Pagi menjelang, langit kembali terang. Mahesa sedang duduk di bawah sebatang pohon dan menatap langit. Ia menatap gumpalan-gumpalan awan hitam di atas. Tampak masih sama, seperti wajah-wajah yang memperhatikan mereka.Sementara Brady, Carissa, dan Sylvia tampak masih tidur berguling di tanah tak jauh dari Mahesa. Sedangkan Fabian sedang berdiri termenung menatap nanar pepohonan tinggi yang tegak menjulang di hadapan mereka."Mas..." perlahan Mahesa mendekati pria itu. Fabian menoleh dan menghapus lelehan air matanya."Kenapa?" tanya Fabian."Aku tahu bagaimana rasanya kehilangan orang yang kita cintai," bisik Mahesa mengusap pundak pria itu."Ah, kau tahu apa? Berapa umurmu?" tanya Fabian pula."24 tahun, tapi aku tahu rasanya Mas. Aku pernah ditinggal ibuku untuk selama-lamanya," jawab Mahesa pula. Mendengar hal itu Fabian balas mengusap pundak pemuda itu memberikan rasa empati."Tapi setidaknya, mungkin cara kematiannya tidak setragis istriku," ujar Fabian pula. Mahesa hanya menghel
Fabian sedang memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam koper ketika terdengar bunyi ketukan di pintu depan. Pria itu mendengus sejenak dan mencoba mengabaikan ketukan itu."Bian, kamu bisa tolong bukakan pintu tidak?"Terdengar suara Devana dari dalam kamar mandi berseru. Rupanya sang istripun mendengar ketukan itu untuk kedua kalinya."Iya," sahut Fabian akhirnya. Siapa yang datang pagi-pagi begini, pikir Fabian. Ia melangkah keluar kamar dan mendekati pintu depan. Jam menunjukkan pukul sembilan pagi ketika ia membuka pintu.Ketika daun pintu terkuak, rupanya yang berdiri di depan pintu itu adalah seorang pria bersetelan rapi yang sedang membawa beberapa kotak. Fabian melirik sekilas gambar di kotak di pegang si pria, sepertinya kotak itu berisi peralatan rumah tangga, terlihat dari gambarnya."Ada apa Mas?" tanya Fabian dengan pandangan sedikit meremehkan."Selamat pagi Bapak, maaf mengganggu waktunya. Perkenalkan saya Wisnu dari PT...""Sudah, langsung saja. Mas mau apa? Mau menawar
Carissa dapat mendengar suara tawa cekikikan dari gubuk ketiga. Ia tahu itu suara tawa Daryo, dan ia juga tahu bahwa di dalam gubuk itu ada Fabian yang sedang di sekap. Sementara dirinya sendiri berada di gubuk keempat dalam keadaan kaki dan tangan yang juga di rantai."Toloooong!" pekik Carissa mencoba berseru. Berharap seseorang dapat mendengar suaranya meski rasanya mustahil.Perlahan, ia mendengar suara menderit. Ketika ia menoleh, rupanya pintu gubuk mulai terbuka dan seseorang melangkah masuk. Itu adalah Kanti, dengan membawa sebuah celurit di tangannya. Perempuan muda itu tersenyum pada Carissa, namun senyum yang sedikit menyeramkan."Jangan berisik," bisik Kanti ketika ia sudah berada di dekat Carissa. Carissa mendelik takut padanya."Tolong Mbak, lepaskan saya. Tolong kasihani saya, kita sama-sama perempuan," bisik Carissa memohon. Namun Kanti malah tertawa dan menyorotkan pandangan yang menakutkan."Sudah terlambat Carissa," bisiknya dengan nada aneh."Jika Mbak tidak peduli
Di gubuk dua, Mahesa kini sedang terengah-engah mengatur napasnya. Setelah kembali ke gubuk ini dan terikat rantai begini, Mahesa tak berhenti mendengar jeritan demi jeritan.Mahesa sempat mendengar jeritan Fabian di gubuk tiga, Carissa di gubuk empat, dan terakhir jeritan Brady di gubuk satu. Gubuk yang bersebelahan dengan gubuk tempat dirinya disekap.Apakah teman-temannya itu sudah mati semua? Atau masih hidup dalam siksaan? Mahesa tak tahu, sebab ia tak dapat melihat kondisi di luar gubuknya. Tapi sejak jeritan Brady yang terakhir, memang ia tak mendengar jeritan lagi.Kali ini, pintu gubuk mulai terbuka. Mahesa melirik ke arah pintu dan melihat Lasun masuk membawa cambuk. Di belakangnya ada Ebiet yang memegang pisau. Mahesa bergidik cemas."Bu, saya mohon jangan sakiti saya," bisik Mahesa bergetar. Namun Lasun tersenyum dan duduk di dekatnya. Ia bahkan membelai wajah Mahesa yang penuh dengan peluh."Selamat datang di neraka," bisik perempuan itu. Mendengar hal itu Mahesa bergidik
Bandara Internasional Soekarno-Hatta, 14.20 WIB.Sebuah taksi menghantarkan Mahesa ke depan pintu keberangkatan bandara. Pemuda 24 tahun itu bergegas menuruni taksi dengan tergesa-gesa setelah membayar argo. Ia mengeluarkan kopernya dari bagasi dan menyeretnya menuju pintu keberangkatan.Mahesa harus sedikit bersabar mengantri bersama beberapa orang untuk melalui pemeriksaan sebelum tiba di dalam bandara. Ia sudah menyiapkan tiket dan tanda pengenalnya di tangan kiri, sementara tangan kanannya menyeret koper.Di depan Mahesa ada seorang perempuan yang cukup tua, rambutnya sudah memutih. Ia tampak hanya seorang diri. Kasihan setua ini masih harus bepergian seorang diri, pikir Mahesa dalam hati.Begitu tiba gilirannya, Mahesa menunjukkan tiket dan juga tanda pengenalnya kepada petugas bandara. Sejenak petugas tersebut memeriksanya lalu mempersilakan Mahesa untuk masuk.Seperti biasa, sebelum tiba di counter untuk check in, setiap penumpang harus melewati proses pemeriksaan barang dulu d
Ketika mata Mahesa terbuka, hal yang dilihatnya pertama kali adalah pepohonan yang berjejer di sepanjang jalan yang di laluinya. Ia kemudian sadar bahwa saat ini ia masih berada di dalam mobil, dalam sebuah perjalanan menuju villa keluarganya.Mahesa menghela napas perlahan dan memperbaiki letak duduknya. Di jok depan ia melihat sang ayah sedang mengemudikan mobil. Disampingnya ada seorang perempuan yang sudah dinikahi ayahnya setahun yang lalu. Mahesa sebetulnya enggan menyebut perempuan itu dengan panggilan ibu, meski ayahnya terus saja memaksa.Mahesa menoleh ke sampingnya. Di jok belakang ia tidak sendirian sebab ada Nino disana, adiknya yang masih berusia 12 tahun. Bocah itu tampak sedang memainkan sebuah game di ponselnya."Kamu sudah bangun?" suara sang ayah membuat mata Mahesa kembali melirik ke depan. Dari spion ia melihat mata ayahnya sedang menatap dirinya."Iya," jawab Mahesa malas. Ia kembali mengalihkan pandangan keluar jendela, menatap pepohonan dan jalan yang dilaluiny
Getaran di meja Devana perlahan berhenti beringinan dengan berhentinya blender yang sedang menggiling beberapa stroberi dan susu yang tadi ia campurkan.Setelah benda itu berhenti, Devana mematikannya dan mengeluarkan stroberi dan susu yang kini sudah menjadi sebuah krim berwarna merah muda. Devana kemudian menuangkan krim tersebut ke dalam sebuah plastik khusus yang ujungnya bolong. Perempuan itu kemudian menjadikan krim tersebut hiasan untuk kue yang sudah ada di meja.Devana memang seorang pemilik toko kue. Ia sudah menekuni profesi ini lebih dari dua tahun. Meskipun ia memiliki seorang suami yang mapan secara finansial namun Devana tetap ingin produktif dengan memiliki usaha sendiri. Apalagi ilmu tata boga yang sudah ia pelajari sayang jika tidak dipraktekkan. Alhasil, ia membuka sebuah toko kue di kota Jakarta.Devana pandai membuat bermacam-macam kue. Mulai dari kue kering, basah, ataupun kue ulang tahun dan kue tar. Pelanggannya sangat banyak, sebab ia juga pintar bergaul dan m
Gemuruh menggema di udara ketika Erik sedang mengotak atik laptop di ruang pribadinya. Ia melirik jam tangannya sekilas, pukul lima sore. Dari jendela, ia melihat langit tampak gelap, sepertinya akan turun hujan.Erik menghela napas sejenak dan kembali menatap layar laptop. Rasa kantuk mulai menyerangnya karena cuaca dingin. Ah, rasanya menyeruput kopi sore ini sepertinya nikmat, pikirnya. Ia merapihkan beberapa barang terlebih dahulu sebelum melangkah keluar ruangan. Di depan ruangannya, ia sempat berpapasan dengan beberapa karyawan yang hendak pulang."Belum pulang, Pak?" tanya salah satu karyawan kepada Erik."Lembur. Tanggung soalnya," jawab Erik dan melangkah menuju pantry."Sepertinya mau hujan Pak. Bapak yakin tidak mau pulang sekarang?" tanya sang karyawan lagi."Nanti saja. Justru karena hujan begini jadi malas pulang cepat. Pasti jalanan macet parah. Daripada stress di jalan, lebih baik disini," jawab Erik sambil menuangkan kopi ke sebuah cangkir lalu membawanya kembali ke r