Pintu berkali-kali digedor-gedor membuat pintu tersebut hampir saja ambruk. Buru-buru Catharina melangkah membukakan pintu. Tampak sosok pria terlihat mabuk berat. Pria tersebut terus marah-marah tidak jelas.
Damian melangkah gontai dengan keseimbangan tubuh yang tidak normal seakan dia akan jatuh, bahkan hampir menabrak Catharina. Damian berdiri tepat di samping Catharina dan meliriknya.
"Kau sudah pulang? Apa kau membawa uang banyak?" tanyanya dengan ciri khas orang mabuk. Catharina hanya diam seribu bahasa. Melihat anak gadisnya tidak merespon, Damian menarik lengan Catharina dengan kasar. Gadis itu menjerit kesakitan.
"Ahh … sakit, Ayah!" teriak Catharina mengerang. Teriakan Catharina membuat Paula dan Celine menghampiri mereka berdua. Paula berusaha melepaskan cengkraman tangan Damian, sedangkan Celine tampak bingung dan ketakutan.
Damian geram dan menghempaskan tubuh Catharina ke dinding. Tangisan Celine pecah seketika pada saat melihat tubuh sang kakak terhuyung menabrak tembok dan tergeletak di lantai.
"Ayah memang tidak punya hati nurani!" teriak Celine.
"Jika kepulanganmu hanya untuk menyakiti anak-anakku. Lebih baik kau pergi saja dari rumah ini. Pergilah yang jauh!" ujar Paula dengan hati yang tersayat-sayat.
"Aku belum akan pergi, jika aku belum mendapatkan uang!" balas Damian dengan membentak Paula.
"Kau tidak akan mendapatkan uang sepeser pun. Jadi pergilah dari sini atau—"
"Atau apa!" bentak Damian menyela Paula, istrinya.
"Atau saya akan memanggil polisi untuk datang ke sini dan melaporkan bahwa terjadi kekerasan di rumah ini dan hampir menelan korban!" Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakang. Aaric Fischer menatap Damian dengan sengit. " Hal itu akan cukup untuk menjebloskan anda ke penjara!" lanjut Aaric.
"Mengancam ku?" Damian tersenyum mengejek. Terlihat dia sangat meremehkan Aaric. Damian justru malah balik menantang. "Apa kau berani mencari masalah denganku, hah!" bentak Damian.
"Sudah cukup!" teriak Catharina. "Ayah mau ini?" Catharina mengangkat beberapa uang digenggamannya. Damian membalikkan badan, menyipitkan matanya untuk melihat apa yang sedang dipegang oleh anak gadisnya.
"Hahaha … anak pintar. Ternyata kau lebih peka dari pada Ibumu." Damian melangkah mendekati Catharina. Namun, belum sempat mendekat. Catharina sudah melempar beberapa uang tersebut ke arah Damian.
"Ambil itu dan pergilah dari sini!" ucap Catharina dengan nada meninggi dan menekannya.
"Oke … baiklah, sayang. Aku akan pergi dari sini secepatnya." Lalu Damian menatap Paula. "Kau harus menjaga dan merawat dia untukku." Damian menunjuk Catharina kendati tatapannya menatap Paula. "Dia adalah ladang uangku." Damian tertawa kencang.
"Laknat! Pergi dari sini. Jangan ganggu dia lagi!" ucap Paula marah dan mendorong tubuh pria yang mabuk berat serta bau alkohol yang sangat menyengat. "Pergi dan jangan kembali lagi!" usir Paula. Wanita itu benar-benar tidak tega melihat anak sulungnya mendapatkan perlakuan kasar dari ayah kandungnya sendiri.
Setelah kepergian Damian, Aaric mendekati Catharina dan menolongnya berjalan menuju tempat duduk. Catharina sedikit menahan rasa nyeri pada bahunya, karena terbentuk dinding.
"Biar aku lihat." Aaric mengangkat lengan baju Cat. Dia melihat memar di area bahunya.
"Apakah parah?" tanya Cat.
"Hmm … tidak begitu, tapi tetap harus dikompres biar tidak membengkak," saran Aaric.
"Aku tidak punya es untuk mengompresnya," timpal Catharina.
"Aku ada es dirumah. Sebentar biar aku ambilkan." Lantas Aaric berlari pulang. Memang jarak rumah Catharina dengan rumah Aaric tidak terlalu jauh. Beberapa menit kemudian, Aaric datang membawa bongkahan es batu. Pemuda itu segera membantu mengompres bahunya.
"Aaric, terima kasih. Aku banyak merepotkanmu." Catharina menatap sahabatnya tersebut.
"Tidak masalah," balas Aaric menatap Paula dan beralih ke Celine. "Bibi Paula dan Celine, kalian tidak apa-apa, kan?" tanya Aaric. Paula dan Celine menggelengkan kepala. Namun, mereka terlihat sangat syok.
"Nak Aaric, Bibi mengucapkan banyak terima kasih. Kau cukup sering membantu Cat."
"Bibi tidak perlu sungkan. Kita sebagai manusia memang harus saling tolong-menolong," kata Aaric yang masih telaten mengkompres lengan Catharina.
"Aku rasa sudah cukup. Aku bisa mengompresnya sendiri." Catharina merasa tidak enak hati.
"Baiklah. Kau harus sering mengompresnya. Aku pamit dulu, ya. Jika ada apa-apa, jangan sungkan bilang padaku." Aaric pun berpamitan pulang.
"Dia begitu baik pada Kak Cat," celetuk Celine. "Uang Kak Cat pasti sudah habis. Padahal aku ingin bilang ke Kakak kalau aku belum bayar uang sekolah." Celine menunduk. "Semua ini gara-gara Ayah." Celine menggebrak meja makan membuat Paula kaget.
"Celine, jangan membuat Ibu kaget, bisa-bisa Ibu terkena serangan jantung. Kakak janji, Kakak akan berusaha mencari jalan untuk mendapatkan uang."
"Ta-tapi Kakak 'kan baru terima upah. Butuh sebulan lagi untuk mendapatkan upah itu lagi. Aku bisa-bisa kena marah lagi," rengek Celine. Catharina bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Celine.
"Jangan bersedih lagi. Setiap usaha pasti akan ada jalannya. Tuhan maha adil, pasti dia akan memberikan jalan terbaik untuk kita semua." Catharina memeluk Celine, adiknya. Melihat hal itu, Paula menitihkan air mata. Wanita itu benar-benar tidak tega melihat putri sulungnya harus menjadi tulang punggung keluarga.
Namun demikian, Catharina ikhlas melakukannya demi Ibu dan adiknya. Apapun akan dia lakukan.
~•••~
Sinar mentari pagi yang hangat menyelinap dan menebus masuk di antara cela-cela jendela. Menerpa serta meraba kulit putih dan halus milik Catharina. Tubuhnya menggeliat serta perlahan kelopak mata itu terbuka. Catharina menarik tubuhnya untuk bangun.
"Sudah pagi ternyata, padahal baru beberapa jam yang lalu aku masih terjaga." Catharina menguap, dia masih merasakan ngantuk yang sangat berat. "Aku tidak boleh bermalas-malasan. Aku harus berangkat kerja dan mencari tambahan untuk biaya sekolah Celine." Catharina menurunkan kedua kakinya ke lantai, lalu dia melangkah keluar kamar.
Catharina melihat Ibunya sibuk di dapur. Wanita itu sibuk menyiapkan sarapan. Walaupun tubuh wanita itu sedang sakit, tapi dia tetap berusaha menyiapkan kebutuhan kedua putrinya.
"Kenapa Ibu tidak membangunkanku?"
"Kau terlihat sangat lelah, Ibu tidak tega untuk membangunkanmu. Terlebih lagi akhir-akhir ini kau juga kurang tidur," tutur Paula.
"Ibu … Ibu ini sedang kurang sehat. Ibu tidak boleh terlalu capek." Catharina mencoba membantu Ibunya.
"Lebih baik kau pergi mandi sana. Hari sudah siang, apa kau ingin kena tegur lagi?" Paula menatap Catharina. Catharina menurut, dia memang gadis yang manis dan penurut.
"Ibu, aku pamit dulu. Mungkin hari ini aku akan pulang telat. Ini ada sedikit uang untuk pegangan Ibu." Catharina memberikan beberapa lembar uang pada Ibunya.
"Tidak perlu, Nak. Kau simpan saja. Siapa tahu kau butuh sesuatu nanti." Paula menolak uang pemberian dari putri sulungnya. "Ibu masih ada punya pegangan, kok."
"Tapi, Bu—"
"Simpan saja untuk tambahan membayar uang sekolah adikmu," ujar Paula tersenyum. Catharina menarik napas panjang. Kenapa dia bisa sampai lupa soal Celine.
"Ibu, baik-baik, ya. Aku berangkat dulu." Catharina mencium wanita tua tersebut.
"Hati-hati, Nak!" teriak Paula. "Tuhan, tolong jaga putriku, Catharina. Lindungi dia di manapun dia berada."
TO BE CONTINUE
Catharina duduk terdiam di sebuah bangku halte bus. Dia duduk menunggu bus lewat sambil memainkan kedua kakinya. Dia terlihat sangat menikmati musik yang sedang didengarkan lewat headset. Dari kejauhan Aaric tampak memperhatikan Catharina sambil tersenyum."Aku penasaran dia kerja di mana? Apa aku ikuti saja dia?" gumam Aaric. Sedangkan Catharina, dia masih duduk termenung di sana."Apa yang harus aku lakukan? Aku terus berbohong pada Ibu. Aku benar-benar sangat berdosa padanya," cicit-nya pelan. "Tapi kalau tidak seperti ini bagaimana aku, Ibu, dan Celine bisa bertahan hidup?" Lamunan Catharina buyar saat sebuah bus berhenti di depannya. Namun, sebelum Catharina hendak naik ke atas bus. Seseorang dengan cepat merebut tas milik Catharina. Setelah mendapatkan tas tersebut, dia
Bar tempat karaoke yang terletak di ujung jalan. Tempat itu selalu ramai dikunjungi oleh pelanggan-pelanggan yang kebanyakan pria. Ya, pria-pria berhidung belang yang selalu sesuka hati memegang atau meraba tubuh pemandu karaoke.Catharina bekerja di Heaven on Earth sudah lebih dari enam bulan. Catharina menerima pekerjaan itu karena dia sudah kepepet. Mau tidak mau dan demi sesuap nasi, Cat harus menjalaninya.Hari yang panas, sepanas berada di ruangan karaoke. Catharina dan Merlyn mendapat tugas untuk menemani dua pria sekitar umur empat puluh lima tahun. Tidak ada yang perlu dicurigai karena dua pria itu tidak berbuat yang aneh-aneh. Mereka berdua hanya datang untuk berkaraoke setelah seharian bekerja. Hari memang sudah memasuki sore, akan tetapi rasa panas masih dir
Catharina terkejut saat seseorang merebut paksa uang yang ada dalam genggaman tangannya. Sempat terjadi tarik-menarik antara Cat dan pria tersebut. Namun, akhirnya Cat memilih melepaskannya."Cat, are you okay?" Paman Deff mendekati Catharina. "Kenapa kau lepaskan?" lanjutnya bertanya. Cat terus menatap pria yang berdiri tidak jauh darinya."Well, tiap hari kalau kau seperti ini sudah pasti kau akan dapat uang banyak. Ah—ternyata type-mu itu adalah pria-pria setengah tua, ya?" ocehnya tidak karuan."Jaga bicaramu, hah!" Deff terlihat marah.
Nyonya Lance terus-menerus memikirkan siapa yang dimaksud oleh Tuan Wagner itu. Perlahan dia mengingat satu-persatu anak-anak yang ada di Bar itu. Nyonya Lance langsung teringat gadis yang dimasukkan oleh Deff. "Mungkinkah Catharina?" Nyonya Lance sudah bisa menduganya. Di hari berikutnya, Nyonya Lance memanggil Catharina ke ruangannya. Gadis cantik itu tampak bingung. Dia mengetuk pintu dengan pelan. Setelah terdengar sahutan suara dari dalam sana, Catharina pun membuka pintu dan masuk. "Duduklah!" perintah Nyonya Lance. Catharina menuruti perintah Nyonya Lance yang terkenal galak. Cat duduk berhadapan dengan Nyonya Lance dan dibatasi oleh sebuah meja. Catharina begitu takut dan gugup, dia bertanya-tanya dalam hatinya. Nyonya Lance menarik napas dan menatap Catharin
"Bagaimana bisa dia tertidur, sedangkan aku belum melakukan apa-apa," keluh Mischa yang melihat Catharina sudah tertidur lelap. "Ya sudah, mungkin dia lelah menungguku." Mischa melangkah masuk ke dalam kamar dan keluar membawa selimut, kemudian menutupi tubuh Catharina. Empat jam sebelumnya. Getaran ponsel milik Mischa menghentikan aktivitasnya yang hendak mencumbu Catharina. Pemuda itu segera meraih ponsel yang tergeletak di atas lemari dan melangkah sedikit menjauh dari Catharina. Mischa segera menjawab panggilan masuk tersebut. Dia begitu sangat serius mendengarkan suara dari seberang sana. Lantas setelah menutup sambungan telepon tersebut, Mischa menatap Catharina yang sedang duduk. "Malam ini sepertinya aku harus meninggalkanmu," ucap Mischa. "Tidak masalah!" jawab Catharina singkat. "Aku pergi dulu. Selesai menyelesaikan urusan kantor aku
Pertama tiba dan sampai detik ini juga, belum terjadi apa-apa dengan Catharina. Dia belum sama sekali disentuh oleh si penyewanya yang tidak lain adalah Mischa Wagner. Ya, Catharina masih perawan. Selama bekerja menjadi pemandu karaoke, Catharina masih terlindungi. Untung saja Nyonya Lance jarang melirik Catharina. Mungkin Nyonya Lance tidak begitu memperhatikan bentuk tubuh Catharina, bahkan Nyonya Lance terkejut saat seorang pengusaha muda justru menolak tawaran wanita pilihan darinya. Justru pria itu memilih pilihannya sendiri. Catharina Berntsen dipilih sendiri oleh Mischa Wagner untuk menjadi partner bayarannya. Mischa menyewa Catharina selama beberapa hari. Dihari pertama Catharina belum disentuh sedikit pun oleh Mischa. Malam itu tiba, Mischa yang pulang lebih awal dari kantornya tampak sedang santai duduk di balkon membaca sebuah buku ditemani dengan secangkir teh hangat. Catharina yang saat itu baru selesai man
Suasana kian panas, walaupun di luar sana hujan turun dengan lebat. AC tidak bisa menandingi panasnya cuaca saat itu. Gemuruh rintik hujan terdengar dari dalam ruangan. Mischa memang sengaja membuka tirai yang menutupi pintu balkon apartemennya. Pria yang menyewa Catharina menatap intens, begitu dalam dan begitu lekat menusuk hati Catharina. Mischa menyibakkan anak rambut yang menutupi mata sebelah kiri Catharina. Perlahan Mischa menggendong tubuh Catharina ala Bridal Style dan membaringkannya di atas ranjang. Tangan Mischa aktif bergerilya menjamah tubuh putih milik Catharina. Catharina memang mempunyai kulit yang halus hingga membuat Mischa betah menjamah tubuhnya. Jantung Catharina berdegup sangat cepat saat Mischa merangkak di atas tubuhnya dan berhenti tepat di atas wajahnya. "Santai saja. Jangan terlalu gugup." Mischa Melanjutkan aktivitasnya. Dia mendekatkan wajahnya pada daun telinga Catharina. "Kau ben
Hidup memang keras, harus punya pilihan untuk menentukan jalan hidup ke depan. Kadang kita bisa memilih, terkadang kita harus pasrah dengan jalan yang sudah digariskan. Dunia ini menyimpan banyak rahasia yang kita tidak tahu, karena semua sudah diatur oleh Sang Pemberi Hidup. Ini baru awalan dan permainan yang sebenarnya baru akan dimulai. Pemanasan yang membuat Catharina sempat menahan rasa pedih dan rasa tak berdaya saat dia harus mengambil keputusan menjadi wanita bayaran. Hanya karena uang, Catharina harus merendahkan harga dirinya. Sama sekali dia tidak berpikir sampai kesitu. Dia harus menukar semua yang dia miliki termasuk harga dirinya demi uang yakni berhubungan badan dengan pria yang bukan suaminya. Mischa yang sudah menguasai tubuh Catharina, pria itu dapat dengan leluasa melihat setiap lekuk tubuh indah Catharina. Tubuh itu terekspos dengan jelas tanpa sehelai benang pun. Kini Mischa telah siap untuk bertempur, dia mengatur posisi un