersebut. Mana tau suatu saat, ada peristiwa yang mengharuskan Saras menemui Alpha di kamarnya."Selamat pagi, Tante!" Gani muncul dengan senyuman manisnya. Wajahnya masih kusut, tapi senyumnya sudah cerah. Agaknya pagi ini bocah itu bangun dengan perasaan senang."Sini sarapan dulu."Di meja makan sudah tertata rapi mahakarya Saras selama setengah jam di dapur. Simpel saja.
"Pha," panggil Derma—rekan kerja sekaligus teman dekat Alpha. Alpha ini sebetulnya CEO di sebuah perusahaan kontruksi besar, tapi memilih tidak menunjukkan dirinya dan bekerja sebagai karyawan biasa. Tidak ada yang tau identitas asli Alpha. Hanya Derma, sekretarisnya dan keluarganya."Hm." Alpha menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.Derma menghela pelan. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, tampak frustasi sekali."Gue capek, Pha," keluhnya menatap langit-langit ruangan. Sebagai karyawan di sebuah perusahaan industri kreatif, mereka diberikan ruangan sesuai bidang. Kebetulan Derma dan Alpha satu divisi. Bertiga sebetulnya. Ada satu orang lagi, perempuan dan telah Derma suruh membuat kopi untuk mereka.Alpha melirik Derma sekilas. "Kerjaan cuma makan tidur doang ngeluh capek.""Gue lelah sama dunia ini, Pha." Derma semakin dramatis.Alpha berdecak pelan. Lingkungan Alpha terlalu ramai untuk dirinya yang suka ketenangan dan kesendirian. Di rumah ada Gani
Usai menyiapkan makan siang, Saras memilih menemani Gani bermain. Tadi dia melihat Gani sibuk di ruang tengah bersama deretan robot-robotnya. Sempat terpikir oleh Saras, betapa kesepiannya bocah itu kala hanya seorang diri di rumah. Bahkan Alpha dengan tenangnya membiarkan anak itu di rumah sendirian. Kalau saja Saras tidak datang, mungkin Gani akan terlihat sangat menyedihkan sebagai bocah laki-laki berumur 4 tahun. Sebab di sepanjang hari, ia hanya tertawa sendirian bersama benda mati yang akrab ia sapa teman. Terkadang Saras jadi penasaran tentang keberadaan ibu dari bocah itu. Ia masih terlalu dini untuk tidak memperoleh kasih sayang dari seorang ibu."Gani ganteng," panggil Saras seraya melangkah mendekat.Kepala Gani langsung mendongak, menatap Saras dengan dua bola mata yang selalu berbinar. Lalu dengan cepat ia beranjak, meninggalkan teman-temannya hanya untuk duduk di samping Saras. "Tante tadi masak apa?" tanya Gani menatap Saras antusias.Saras bergumam singkat. "Spaghett
Rasanya, roh Saras ingin keluar dari tubuhnya. Rupanya berita itu sudah terdengar oleh telinga Alpha. Seharusnya Saras tak perlu heran sebab ia tau siapa Bastian. Pria itu bukan orang sembarangan yang mudah di lawan. Bastian tidak akan menyerah sebelum apa yang ia inginkan berhasil ia dapatkan. Membuat berita dengan iming-iming saham tentu dengan mudah menarik atensi siapapun. Tidak ada yang tidak tergiur dengan jumlah yang cukup lumayan itu. Termasuk orang kaya seperti Alpha."Tinggalkan rumah saya dan selesaikan masalah kamu," ujar Alpha.Saras menggelengkan kepalanya. Mau bagaimanapun, Saras tidak bisa kembali. Saras lebih suka mati ketimbang harus pulang dan hidup di rumah Bastian yang tak ada bedanya dengan neraka. "Saraswati Oryza," Alpha menunduk, menatap lurus pada netra coklat Saras. "Sejak awal, saya sudah tau kalau kamu adalah Saraswati Oryza. Kamu istri dari orang terpandang yang pernikahannya disaksikan seluruh dunia. Bagaimana kamu bisa lupa dengan diri kamu dan lari ke
Alpha kembali ke kantor usai makan siang. Saras sedikit lega kala Alpha tidak bertanya lebih jauh lagi perihal dirinya dan Bastian. Setidaknya Saras bisa tenang hingga semua barangnya tersimpan dalam koper, lalu bersiap untuk meninggalkan rumah ini. Biarlah Saras menjadi gelandangan lagi asalkan ia tidak ditemukan oleh Bastian. Yang paling penting Alpha dan Gani tidak boleh terlibat.Usai makan malam bersama Gani, Saras mulai merapikan barang-barangnya. Sedangkan Gani pergi ke kamarnya untuk bermain dengan robot-robot dan mainan baru yang entah ia dapat darimana.Helaan napas panjang keluar dari mulut Saras. Akhir-akhir ini hidupnya penuh dengan ujian. Setelah perusahaan bangkrut, lalu keluarga dan suami yang berubah drastis dan kini harus hidup luntang lantung. Agak lucu sebetulnya. Saraswati yang dulunya bisa membeli seluruh dunia mendadak tidak bisa makan. Hidupnya berubah begitu cepat. Karena kelalaiannya, Saras harus menderita dan hidup seperti gelandangan. Bahkan untuk mengabari
Saras berada di posisi serba salah. Sebetulnya ia bisa pergi tanpa harus peduli pada Gani yang sejak tadi duduk di sudut ruang tamu sembari menekuk lutut. Tadi bocah itu menangis, meminta Saras untuk tetap di sini karena ia bisa kesepian lagi jika Saras pergi. Tapi Saras tidak bisa. Ia mendadak tidak tega. Dari arah pintu masuk, Alpha berlari menghampiri Saras yang berdiri sembari menggenggam gagang koper yang siap diseret. Nafas pria itu tak beraturan, seperti sehabis berlari dari Anyer ke Panarukan.Melihat kedatangan Alpha, Gani yang tadinya tidak bergerak langsung berlari memeluk kaki pria itu. Tangisnya masih ada, tapi tak bersuara. Tangis seperti itulah yang membuat hati Saras terasa teriris.Seumur hidup, Alpha tidak pernah berada di situasi seperti ini. Anaknya menangis karena tidak ingin seseorang yang sama sekali tidak dia kenal pergi meninggalkannya. Gani tidak pernah bersikap seperti ini. Bahkan pada pembantu-pembantu sebelumnya yang jauh lebih lama bekerja di rumah ini.
Saras terbangun kala mendengar suara riuh yang berasal dari dapur. Melirik jam di dinding, ternyata masih pukul setengah enam pagi. Siapa yang bangun sepagi ini dan membuat keributan? Apa mungkin Alpha? Atau...Gani? Atau mungkin saja ada perampok yang terjebak di rumahnya dan sedang mencari barang berharga di dapur?Memikirkan hal itu, kantuk Saras langsung hilang. Ia buru-buru turun dari ranjang. Menyambar bantal guling, lalu melangkah tergesa-gesa menuju dapur. Lampu ruang tengah masih belum dinyalakan. Begitu juga dengan lampu di ruang tamu. Besar kemungkinan pelaku keributan di dapur adalah perampok. Kalau Alpha, tak mungkin pria itu membiarkan rumah dalam keadaan gelap seperti ini.Lantas dengan hati-hati, Saras menginjakkan kakinya di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ruangan itu tidak gelap. Lampu bersinar terang, membuat Saras bisa melihat dengan jelas sosok bertubuh tegap yang berdiri menghadap kompor. Seorang pria dengan tubuh bagian atas yang terekspos dengan jelas.