Share

Bab 6

Usai menyiapkan makan siang, Saras memilih menemani Gani bermain. Tadi dia melihat Gani sibuk di ruang tengah bersama deretan robot-robotnya. Sempat terpikir oleh Saras, betapa kesepiannya bocah itu kala hanya seorang diri di rumah. Bahkan Alpha dengan tenangnya membiarkan anak itu di rumah sendirian. Kalau saja Saras tidak datang, mungkin Gani akan terlihat sangat menyedihkan sebagai bocah laki-laki berumur 4 tahun. Sebab di sepanjang hari, ia hanya tertawa sendirian bersama benda mati yang akrab ia sapa teman.

Terkadang Saras jadi penasaran tentang keberadaan ibu dari bocah itu. Ia masih terlalu dini untuk tidak memperoleh kasih sayang dari seorang ibu.

"Gani ganteng," panggil Saras seraya melangkah mendekat.

Kepala Gani langsung mendongak, menatap Saras dengan dua bola mata yang selalu berbinar. Lalu dengan cepat ia beranjak, meninggalkan teman-temannya hanya untuk duduk di samping Saras.

"Tante tadi masak apa?" tanya Gani menatap Saras antusias.

Saras bergumam singkat. "Spaghetti sama ayam goreng kunyit."

Di dalam buku menu yang Saras temukan memang tidak ada menu ayam goreng kunyit. Itu ide asal Saras saja. Karena menurutnya, makanan western tidak terlalu menarik. Gani harus dikenalkan pada cita rasa nusantara. Lagian Alpha itu aneh. Tinggal di Indonesia tapi menolak makan makanan Indonesia. Kolesterolnya kadang memang lumayan, tapi cita rasa seperti itu tidak pernah ditemukan dimanapun.

"Ada sambal?" tanyanya. Tadi pagi Gani ingin mencoba sambal buatan Saras, tapi dilarang Alpha. Apalah daya, Gani hanya bisa menurut sembari meneguk ludah. Menelan kembali keinginannya untuk makan sambal.

Saras memasang wajah kecewa. "Yahh, nggak ada. Papa kamu nggak bolehin masak makanan kayak tadi pagi. Padahal ayam goreng kunyit enak kalau dimakan sama sambel."

Gani menghela nafas kecewa. Tangan Saras segera terulur, mengusap bahu Gani. "Lain kali deh, kita makan sambel, berdua."

Gani menarik sudut bibirnya sedikit. "Makasih, tante."

Saras tersenyum lebar. Rasanya begitu menyenangkan bisa menghabiskan waktu bersama anak kecil seperti Gani.

Dulu sekali, sewaktu rumah tangganya masih baik-baik saja, Saras dan Bastian sempat ingin punya anak. Mereka menginginkan anak laki-laki karena menurut Bastian, anak laki-laki dapat menjadi pewaris. Saras juga menyukai anak laki-laki tanpa alasan yang jelas. Suka saja begitu. Namun naasnya, keinginan mereka tidak terealisasikan karena Saras keburu bangkrut dan Bastian berubah dengan cepat. Kini, rumah tangga mereka telah berakhir. Saras menganggapnya begitu. Cepat atau lambat, Saras akan mengajukan gugatan cerai dan membawa dirinya serta ibunya jauh dari keluarga bejat itu. Saras akan menemukan cara untuk melepaskan diri dari Bastian dan keluarganya.

"Sebentar lagi papa pulang. Tapi dia kayaknya nggak makan, sama kayak tadi pagi." Ada nada sedih yang membersamai ucapan Gani.

Saras menatap bocah di pelukannya itu dengan dahi berkerut. Saras pikir Alpha bersikap seperti tadi pagi karena ada dirinya. Namun ternyata, Alpha memang sudah biasa bersikap seperti itu.

"Kok gitu? Biasanya papa kamu nggak pernah makan di rumah?" tanya Saras.

"Papa pulang cuma buat masakin dan liatin aku makan. Habis itu balik lagi ke kantor dan bakal ketemu lagi nanti malam. Aku nggak tau kenapa papa nggak pernah sarapan atau makan siang di rumah. Dia selalu bilang, dia nggak lapar," jelas Gani.

"Papa kamu tuh aneh ya," cerca Saras tidak habis fikir. Setidaknya Alpha meluangkan sedikit waktu untuk  menghabiskan beberapa menit bersama Gani. Memang agak aneh pria itu. Sarapan dan makan siang bersama anaknya saja tidak bisa. Pasti Alpha tipe pria gila kerja yang abai pada keluarganya. Mungkin istrinya tidak betah dengan sikap Alpha dan memutuskan untuk berpisah.

Gani tertawa begitu saja melihat muka kesal Saras. "Akhir-akhir ini papa emang sibuk banget. Tapi nggak papa kok, aku ngerti."

"Sekali-kali marahin dong, Ga. Kamu nggak bisa terus-terusan ngertiin orang dewasa. Ah, ribet juga nih kalau tante jelasin." Saras terkekeh lagi. "Intinya bilang aja ke papa kamu kalau kamu nggak mau sarapan sendirian, nggak mau makan siang sendirian. Maunya sama papa."

Gani menganggukkan kepalanya.

Ada hening sejenak.

"Tante...selamanya di sini kan?"

Mata Saras tertuju pada Gani dengan cepat. Tak langsung menjawab, melainkan diam beberapa saat.

"Gani seneng kalau tante bisa selamanya di sini," sambung bocah itu tersenyum manis.

Saras turut tersenyum. "Tante juga seneng kalau bisa di sini selamanya."

"Jadi mama aku aja gimana?"

"Ekhm."

Saras terselamatkan berkat kepulangan Alpha. Pria itu berdiri di belakang sofa yang mereka duduki. Saras tidak tau pasti kapannya Alpha ada di sana, tapi semoga saja dia baru datang. Sebab, tadi Saras dan Gani sempat membicarakan Alpha.

Pertanyaan Gani terabaikan begitu saja. Anak itu juga tidak terlalu peduli karena fokusnya tertuju pada sang ayah. Ia turun dari sofa dengan cepat, berjalan mengitarinya dan berakhir dengan memeluk Alpha.

"Papa lama banget." Alpha merendahkan tubuhnya, membiarkan kepala Gani bersandar di bahunya.

"Tadi jalanannya sedikit macet." Alpha melirik Saras sekilas. "Kamu udah makan?"

"Belum. Gani nungguin papa."

"Yaudah, ayo makan bareng," ajak Alpha seraya meraih Gani ke dalam gendongannya.

Kemudian berlalu pergi, mengabaikan Saras yang sibuk mengotak atik remote tv.

Saras melihat ke arah Alpha yang sudah berjalan menjauh. Ia spontan bernafas lega. Kalau saja Alpha tidak datang, Saras pasti sudah membeku karena tidak tau bagaimana caranya menjawab pertanyaan Gani.

'Saya akan memberikan 20% saham De Amora kepada siapapun yang berhasil membawa kembali istri saya. Saraswati Oryza, ayo pulang. Kita selesaikan semuanya dengan cara baik-baik.'

Tubuh Saras menegang setelah tak sengaja menonton berita sayembara yang dibuat oleh Bastian. Pria itu benar-benar tidak menyerah dan terus berupaya mencari dimana ia berada.

Pasti semua orang mulai berlomba-lomba menemukan keberadaan Saras. Hadiah yang ditawarkan lumayan. Saras tidak bisa berkeliaran dengan bebas.

Apa Alpha tau?

Saras segera mematikan televisi, lalu berbalik, hendak menemui duda anak satu itu di ruang makan. Namun naas sekali, Saras sudah lebih dulu menemukan Alpha berdiri di dekat sofa. Kedua tangannya terlipat di depan dada, menatapnya dengan sorot mata tak bisa Saras baca.

"Pak Alpha?"

"Saya akan mengantar kamu pulang."

Detak jantung Saras berdetak cepat. Terlebih kala mendapati Alpha berdiri tak jauh darinya. 

Mata tajam pria itu seolah menusuknya.

"Jangan lari dari masalah, Saras," tegasnya sembari terus melangkah mendekati Saras. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status