Share

Pulau Antah Berantah

Gemuruh menggema di udara ketika Erik sedang mengotak atik laptop di ruang pribadinya. Ia melirik jam tangannya sekilas, pukul lima sore. Dari jendela, ia melihat langit tampak gelap, sepertinya akan turun hujan.

Erik menghela napas sejenak dan kembali menatap layar laptop. Rasa kantuk mulai menyerangnya karena cuaca dingin. Ah, rasanya menyeruput kopi sore ini sepertinya nikmat, pikirnya. Ia merapihkan beberapa barang terlebih dahulu sebelum melangkah keluar ruangan. Di depan ruangannya, ia sempat berpapasan dengan beberapa karyawan yang hendak pulang.

"Belum pulang, Pak?" tanya salah satu karyawan kepada Erik.

"Lembur. Tanggung soalnya," jawab Erik dan melangkah menuju pantry.

"Sepertinya mau hujan Pak. Bapak yakin tidak mau pulang sekarang?" tanya sang karyawan lagi.

"Nanti saja. Justru karena hujan begini jadi malas pulang cepat. Pasti jalanan macet parah. Daripada stress di jalan, lebih baik disini," jawab Erik sambil menuangkan kopi ke sebuah cangkir lalu membawanya kembali ke ruangannya.

Erik Danendra adalah seorang pria berusia 43 tahun. Ia seorang manager di salah satu perusahaan swasta di Jakarta. Erik sudah menjabat status tersebut sejak sepuluh tahun terakhir. Sebagai seorang manager, ia memiliki beberapa bawahan. Namun, ia paling sering bekerja lembur dibanding bawahannya.

Erik memang seorang workaholic. Ia bahkan sering mengabaikan urusan pribadi dan keluarganya demi pekerjaannya. Ya, itu juga sebagai cara untuk 'menjilat' sang CEO agar menjadikan dirinya sebagai direktur, posisi yang sudah diincarnya sejak lima tahun yang lalu.

Sore ini, Erik kembali berniat lembur menyelesaikan project yang sedang ditanganinya karena sudah hampir deadline. Setelah menyeruput kopinya sedikit, Erik kembali fokus ke layar laptop.

Tak lama, hujanpun turun mengguyur kota Jakarta. Dari ruangannya, Erik dapat melihat jalanan kota yang tampak macet total. Benar saja dugaannya, kalau sudah hujan pasti macet, pikirnya. Pria itu meneruskan kegiatannya kembali.

Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Erik melirik layar, di layar muncul tulisan 'My Wife'. Ah, kenapa sang istri harus menelepon pada saat seperti ini, pikirnya. Erikpun mengabaikannya dan kembali bekerja. Bahkan sampai ketiga kalinya ponselnya bergetar, Erik tak pernah mengangkat telepon dari sang istri. Ia berpikir mungkin sang istri cuma mau bertanya pulang jam berapa atau sudah dimana? Itu tidak penting, pikir Erik.

------------------------------

Sambil terus mencoba menghubungi nomor sang istri, Erik gelisah. Panggilannya tak pernah bisa tersambung karena tidak ada sinyal sama sekali. Ah sial, bisiknya dalam hati.

Pria itu memperhatikan sekitar. Ia melihat para penumpang dan awak pesawat yang masih berdiri di pinggir pantai dengan kegiatan masing-masing. Erik melihat salah satu pemuda, pemuda yang tadi duduk di samping kursinya. Pemuda itu tampak sedang melihat ke arah langit. Erik mencoba mendekati pemuda itu.

"Hei, Mas," ucapnya. Mahesa, pemuda itu, menoleh pada Erik. "Saya boleh pinjam ponselmu? Ponsel saya tidak mendapatkan sinyal sama sekali. Saya harus mengabari istri saya."

"Sama Pak, ponsel saya juga tak mendapatkan sinyal," jawab Mahesa menunjukkan layar ponselnya pada pria itu.

"Ah, sial," ucap Erik mengumpat. Ia panik dan beberapa kali meremas rambutnya gusar sambil memperhatikan sekitar. Di dekat pantai itu hanya ada hutan belantara yang dipenuhi pepohonan.

"Ini kita dimana?" tanyanya lagi. Mahesa ikut mengendarakan pandang dan tak melihat adanya manusia lain selain para penumpang dan awak pesawat. Pantai itu benar-benar sepi. Tak ada juga terlihat rumah atau bangunan di sekitar pantai, hanya ada hutan.

"Saya... kurang tau Pak," jawab Mahesa akhirnya. Erik tampak semakin gusar dan kembali mendekati Brady, sang pilot.

"Heh, ini kita dimana? Ini pulau apa?" tanyanya cemas. Brady angkat bahu dan memperhatikan sekitar.

Tiba-tiba semua dikejutkan oleh sebuah teriakan salah satu penumpang perempuan. Ketika semua menoleh ke perempuan tersebut, ternyata perempuan itu tak sengaja menginjak sebuah tengkorak kepala manusia di pantai tersebut. Semua tentu saja panik dan takut.

"No... Kita harus segera pergi dari tempat ini. Ayo terbangkan pesawatnya lagi!" hardik Erik pada sang pilot, Thomas dan Julian bahkan terpaksa menahan pria itu agar ia tak sampai mencengkeram kerah baju sang pilot.

"Tidak bisa Pak. Wilayah ini terlalu sempit untuk kita lepas landas. Lagipula belum ada sinyal navigasi yang tertangkap. Tanpa adanya navigasi pesawat tidak akan terarah. Bapak mau kita semua celaka di udara?" ungkap Brady pula.

"Tapi tempat ini tidak aman. Itu tengkorak manusia pasti korban terkaman binatang buas. Lihat, cuma ada hutan disini. Tidak ada orang ataupun pemukiman penduduk. Kita saja bahkan tak tahu ini pulau apa," sergah Erik pula.

"Betul," seorang pria tampaknya setuju dengan Erik. Pria itu adalah Fabian. Wajahnya tampak panik apalagi sejak melihat tengkorak manusia tadi. "Kita tidak mungkin disini lebih lama lagi. Sepertinya ini wilayah yang kurang aman," sambungnya.

"Kita harus bertahan disini sampai ada tim evakuasi, karena tidak mungkin meninggalkan tempat ini kecuali jika ada yang nekat berenang," ujar sang pilot pula. Semua tampak kecewa dengan keputusan itu. Terutama Fabian dan Erik.

"Tunggu," perempuan tua yang berdiri di dekat Mahesa tiba-tiba menginterupsi. "Sepertinya di sebelah situ ada jalan setapak. Jika ada jalan, berarti pasti ada yang sering lewat," sambungnya menunjuk ke satu arah.

Semua memperhatikan arah telunjuk si perempuan tua dan benar saja, di tengah pepohonan yang berdiri kokoh itu nampak ada sebuah ruang kecil seperti jalan setapak menuju ke dalam hutan.

"Sepertinya di balik hutan ini ada pemukiman penduduk," ujar perempuan itu lagi. Ia mulai melangkah menuju jalan tersebut, Mahesa yang ada di sebelahnya mencoba menemani si nenek tua dan memeganginya karena jalannya agak sedikit susah.

Para penumpang lainnya tampak mulai mengikuti si nenek dari belakang. Namun ada beberapa juga yang tampak tak mau mengikuti dan memilih untuk bertahan saja di pantai.

"Ayo," Brady Anthony mengajak para penumpang dan awak yang masih enggan meninggalkan pantai untuk menyusul si nenek dan para penumpang yang mendekati jalan setapak itu.

"Kita tidak tahu apa yang ada di balik hutan itu," sergah Erik pula. "Siapa tahu ada binatang buas. Lebih baik disini saja. Setidaknya jika ada bahaya kita bisa bergegas masuk kembali ke pesawat," sambungnya. Beberapa orang tampak sependapat dengan pria itu.

"Tapi jika disini terlalu lama kita tidak akan mendapat pertolongan. Lambat laun akan mati karena tidak ada persediaan makanan dan minuman," ucap Brady pula. Ia mulai melangkah menuju jalan setapak diikuti para awak.

Julian, Thomas, Sylvia, Carissa, dan para awak lainnya tentu saja mengikuti arahan dari sang pilot. Mereka menyusul si nenek dan para penumpang yang kini sudah mencapai jalanan setapak tersebut. Namun mereka tidak bisa memaksa penumpang lainnya yang memilih untuk tetap di pantai seperti Erik.

Fabian dan Devana pada awalnya memilih untuk tetap di pantai. Namun sepertinya ada perdebatan dan perbedaan pendapat antara pasutri itu. Fabian sependapat dengan Erik namun Devana lebih memilih untuk menyusul yang lainnya.

"Apa yang dikatakan Bapak ini ada benarnya Dev. Kita tidak tahu apa yang ada di balik hutan itu. Yang namanya hutan pasti banyak bahaya, binatang buas, dan lainnya. Jika kita celaka bagaimana?" ungkap Fabian.

"Tapi yang dikatakan pilot ada benarnya juga Bian. Kalau kita disini terus, kita tidak punya stock makanan dan minuman. Kita tidak mungkin makan ikan mentah dari laut dan minum air garam. Lebih baik kita ikuti mereka untuk mencari bantuan. Lagipula jalanan itu tampak sering ditempuh manusia," ucap Devana pula.

Pepohonan yang ada di hadapan mereka mulai bergoyang-goyang karena angin. Sementara orang-orang yang memilih untuk masuk hutan kini sudah tak tampak lagi, ditelan ribuan pohon tinggi itu.

Devana mengedarkan pandang dan langit tampak semakin gelap. Gumpalan awan hitam tampak semakin menyelimuti langit. Angin kini juga mulai bertiup cukup kencang membuat pohon-pohon di hutan itu bergoyang-goyang. Gemuruhpun ikut membahana, dan ombak laut semakin meninggi.

"Sepertinya akan badai," sebuah suara membuat semua yang ada di pantai itu menoleh. Suara itu berasal dari Marinka, gadis bertubuh gempal yang tadi duduk di seberang kursi Fabian. Mendengar hal itu, Devana semakin mendesak suaminya untuk segera meninggalkan tepian pantai.

"Bian, sebentar lagi badai. Ombak semakin meninggi. Kita harus segera menyusul mereka," ucap Devana.

"Tapi..." Fabian masih tampak keberatan hingga akhirnya Devana memutuskan untuk berlari meninggalkan bibir pantai menuju jalan setapak itu.

"Devana, tunggu!" seru Fabian menyusul istrinya. Marinka ikut-ikutan menyusul pasutri itu karena melihat ombak yang semakin meninggi dan angin semakin kencang. Daripada mati diterjang ombak lebih baik pergi menyelamatkan diri, pikirnya.

Kini tinggallah Erik dan beberapa penumpang lainnya. Pria itu tampak semakin cemas apalagi ketika ombak hampir menyeret kakinya hingga ia terjatuh. Alhasil, Erikpun memutuskan untuk menyusul yang lainnya ke dalam hutan. Meninggalkan para penumpang yang masih memilih bertahan.

Dari 145 orang penumpang, terhitung 75 orang memilih masuk ke dalam hutan sementara sisanya bertahan di pantai. 75 orang penumpang dan 12 orang awak pesawat termasuk pilot kini sudah menyusuri jalanan setapak. Yang berjalan paling depan adalah nenek tua itu dibantu oleh Mahesa dan yang terakhir adalah Erik yang baru saja menyusul dengan napas terengah-engah.

Mahesa menatap pohon-pohon yang ia lewati. Pohon-pohon itu tampak bergerak-gerak ditiup angin ribut. Sejauh mereka melangkah belum pernah melihat manusia ataupun rumah.

"Ini benar-benar hutan rimba," ujar Brady yang berjalan di belakang Mahesa.

"Jalan ini pasti ada ujungnya, mungkin akan mengarah ke sebuah desa," balas si nenek tua yang tangannya masih dibimbing oleh Mahesa. "Sudah, lepaskan saja tanganku Nak, aku masih bisa berjalan dengan baik," ucap perempuan itu pula kepada Mahesa.

"Iya Nek. Hati-hati, jalan ini sepertinya licin," ujar Mahesa pula mengingatkan. Tiba-tiba, kaki Mahesa menyandung sesuatu. Iring-iringan itu terhenti karena ia hampir saja terjatuh akibat sandungan. Ketika ia melihat ke bawah, alangkah terkejutnya ia ketika menyadari yang baru saja disandungnya adalah sebuah tulang yang menyembul dari dalam tanah. Hal itu tentu saja membuat semua kembali panik dan heboh.

"Sudah, jangan panik. Ini sepertinya tulang hewan mati," ujar Brady menenangkan. Melihat hal itu, Erik yang berada di ujung barisan menginterupsi.

"Kita kembali saja. Sepertinya ini hutan larangan. Tadi tengkorak kepala manusia di pantai, sekarang tulang di dalam tanah. Aku tidak ingin meneruskan lagi, aku akan kembali," serunya dan membalikkan badan berniat kembali ke pantai. Tapi tak satupun yang sependapat dengannya kini. Alhasil Erik sendirian berlari ke arah pantai kembali. Sementara yang lain meneruskan langkah.

Tak lama, Erik kembali ke dalam rombongan dengan napas terengah-engah dan wajah pucat pasi seperti baru saja melihat hal yang mengerikan. Melihat kedatangannya kembali, yang lain menghentikan langkah dan menatap pria itu lagi.

"Ada apa? Kenapa kau kembali?" Fabian yang bertanya. Ia mengusap pundak pria itu agar Erik dapat bernapas lebih leluasa. Setelah merasa tenang, akhirnya Erik bersuara.

"Semua penumpang yang masih di pantai hilang. Tak tahu kemana. Aku mencari ke dalam pesawat dan berseru memanggil mereka, tapi semuanya tidak ada. Aku tidak tahu mereka dimana. Karena panik, aku akhirnya kembali kesini," ungkap Erik dengan bibir bergetar.

"Mungkin mereka menemukan jalan lain. Kita lanjutkan saja langkah kita," jawab Brady pula.

"Tidak ada jalan lain selain jalan ini!" sergah Erik cepat.

"Ya sudah, mungkin mereka memilih untuk bersembunyi di hutan bagian lain karena takut badai. Sudahlah, tidak usah memperdebatkan hal yang tidak penting. Sekarang yang terpenting adalah, kita harus segera menemukan pemukiman warga," pungkas Brady lagi. Ia kembali menginstruksikan untuk meneruskan langkah.

Semuanya kembali meneruskan langkah dengan pelan dan hati-hati. Sebab setelah kejadian Mahesa tadi, Brady menginstruksikan agar yang lain benar-benar memperhatikan langkah agar tidak tersandung lagi.

"Hei, tunggu," Mahesa bersuara yang membuat semua langkah kembali terhenti. Pemuda itu menunjuk batang-batang pohon di sekitar mereka. Di tiap batang pohon itu ada sebuah ukiran berbentuk sebuah segitiga terbalik.

"Coba perhatikan, hampir semua batang pohon ini terukir. Pasti yang mengukirnya adalah manusia karena polanya sama dengan tinggi sebatas tubuh manusia dewasa normal," ucap Mahesa. Hal itu melegakan yang lain, itu artinya pulau ini memang dihuni oleh manusia.

"Ah, syukurlah. Artinya kita bisa minta bantuan," tukas Brady dan menyuruh Mahesa meneruskan langkah.

Semakin diperhatikan, pohon-pohon di hutan ini semakin banyak dan jalan setapak yang mereka lewati ini seperti tak berujung. Sebab kabut di ujung jalan menutupi jarak pandang. Sayup-sayup, telinga Mahesa menangkap sebuah suara yang semakin lama semakin keras. Suara-suara itu seperti suara manusia, semakin di dengar semakin banyak.

"Apa ada yang dengar?" tanya Mahesa pada yang lain. Semua mencoba memfokuskan pendengaran masing-masing dan mereka menangkap suara-suara itu.

"Ini suara manusia. Artinya kita semakin dekat dengan peradaban. Ayo teruskan langkah," ujar Brady pula. Mahesa dan yang lain meneruskan langkah kembali meski Mahesa merasa suara-suara itu bukan seperti suara manusia yang bercakap-cakap melainkan seperti suara jeritan dan erangan. Namun enggan berdebat, ia memutuskan untuk meneruskan langkah.

Rombongan kini melihat sebuah gerbang dari kayu yang tampaknya dibuat ala kadarnya yang bertuliskan "Selamat Datang di Pulau Gumantra".

"Pulau Gumantra?" tanya Julian membaca tulisan di gerbang. "Apakah ada yang pernah dengar nama pulau ini sebelumnya?"

Semua menggeleng.

"Sudahlah, mungkin ini pulau kecil yang bahkan terlewat dari peta. Sudahlah, tak usah banyak berdebat dulu. Dengan adanya gerbang bertulisan ini kita semakin yakin bahwa di ujung jalan ini ada peradaban manusia," ucap Brady dan menyuruh Julian meneruskan langkah. Meski ragu, pramugara itu mengikuti arahan sang pilot. Hingga semua kini sudah memasuki gerbang dan tubuh mereka tak terlihat ditelan kabut yang semakin tebal. Tanpa mereka tahu apa yang ada dibalik hutan berkabut itu.

------------------------------

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status