"Pha," panggil Derma—rekan kerja sekaligus teman dekat Alpha. Alpha ini sebetulnya CEO di sebuah perusahaan kontruksi besar, tapi memilih tidak menunjukkan dirinya dan bekerja sebagai karyawan biasa. Tidak ada yang tau identitas asli Alpha. Hanya Derma, sekretarisnya dan keluarganya.
"Hm." Alpha menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari layar komputer.Derma menghela pelan. Ia melipat kedua tangannya di belakang kepala, tampak frustasi sekali."Gue capek, Pha," keluhnya menatap langit-langit ruangan. Sebagai karyawan di sebuah perusahaan industri kreatif, mereka diberikan ruangan sesuai bidang. Kebetulan Derma dan Alpha satu divisi. Bertiga sebetulnya. Ada satu orang lagi, perempuan dan telah Derma suruh membuat kopi untuk mereka.Alpha melirik Derma sekilas. "Kerjaan cuma makan tidur doang ngeluh capek.""Gue lelah sama dunia ini, Pha." Derma semakin dramatis.Alpha berdecak pelan. Lingkungan Alpha terlalu ramai untuk dirinya yang suka ketenangan dan kesendirian. Di rumah ada Gani yang bawel dan di kantor ada Derma yang tak ada bedanya dengan anak usia empat tahun itu. Mau resign, Alpha malas melamar pekerjaan di tempat lain. Uangnya memang sudah banyak karena dia adalah seorang CEO. Tapi bukan uang yang Alpha inginkan. Ia hanya ingin bekerja, menyibukkan diri."Mati aja," ucap Alpha enteng."Pha," Derma menatap Alpha tak percaya. "Tega lo, Pha.""Jangan bikin kepala gue tambah pusing dengan keluhan nggak jelas lo itu, Derma," ujar Alpha sedikit kesal.Derma menatap Alpha. "Lo lagi ada masalah?""Banyak.""Bagi dong.""Gila." Alpha kehabisan akal meladeni Derma.Derma tertawa tanpa dosa. "Eh, Pha." Lalu tiba-tiba teringat dengan sebuah berita yang dia dengar tadi pagi. "Tadi pagi gue dengar berita. Si Bastian, pemilik hotel De Amora bikin sayembara. Dia kehilangan istrinya. Siapa yang bisa bawa istrinya ke dia tanpa terluka, bakal dapat saham di De Amora crop."Alpha tidak minat dengan berita tidak penting seperti itu."Lo tau kan siapa istrinya Bastian?" tanya Derma.Alpha menatap pria itu datar. De Amora merupakan sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang perhotelan, restoran dan objek wisata. Perusahaan tersebut cukup terkenal. Alpha sempat bekerja sama dengan perusahaan itu kala De Amora membangun hotelnya yang ke dua puluh di Sidney. Memang bukan main pencapaian perusahaan itu. Dan Alpha juga tau mengenai pernikahan Bastian. Sempat diliput media dan Alpha turut di undang untuk datang. Tentu dia tau siapa istri pria itu."Hm.""Istrinya Saraswati Oryza, Pha! Presdir Oryzafood!" Derma berseru heboh. "Tapi sekarang perusahaannya udah bangkrut.""Hm.""Hm hm aja lo, Pha." Derma berdecak malas. "Lo nggak tertarik untuk ikut sayembara itu, Pha?"Alpha terkekeh pelan. Hadiah yang ditawarkan tak sepadan dengan harta yang Alpha miliki. Tidak ada untungnya juga Alpha ikut sayembara tidak jelas seperti itu meski tersangka yang dicari-cari ada di rumahnya. Alpha jadikan pembantu. Agak lucu mengingat Saraswati Oryza menjadi pembantu."Gue sih pengen ikut, Pha," ujar Derma. Hadiahnya lumayan. Derma bisa jadi jutawan jika berhasil menang."Kurang duit lo?" sindir Alpha."Iya, Pha. Gaji kita nih kan kecil. Mana lembur tiap hari. Gelap nih mata gue karena kebanyakan begadang," oceh Derma menunjuk bawah matanya yang hitam. Derma jelas berbeda dengan Alpha. Ia hanya karyawan biasa, bukan karyawan gabut seperti Alpha.Alpha tersenyum miring. "Nggak bakal menang lo, Der. Lo nggak bakal bisa nemuin Saraswati Oryza.""Ck. Kayak tau aja lo dimana Saraswati Oryza." Derma terkekeh remeh.Tidak tau saja Derma siapa Alpha sebenarnya."Kerja, Der. Kerja."Derma menjauhkan tubuhnya dari kepala kursi. Ia menatap sekitar, seperti sedang menanti kedatangan seseorang."Si Rani mana sih? Cuma gue suruh bikin kopi lama bener," keluhnya kala Rani tidak kunjung muncul."Sekali lagi lo ngoceh, gue lempar kepala lo pakai mouse," ancam Alpha kelewat muak. Konsentrasinya terganggu karena ocehan tidak jelas Derma. Alpha tidak bisa fokus bekerja."Gue haus, Pha. Ah, sialan si Rani. Gue jual juga di lama-lam—aw!"Alpha tidak main-main dengan ucapannya. Kepala Derma benar-benar ditimpuk mouse milik Alpha."Sekali lagi lo ngoceh, gue lempar pakai asbak," ancamnya berhasil membungkam mulut Derma.Sejenak, ruangan itu berhasil hening. Alpha melirik Derma, pria itu sibuk di depan layar komputer. Baguslah. Mungkin Derma mulai sadar bahwa uang di dompetnya tidak akan bertambah jika hanya bermalas-malasan.Akhirnya pekerjaan Alpha usai. Tidak sepenuhnya, sebab ada beberapa file yang harus ia revisi. Alpha melakukan peregangan. Otot leher dan pangkal lengannya pegal karena kelamaan menunduk dan terpaku pada keyboard."Pha." Rupanya passion Derma memang di bidang komunikasi. Asem mulutnya kalau diam selama lima menit."Hm.""Lo ada flashdisk kosong nggak?" tanyanya."Ada.""Pinjem dong."Alpha membuka laci mejanya. Mencari flashdisk kosong yang sempat ia letakkan di sana. Seingatnya Alpha selipkan di dekat tumpukan kertas di dalam laci."Ada nggak, Pha?""Lagi dicari."Alpha mengeluarkan seluruh isi laci. Lembaran kertas tak berguna, permen kopi, buku-buku tentang bisnis, novel action dan terakhir sebuah bingkai foto yang Alpha sendiri tidak ingat kenapa bisa ada di sana."Alpha. Ada nggak?""Ada, Derma."Alpha melempar flashdisk tersebut pada Derma. Pria itu menyambutnya dengan baik seraya mengucapkan terima masih.Alpha tak menggubris. Tatapannya tertuju pada dua orang berseragam putih abu-abu di dalam bingkai yang baru saja ia temukan. Alpha mengeluarkan foto tersebut untuk melihat lebih dekat sosoknya ketika masih SMA. Sudut bibirnya terangkat. Alpha memang suka membawa barang berharganya ke tempat bekerja. Dulu, sewaktu awal bekerja, figura ini adalah barang berharga. Hingga kemudian, sebuah kabar datang, membuat figura ini tidak lagi ada arti.Di belakang foto tersebut ada sebuah tulisan. Perempuan di foto itu yang menulisnya.Hari pertama, Saraswati Oryza dan Alpha Manilkara Wijaya. 20 Januari 2011, semoga bertemu di 20 Januari berikutnya...Usai menyiapkan makan siang, Saras memilih menemani Gani bermain. Tadi dia melihat Gani sibuk di ruang tengah bersama deretan robot-robotnya. Sempat terpikir oleh Saras, betapa kesepiannya bocah itu kala hanya seorang diri di rumah. Bahkan Alpha dengan tenangnya membiarkan anak itu di rumah sendirian. Kalau saja Saras tidak datang, mungkin Gani akan terlihat sangat menyedihkan sebagai bocah laki-laki berumur 4 tahun. Sebab di sepanjang hari, ia hanya tertawa sendirian bersama benda mati yang akrab ia sapa teman. Terkadang Saras jadi penasaran tentang keberadaan ibu dari bocah itu. Ia masih terlalu dini untuk tidak memperoleh kasih sayang dari seorang ibu."Gani ganteng," panggil Saras seraya melangkah mendekat.Kepala Gani langsung mendongak, menatap Saras dengan dua bola mata yang selalu berbinar. Lalu dengan cepat ia beranjak, meninggalkan teman-temannya hanya untuk duduk di samping Saras. "Tante tadi masak apa?" tanya Gani menatap Saras antusias.Saras bergumam singkat. "Spaghett
Rasanya, roh Saras ingin keluar dari tubuhnya. Rupanya berita itu sudah terdengar oleh telinga Alpha. Seharusnya Saras tak perlu heran sebab ia tau siapa Bastian. Pria itu bukan orang sembarangan yang mudah di lawan. Bastian tidak akan menyerah sebelum apa yang ia inginkan berhasil ia dapatkan. Membuat berita dengan iming-iming saham tentu dengan mudah menarik atensi siapapun. Tidak ada yang tidak tergiur dengan jumlah yang cukup lumayan itu. Termasuk orang kaya seperti Alpha."Tinggalkan rumah saya dan selesaikan masalah kamu," ujar Alpha.Saras menggelengkan kepalanya. Mau bagaimanapun, Saras tidak bisa kembali. Saras lebih suka mati ketimbang harus pulang dan hidup di rumah Bastian yang tak ada bedanya dengan neraka. "Saraswati Oryza," Alpha menunduk, menatap lurus pada netra coklat Saras. "Sejak awal, saya sudah tau kalau kamu adalah Saraswati Oryza. Kamu istri dari orang terpandang yang pernikahannya disaksikan seluruh dunia. Bagaimana kamu bisa lupa dengan diri kamu dan lari ke
Alpha kembali ke kantor usai makan siang. Saras sedikit lega kala Alpha tidak bertanya lebih jauh lagi perihal dirinya dan Bastian. Setidaknya Saras bisa tenang hingga semua barangnya tersimpan dalam koper, lalu bersiap untuk meninggalkan rumah ini. Biarlah Saras menjadi gelandangan lagi asalkan ia tidak ditemukan oleh Bastian. Yang paling penting Alpha dan Gani tidak boleh terlibat.Usai makan malam bersama Gani, Saras mulai merapikan barang-barangnya. Sedangkan Gani pergi ke kamarnya untuk bermain dengan robot-robot dan mainan baru yang entah ia dapat darimana.Helaan napas panjang keluar dari mulut Saras. Akhir-akhir ini hidupnya penuh dengan ujian. Setelah perusahaan bangkrut, lalu keluarga dan suami yang berubah drastis dan kini harus hidup luntang lantung. Agak lucu sebetulnya. Saraswati yang dulunya bisa membeli seluruh dunia mendadak tidak bisa makan. Hidupnya berubah begitu cepat. Karena kelalaiannya, Saras harus menderita dan hidup seperti gelandangan. Bahkan untuk mengabari
Saras berada di posisi serba salah. Sebetulnya ia bisa pergi tanpa harus peduli pada Gani yang sejak tadi duduk di sudut ruang tamu sembari menekuk lutut. Tadi bocah itu menangis, meminta Saras untuk tetap di sini karena ia bisa kesepian lagi jika Saras pergi. Tapi Saras tidak bisa. Ia mendadak tidak tega. Dari arah pintu masuk, Alpha berlari menghampiri Saras yang berdiri sembari menggenggam gagang koper yang siap diseret. Nafas pria itu tak beraturan, seperti sehabis berlari dari Anyer ke Panarukan.Melihat kedatangan Alpha, Gani yang tadinya tidak bergerak langsung berlari memeluk kaki pria itu. Tangisnya masih ada, tapi tak bersuara. Tangis seperti itulah yang membuat hati Saras terasa teriris.Seumur hidup, Alpha tidak pernah berada di situasi seperti ini. Anaknya menangis karena tidak ingin seseorang yang sama sekali tidak dia kenal pergi meninggalkannya. Gani tidak pernah bersikap seperti ini. Bahkan pada pembantu-pembantu sebelumnya yang jauh lebih lama bekerja di rumah ini.
Saras terbangun kala mendengar suara riuh yang berasal dari dapur. Melirik jam di dinding, ternyata masih pukul setengah enam pagi. Siapa yang bangun sepagi ini dan membuat keributan? Apa mungkin Alpha? Atau...Gani? Atau mungkin saja ada perampok yang terjebak di rumahnya dan sedang mencari barang berharga di dapur?Memikirkan hal itu, kantuk Saras langsung hilang. Ia buru-buru turun dari ranjang. Menyambar bantal guling, lalu melangkah tergesa-gesa menuju dapur. Lampu ruang tengah masih belum dinyalakan. Begitu juga dengan lampu di ruang tamu. Besar kemungkinan pelaku keributan di dapur adalah perampok. Kalau Alpha, tak mungkin pria itu membiarkan rumah dalam keadaan gelap seperti ini.Lantas dengan hati-hati, Saras menginjakkan kakinya di ruang makan yang menyatu dengan dapur. Ruangan itu tidak gelap. Lampu bersinar terang, membuat Saras bisa melihat dengan jelas sosok bertubuh tegap yang berdiri menghadap kompor. Seorang pria dengan tubuh bagian atas yang terekspos dengan jelas.
Rasanya sudah sangat lama Alpha tak melihat Bastian secara langsung. Ia hanya melihat Bastian lewat layar televisi dan melihatnya dari tampak jauh ketika pria itu tak sengaja berkunjung ke kantor tempatnya bekerja. Sejauh ini, identitas asli Alpha masih terjaga dengan aman. Ia tetap dianggap sebagai budak gila uang yang akan selalu diinjak-injak. Bahkan oleh manusia angkuh yang kini berdiri di hadapannya."Selamat pagi, Alpha," sapa Bastian diiringi senyuman."Pagi," sahut Alpha seadanya. Mereka memang berteman, tapi Alpha tetap membatasi diri agar Bastian tidak terlalu semena-mena terhadapnya. Lagipula Alpha tidak begitu suka dengan Bastian. Berteman dengan Bastian hanya akan membuat diri sendiri tersakiti.Bastian tidak memberikan basa-basi. Dia langsung mengeluarkan sebuah brosur, lalu menunjukkannya pada Alpha. "Lo pernah liat perempuan ini di sekitar sini?"Brosur itu berisi foto Saras dan himbauan bahwa perempuan itu tengah dicari. "Gue pernah liat dia lari-lari di sekitar sini
Gani duduk di atas kursi dengan lutut berdarah. Tak hanya lutut, siku dan dahinya juga turut mengeluarkan cairan kental merah. Sedangkan Saras berjongkok di hadapan Gani, mengobati luka tak seberapa di lutut bocah itu. Hanya berupa goresan yang tak mengoyak dalam daging Gani. Tidak ada yang perlu ditakutkan sebetulnya. Sebab Gani tidak menangis. Bocah itu tampak santai saja seolah tidak terjadi apa-apa. Bahkan masih sempat menggoyang-goyangkan kakinya.Saras cukup bersyukur. Ia pikir Gani akan merengek lalu menangis sepanjang hari sembari berseru tidak ingin kakinya diamputasi. Namun nyatanya, anak itu tidak mempermasalahkan apa yang baru saja ia alami.Namun mama Alpha masih heboh dan histeris melihat cucu satu-satunya terluka. Wanita itu berkali-kali menawarkan Gani untuk dibawa ke rumah sakit. Tapi Gani menolak, katanya ia tidak suka dengan dokter di rumah sakit. Saras juga berusaha meyakinkan bahwa luka akibat berlari-lari diatas a
Alpha berdiri di atas balkon yang mengarah pada ruang tengah. Kedua tangannya terlipat di depan dada dengan pandangan tertuju pada perempuan berkemeja putih dengan tambalan berwarna hitam di bagian punggung. Saras ternyata tidak membuang kemeja rusak itu. Alpha tidak percaya Saras bangga memakai kemeja dengan tambalan yang cukup besar. Mungkin Saras kehabisan baju. Sebab setelah Alpha liat, baju Saras tidak pernah berganti. Hanya itu-itu saja.Akan tetapi tujuan Alpha berdiri di sini bukan untuk menilai penampilan Saras. Ia sedang memikirkan, apakah ia perlu turun dan menghampiri perempuan itu untuk mengucap maaf seperti yang diperintahkan mama. Alpha merasa dirinya tidak salah. Gani terluka karena pembantu yang seharusnya bertugas menjaganya bersikap lalai. Seharusnya Saras tidak mengiyakan ucapan mama kala wanita itu menyuruh Saras masuk dan membiarkan Gani berada dalam pengawasan mama. Seharusnya Saras bersikeras untuk menjaga Gani.Tampaknya perempuan itu memang tidak berbakat men