Share

Pendaratan Darurat

Getaran di meja Devana perlahan berhenti beringinan dengan berhentinya blender yang sedang menggiling beberapa stroberi dan susu yang tadi ia campurkan.

Setelah benda itu berhenti, Devana mematikannya dan mengeluarkan stroberi dan susu yang kini sudah menjadi sebuah krim berwarna merah muda. Devana kemudian menuangkan krim tersebut ke dalam sebuah plastik khusus yang ujungnya bolong. Perempuan itu kemudian menjadikan krim tersebut hiasan untuk kue yang sudah ada di meja.

Devana memang seorang pemilik toko kue. Ia sudah menekuni profesi ini lebih dari dua tahun. Meskipun ia memiliki seorang suami yang mapan secara finansial namun Devana tetap ingin produktif dengan memiliki usaha sendiri. Apalagi ilmu tata boga yang sudah ia pelajari sayang jika tidak dipraktekkan. Alhasil, ia membuka sebuah toko kue di kota Jakarta.

Devana pandai membuat bermacam-macam kue. Mulai dari kue kering, basah, ataupun kue ulang tahun dan kue tar. Pelanggannya sangat banyak, sebab ia juga pintar bergaul dan memiliki banyak teman. Tiap hari kue bikinannya selalu habis terjual, bahkan ada yang tidak kebagian. Pada momen tertentu, Devana bahkan sampai kewalahan menerima pesanan. Seperti hari lebaran atau hari besar lainnya.

Tiap hari selalu ada salah satu kue dengan cita rasa baru yang ia buat dan akan ia tulis di papan di depan tokonya untuk menarik minat pelanggan. Hari ini, kue yang akan menjadi sorotan adalah bolu nanas dengan krim stroberi yang baru saja selesai dibuatnya.

Begitu selesai menatanya, Devana langsung membawa kue itu ke dalam etalase dan meletakkannya di samping kue-kue lainnya. Devana senang melakukan pekerjaannya ini. Sebab ia memang hobi membuat kue dan penghasilannya dari usaha ini juga sangat lumayan.

Kerincingan diatas pintu tokonya berbunyi. Itu menandakan ada yang membuka pintu. Devana menoleh, rupanya itu adalah Fabian, suaminya sendiri. Pria itu tersenyum pada sang istri. Penampilannya seperti sudah siap untuk berangkat kerja.

"Pagi..." sapa Fabian.

"Pagi..." balas Devana. Sejenak keduanya berciuman dan Fabian mencium aroma kue yang baru saja selesai dibuat istrinya.

"Pagi-pagi sudah jadi saja kuenya. Ada pesanan?" tanya Fabian.

"Tidak. Menu baru, kemarin baru dapat resepnya," jawab sang istri.

"Kau ini, jangan terlalu lelah. Ingat kandunganmu ya," bisik Fabian. Devana mengelus perutnya yang masih rata dan mengangguk pada sang suami.

"Tentu. Nanti sore aku kontrol," ujarnya.

"Ya sudah. Kalau begitu aku berangkat dulu ya," tukas Fabian pula dan kembali mencium kening istrinya. Pria itu bergegas keluar dari toko. Begitu ia tiba diluar dan hendak memasuki mobilnya, seorang pengemis menadahkan tangan kepadanya. Namun Fabian malah mendengus dan mengabaikan si pengemis lalu bergegas menaiki mobilnya.

------------------------------

Guncangan di dalam kabin pesawat semakin terasa kuat. Devana bahkan kini meremas tangan sang suami yang duduk di sampingnya dengan sangat kuat. Fabian juga tampak cukup pucat namun ia berusaha tetap tenang. Ia mengusap rambut istrinya sambil menenangkan.

Fabian melirik ke arah jendela dan melihat cuaca diluar yang sangat buruk. Petir dan kilat menyambar-nyambar dan awan hitam tebal bergumpal-gumpal mengenai badan pesawat.

Pramugara yang tadi di kursi perempuan tua kini sudah berjalan perlahan dan hampir mendekati kursi Fabian. Ketika sudah berada persis di dekat kursinya, Fabian langsung menanyai pria itu.

"Mas, ini kenapa?"

"Cuaca sedang buruk Pak. Tetap tenang dan kencangkan sabuk pengaman," jawab si pramugara dan kembali meneruskan langkah menuju bagian belakang pesawat.

Fabian mencoba menoleh ke beberapa orang penumpang. Di seberang kursinya ada seorang gadis berbadan gempal yang tampak sedang berdoa. Di belakang gadis itu ada seorang wanita yang membawa anak, anaknya menangis karena takut. Fabian kini menoleh ke depan dan melihat pemuda yang tadi bertabrakan dengannya di toilet. Pemuda itu tampak cukup cemas seperti dirinya saat ini.

Tak lama, guncangan perlahan berhenti. Fabian bisa bernapas lega ketika guncangan sudah tak terasa. Ia melirik istrinya yang tampak masih ketakutan. Meski cuaca diluar masih tampak buruk tapi setidaknya pesawat kini sudah tak berguncang.

Dari kursinya, Fabian dapat melihat gadis bertubuh gempal yang duduk di seberangnya itu mulai melepas sabuk pengaman begitu pesawat sudah tenang. Gadis itu bangkit berdiri dan bergegas menuju toilet dengan tergesa-gesa.

------------------------------

Marinka memuntahkan isi perutnya begitu tiba di dalam toilet. Guncangan yang cukup kuat yang baru saja dirasakannya itu membuat isi perutnya terkocok dan ingin dimuntahkan.

Setelah merasa lega, Marinka mengelap sisa muntahan di mulutnya dan menatap cermin. Ia memperhatikan bentuk wajahnya yang bulat dengan pipi yang sangat tembem. Gadis itu mendengus dan mengangkat dagunya sedikit. Bahkan dagunya saja seperti ada dua saking gemuknya ia. Marinka mendengus kesal bila melihat dirinya sendiri di pantulan cermin.

"Cita-cita kurus tapi hobi makan. Tapi suka aneh melihat orang yang makan banyak tapi tidak gemuk," omelnya pada diri sendiri.

Gadis itu kemudian mencuci tangannya lalu bergegas keluar dari toilet. Di depan toilet ia tak sengaja berpapasan dengan seorang pramugara tampan yang tersenyum padanya. Marinka membalas senyuman pria itu dan memperhatikan sang pramugara yang kini berjalan menuju kabin penumpang.

"Eh, Mas..." seru Marinka hingga menghentikan langkah sang pramugara. Pria itu menoleh kembali pada Marinka yang kini berjalan mendekatinya.

"Ada yang bisa kami bantu, Ibu?" tanya sang pramugara.

"Saya minta extra seat belt bisa?" tanya Marinka dengan nada pelan seperti berbisik. Takut jika penumpang lain mendengar ucapannya.

Sang pramugara tak segera menjawab. Ia memperhatikan postur gadis di hadapannya sejenak. Gadis itu memang bertubuh gempal dengan lingkar perut yang cukup lebar dibanding orang kebanyakan. Sang pramugara mengerti kenapa ia memerlukan extra seat belt.

"Baik. Silakan kembali ke kursi Anda," ucap sang pramugara sopan dan kembali ke bagian belakang pesawat.

"Terimakasih," ucap Marinka tersenyum dan memperhatikan pria itu sampai hilang di balik tirai. Gadis itu kemudian menghela napas panjang dan melangkah menuju kursinya kembali.

Sementara di ruang khusus awak pesawat, Julian, sang pramugara yang baru saja berbicara kepada Marinka, masuk. Di ruangan itu ada dua orang pramugari yang sedang bercakap-cakap. Sepertinya obrolan mereka cukup intens. Melihat kehadiran Julian, kedua pramugari itu tampak memperbaiki sikap.

"Kenapa Jul?" tanya salah satu pramugari.

"Ada penumpang yang minta extra seat belt," jawab Julian tanpa menoleh. Ia mengambil benda yang dicarinya dan setelah menemukannya, pria itu berniat untuk kembali keluar ruangan. Namun sesuatu menghentikan langkahnya. Ia mendengar salah satu dari pramugari itu sedikit terisak. Julianpun menoleh dan menatap seorang pramugari yang sedang mengusap matanya.

"Ada apa Car?" tanya Julian mendekat.

Carissa, nama pramugari yang ditanyai, tampak memperbaiki sikap dan tersenyum pada Julian.

"Tidak apa-apa," jawabnya.

"Jangan bohong. Kau seperti menangis begitu," ujar Julian pula.

"Tidak, matanya kelilipan. Sudah sana, kembali ke kabin," tukas pramugari yang lainnya, yang bernama Sylvia.

Julian akhirnya enggan bertanya lagi. Ia menyimpulkan bahwa kedua teman seprofesinya itu sedang tidak ingin menceritakan apapun. Nanti juga akan cerita sendiri kalau memang sudah waktunya, seperti biasanya, pikir Julian. Iapun bergegas keluar ruangan dengan membawa extra seat belt yang diminta Marinka.

Sepeninggal Julian, Sylvia kembali menatap sahabatnya, Carissa. Perempuan itupun tampak kembali tersedu sehingga Sylvia mengusap pundaknya untuk menenangkan.

"Tapi dia sudah tahu?" tanya Sylvia pula. Carissa menggeleng perlahan.

"Belum."

"Kau harus beritahu dia Car. Jangan sampai hal ini tercium maskapai bisa jadi masalah nantinya," tukas Sylvia pula. Carissa mengusap lelehan air mata di pipinya sebelum kembali berkata.

"Aku bingung Syl..." bisiknya.

"Kau harus ambil tindakan. Karena semakin lama akan semakin ketahuan. Kau mau namamu tercoreng dan di blacklist dari semua maskapai bila sampai ketahuan?"

Carissa menghela napas berat beberapa kali. Ia tampak benar-benar gundah dan bingung. Sylvia hanya bisa memberikan rasa empati lewat sebuah pelukan dan usapan hangat sebagai sesama perempuan.

Tiba-tiba, sebuah guncangan terjadi lagi. Kedua pramugari itu hampir jatuh akibat guncangan yang terjadi. Pesawat kini benar-benar mengalami turbulensi hebat.

Di kabin, para penumpangpun mulai panik. Mahesa yang duduk persis di sayap pesawat melirik ke jendela dan melihat sayap pesawat itu bergoyang-goyang diterpa gumpalan awan hitam yang sangat banyak.

Lampu tanda kenakan sabuk pengaman menyala berkedap kedip. Marinka yang sedang memasang sabuk pengaman tambahan yang baru saja diberikan sang pramugara tampak sedikit kesusahan dan panik.

Tak lama, masker oksigen yang ada di atas kursi penumpang mulai turun membuat para penumpang sangat panik. Tekanan udara di kabin seketika mulai berkurang hingga secara otomatis masker oksigen itu akan keluar sendiri.

"Para penumpang yang terhormat, demi keselamatan bersama harap jangan panik dan segera gunakan masker oksigen yang sudah tersedia sesuai instruksi dari para awak pesawat. Saat ini, pesawat menempuh ketinggian jelajah maksimal untuk menghindari cuaca ekstrim yang mengakibatkan tekanan udara berkurang," terdengar suara pemberitahuan dari sang pilot.

Namun, para penumpang tetap saja panik, termasuk Mahesa. Meski ia mulai memasang masker oksigen yang menggantung di depannya agar bisa bernapas dengan normal tapi tetap saja ia merasa panik. Pemuda itu melirik ke kursi seberang, perempuan tua yang duduk di seberangnya, tampak sedikit kesusahan memasang masker. Karena merasa kasihan, Mahesapun berinisiatif untuk melepas kembali maskernya dan membantu perempuan tua itu terlebih dahulu.

Mahesa melepas sabuk pengamannya dan melangkah meninggalkan kursi demi membantu perempuan tua itu. Meski pemberitahuan untuk mengencangkan sabuk dan memakai masker sudah terdengar.

Mahesa sedikit kesusahan ketika membantu perempuan tua itu memasang masker oksigen sebab guncangan di badan pesawat membuat tubuhnya kesulitan berdiri dengan baik. Ditambah lagi tekanan udara yang berkurang menyebabkan dirinya susah bernapas. Namun akhirnya ia berhasil memasangkan masker kepada perempuan tua itu.

Mahesa kembali duduk dikursinya dan memasang sabuk lalu memasang masker dengan cepat. Ia melirik perempuan tua itu yang juga menatapnya dengan pandangan terimakasih.

Sementara di ruang kokpit, kapten Brady Anthony selaku pilot tampak masih mengendalikan pesawat dengan cukup tenang dan serius. Ia dan juga co-pilot yang duduk di sebelahnya juga sudah memakai masker oksigen.

Tiba-tiba, sang pilot menoleh kepada co-pilot dengan sorotan yang cukup panik.

"Jarak pandang terlalu dekat, navigasi juga mulai menghilang. Sepertinya kita harus menghentikan penerbangan ini dengan melakukan pendaratan darurat," ucapnya kepada sang co-pilot.

Hal itupun di setujui oleh co-pilot mengingat di depan mereka kabut hitam menghalangi jarak pandang dan di salah satu bagian flight instrument(*) terlihat navigasi yang sudah mulai menghilang. Apalagi oksigen yang ada di masker yang mereka dan penumpang gunakan hanya akan bertahan selama lima belas menit.

"Tapi bandara terdekat sepertinya masih cukup jauh Kap," ujar co-pilot yang bernama Thomas itu.

"Ketinggian jelajah harus kita kurangi agar tekanan udara bisa kembali normal dan kita sepertinya harus melakukan emergency landing secepatnya," jawab sang pilot.

Pesawat itupun turun perlahan, tak lama tekanan udara di kabin kembali normal. Para penumpang satu persatu mulai melepas kembali masker oksigennya dan bernapas seperti biasa.

"Para penumpang yang terhormat, dikarenakan cuaca yang sangat buruk dan jarak pandang yang sangat terbatas serta hilangnya navigasi, penerbangan ini harus dihentikan. Kita harus melakukan pendaratan darurat demi keselamatan bersama dan akan menunggu sinyal navigator dari bandara terdekat untuk melanjutkan penerbangan. Kami minta maaf atas ketidak nyamanannya," terdengar pemberitahuan dari sang pilot yang menggema di kabin.

Mendengar hal itu tentu saja semua penumpang gelisah. Tak terkecuali Fabian dan Devana. Pasangan suami istri itu tampak gusar dan panik.

Tak hanya penumpang, para awak pesawat juga tampak panik dan bingung. Carissa dan Sylvia yang ada ruang khusus awak pesawat terlihat cemas namun mereka tetap berinisiatif untuk membuat para penumpang rileks dan tidak panik. Alhasil, keduanya melangkah menuju kabin dan membuat para penumpang untuk tetap tenang dan tidak panik. Ada Julian juga disana yang membantu mereka.

Pesawat terbang semakin rendah dan kini air laut mulai kelihatan dari jendela. Dari kursinya, Mahesa dapat melihat air laut yang sudah mulai tampak. Tak lama, ada sebuah pulau kecil di tengah lautan itu. Perlahan, pulau itu tampak semakin membesar karena sepertinya pesawat semakin mendekati pulau tersebut.

Benar saja, pendaratan darurat akhirnya dilakukan di pulau kecil itu. Perlahan pesawat Bianglala Airlines terbang menukik dan pendaratan yang sangat tidak muluspun terjadi akibat roda pesawat yang bersentuhan dengan pasir pantai.

Pendaratan tersebut menimbulkan hantaman yang cukup kuat di dalam kabin hingga membuat para penumpang benar-benar tak nyaman dan bahkan ada beberapa yang menjerit karena kesakitan. Sang pilot meminta maaf atas ketidak nyamanan yang terjadi dan meminta para penumpang untuk segera turun dari pesawat.

Dengan panik, para penumpang mulai turun dari beberapa pintu dan jendela darurat. Perempuan tua yang duduk di seberang kursi Mahesa bahkan hampir beberapa kali terjatuh akibat tersenggol penumpang lainnya yang berdesakan hendak turun. Mahesa membantu perempuan itu hingga tiba diluar pesawat.

Sang pilot, Brady dan juga Thomas ikut turun bersama para awak pesawat lainnya. 12 orang awak dan pilot, serta 145 penumpang berhasil keluar dari pesawat tersebut.

"Mana pilotnya? Mana pilotnya?" sebuah suara membuat Mahesa menoleh. Pemuda itu masih memapah si perempuan tua dan ketika ia menoleh ia menemukan suara itu berasal dari pria paruh baya yang duduk di sebelahnya. Pria itu tampak cukup marah.

Pria itu kemudian mendekati Brady yang memang sedang memakai seragam pilotnya dengan lengkap. Pria tersebut segera meraih kerah baju Brady dan memakinya.

"Kau harus bertanggung jawab, saya harus tiba di Lombok pukul 7 malam nanti sebab ada meeting yang sangat penting. Bagaimana ini? Maskapai ini sangat tidak becus," ucapnya memaki-maki.

"Maaf Pak, ini kesalahan teknis dan cuaca yang sangat buruk. Pesawat kehilangan navigasi dan jarak pandang terlalu dekat. Jika diteruskan akan membahayakan nyawa kita semua," jawab Brady tenang.

Namun pria itu tetap tampak tak terima dan kini sedang mengeluarkan ponselnya lalu menyalakannya. Sepertinya ia hendak mengabarkan seseorang bahwa ia terdampar di sebuah pulau.

"Ah, tidak ada sinyal lagi," keluhnya beberapa saat kemudian. Mendengar ucapan itu para penumpang yang lainpun mencoba menyalakan ponsel masing-masing termasuk Mahesa. Ternyata benar, tidak ada sinyal sama sekali.

Gemuruh menggema dengan cukup keras dari langit. Mahesa mendongak keatas dan melihat gumpalan awan hitam menyelimuti langit. Tapi anehnya, gumpalan awan-awan itu terlihat agak aneh setidaknya di mata Mahesa. Sebab bila diperhatikan lebih teliti gumpalan awan-awan itu tampak seperti sekelompok wajah-wajah yang sedang memperhatikan mereka.

-------------------------------

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status