Gani ternyata demam. Padahal sepulang sekolah anak itu masih baik-baik saja. Masih bisa tersenyum dan tertawa meski tak seriang biasanya karena masih sedih atas kepergian Saras. Namun pada malam itu, suhu tubuh Gani naik drastis. Tubuhnya panas, pipinya memerah dan anak itu mengigau, memanggil "mama."Alpha langsung membawa Gani ke rumah sakit saat itu juga. Derma juga ikut menjadi sopir. Malam itu tidak ada yang Alpha khawatirkan selain Gani yang tak kunjung sadar kala Alpha panggil. Dia terus menyerukan kata mama dengan suara nyaris berbisik.Setibanya di rumah sakit, Gani langsung di bawa ke unit gawat darurat untuk diperiksa oleh dokter. Sedangkan Alpha dan Derma menunggu dengan cemas di depan ruangan. "Anak bapak mengalami alergi parah. Sebelumnya apakah bapak tau apa yang putra bapak makan?" ucap dokter yang memeriksa Gani.Seharian Gani berada di taman kanak-kanak, tidak berada di bawah pengawasan Alpha. Dia jelas menggelengkan kepala karena tidak tau apa yang putranya makan s
Alpha tersentak kala ponsel di sakunya berdering. Malam ini Alpha menjaga Gani sendirian. Derma sudah pamit pulang beberapa jam yang lalu. Katanya ada kerjaan dan deadline besok pagi. Sedangkan mama baru bisa datang besok pagi karena malam ini masih terjebak macet sehabis menghadiri acara di rumah temannya. Sekarang Gani hanya punya Alpha. Bocah kecil itu sudah cukup membaik. Sudah bisa diajak bicara, meski kala tidur masih mengigau. Kini anak itu terlelap setelah menangis karena tiba-tiba ingin bertemu dengan mamanya yang entah berada di mana. Ponsel Alpha berdering lagi. Alpha sengaja tidak menjawab panggilan tersebut karena berasal dari nomor tidak di kenal. Panggilan kedua masih Alpha abaikan. Panggilan ketiga tetap tak Alpha hiraukan. Hingga pada panggilan keempat, kesabaran Alpha habis. Gani bisa terbangun jika ponsel itu dibiarkan terus berdering nyaring."Apa di rumah anda tidak ada jam? Ini waktunya istirahat. Tidak sopan menelvon pada jam istirahat!" Tanpa basa-basi, Alpha
Saras bergabung di meja makan untuk sarapan bersama. Disusul Bastian yang datang terakhir. Mama dan Aderion sudah lebih dulu di sana, menyantap sarapan mereka tanpa peduli dengan kedatangan Saras. Toh wanita itu tidak pernah menyukainya sejak semua harta Saras habis. Wanita yang dulu mengaku sebagai fans beratnya itu mendadak berubah menjadi musuh yang menginginkan dirinya mati. Ya, banyak hal buruk yang Saras alami sejak perusahaannya gugur. Semua kesalahan dilimpahkan padanya. Hidup mama sial karena Saras. Papa meninggalkan mereka juga karena Saras. Bahkan ketika Aderion terkena kasus kekerasan, Saras juga yang jadi penyebabnya. Padahal Saras tidak melakukan apapun. Dia hanya diam, menerima segala pukulan dan cacian dari mereka.Bastian memberikan piring berisi nasi goreng pada Saras usai mengambil untuk dirinya sendiri. Tersenyum. Bastian menyuruh Saras sarapan. Saras menurut dan menikmati sarapan dalam kesunyian meja makan. "Bang, gue minta uang buat beli vespa baru ya? 10 juta a
"Kamu cantik," puji Bastian kala Saras melangkah menuruni tangga. Mengenakan dress selutut berwarna putih gading dengan rambut di sanggul dan anting yang menggantung di kedua telinga perempuan itu membuatnya terlihat seperti bintang di mata Bastian. Saras menatap Bastian yang menunggunya di ujung tangga. Pria itu mengenakan jas hitam dengan printilan senada. Rambut di tata rapi dengan sisa helaian yang jatuh di dahinya. Bastian tampak tampan. Ya, dia akan terlihat tampan jika tidak banyak tingkah. Bastian mengulurkan tangan kala Saras tiba di ujung tangga. Berlagak seperti pangeran. Saras menerima uluran tangan Bastian, lalu mereka melangkah bergandengan menuju pintu utama. Bastian berkali-kali menoleh untuk menatap wajah Saras. Berkali-kali juga tersenyum, membuat jantung Saras berdetak cepat tanpa seizinnya. Sejujurnya, Saras masih mencintai Bastian. Bahkan ketika Bastian membencinya dan berkali-kali memberikan luka di tubuh dan hatinya, Saras masih tidak bisa melupakan pria itu.
Suami saya.Alpha yang tak sengaja menyaksikan konferensi pers itu melalui layar kaca hanya bisa terdiam. Lalu terkekeh miris, merasa hina karena telah dibohongi oleh perempuan itu. Katanya dia sedang berada di kampungnya, bersama ibunya. Namun nyatanya dia kembali ke rumah Bastian. Berdiri di atas podium dengan senyum lebar seakan ia benar-benar pulang ke tempat yang tepat.Alpha merasa kecewa. Dia berusaha melindungi Saras agar tidak kembali jatuh pada lubang yang sama. Namun naasnya, perempuan itu malah berdiri di sebelah Bastian dengan senyum lebar. Dia tampak menikmati suara riuh dari wartawan. Dia juga tampak tak masalah ketika kamera membawanya tampil di layar kaca. Alpha jadi heran, apa sebenarnya yang terjadi pada perempuan itu. Apa dia benar-benar mengalami kekerasan dalam rumah tangga? Atau itu hanya sebuah permainan yang digunakan untuk menjebak orang-orang? Entahlah, Alpha tidak bisa berpikir jernih sekarang. Dadanya sesak melihat Bastian dan Saras kembali bersama.Lantas
"Kamu sudah tidak punya apa-apa! Jangan belagu! Anak saya juga sudah tak menginginkan kamu!""Ayolah, Bastian nggak bakal tau kalau kita tidur berdua.""Dasar jalang! Bisa-bisanya kamu memfitnah adik saya! Dia tidak mungkin berbuat demikian kalau bukan kamu yang memancing!"Plak!Buagh!"Jangan coba-coba kabur!""Hahahah! Nggak bakal ada yang percaya sama kamu, kak.""Mati saja kamu! Saya tidak akan membiarkan kamu meninggalkan rumah ini dalam keadaan bernyawa! Dasar manantu sialan! Suami saya mati juga karena kamu kan?! Dasar tidak tau diri!"Mimpi itu lagi. Saras terjaga, menatap sekeliling toko yang sudah ramai oleh orang lalu lalang. Ia lagi-lagi ketiduran di tempat ini. Di sebuah toko, di depan jalanan umum. Saras segera beranjak, melangkah pergi. Ia bisa tertangkap jika terus-terusan berada di tempat ramai. Melangkah secepat mungkin tanpa tau kemana arahnya.Dua hari sudah Saras menjadi gelandangan. Ia memutuskan kabur dari rumah. Ibu mertua, adik ipar bahkan suaminya tidak bisa
Alpha tidak tau harus bersikap seperti apa setelah ditarik oleh perempuan asing menerobos rumahnya sendiri. Kalau saja yang menarik Alpha dengan semena-mena adalah bu Warni—tetangganya—Alpha tidak akan marah. Namun ini beda cerita. Bukan bu Warni yang menarik pergelangan tangan Alpha, tapi perempuan asing tidak tau diri yang sudah Alpha usir tapi tidak mau pergi. Alpha ingin memukul apa saja rasanya karena kesal."Tinggalkan rumah saya. Laki-laki tadi pasti sedang mencari kamu," datar Alpha menatap Saras. Perempuan itu berdiri di hadapannya, sedangkan Alpha duduk di pinggiran sofa."Beneran nggak butuh pembantu, Mas?" Saras masih berharap. Tentu saja, ini harapan terakhir Saras untuk tetap hidup. Saras bisa saja berkelana lagi mencari lowongan pekerjaan, tapi ia terlalu malas. Alpha menggeleng tegas. "Tolong segera tinggalkan rumah ini. Mumpung saya masih baik."Saras menatap Alpha sinis. "Kalau baik ya terima saya kerja di sini, bukan ngusir." Saras mendumel. "Saya baru aja mengalam
"Saya beneran boleh kerja di sini, mas?"Mungkin pertanyaan barusan sudah ditanyakan untuk ke enam kalinya sejak kepergian mama dari rumah. Tadi mama Alpha datang, mendiskusikan perihal Saras. Katanya Alpha tidak bisa hidup berdua dengan Gani. Anak kecil itu butuh teman bermain, teman bercerita sedangkan Alpha sibuk bekerja dan sering pulang larut malam. Gani juga butuh perhatian. Harus ada satu orang yang memperhatikan jadwal Gani. Dimulai dari bangun hingga bangun lagi di keesokan harinya. Alpha meminta mama saja yang menjaga Gani, tapi wanita itu menolak. Ia juga sibuk, tour ke sana kemari bersama komunitas travelingnya. Ya, semenjak ditinggal papa, mama tidak pernah betah duduk di rumah. Paling hanya empat hari, lalu esoknya pergi lagi.Alhasil, dengan sangat amat terpaksa, Alpha menerima Saras menjadi pembantu di rumahnya. Tentu saja tidak cuma-cuma. Alpha memberikan beberapa syarat yang harus Saras sanggupi jika memang ingin bekerja di rumah ini."Jangan bikin saya berubah piki