Ada suatu tempat disisi lain alam manusia, yaitu dimensi ghaib alam jin. Dunia lain yang masih menjadi misteri bagi sebagian umat manusia di dunia. Selain bagaimana bentuk spesifiknya, manusia juga tak banyak mengetahui tentang makhluk apa saja yang mendiami alam tak kasat mata itu.
Sementara itu di sudut padang rumput yang hijau disertai pepohonan yang tinggi dan berdaun lebat, terlihat seorang wanita cantik dengan pakaian khas kerajaan Jawa kuno tengah berlatih ilmu kanuragan. Ia berlatih menggunakan pedang tipis perak bersarung emas. "Sekarang aku akan mencoba ajian yang baru saja aku dapat dari Begawan Jolosutho!" gumam wanita cantik itu seraya mengambil kuda-kuda. "Shaaaaah! Hiyaaaaa!" Wanita itu meliuk-liuk sembari menyabetkan pedang tipisnya kesana kemari, bak sedang menari tarian indah pembawa maut. Rambutnya yang panjang hitam serta bermahkota, mengibas-ngibas mengikuti ayunan pedangnya. Swingggg swingggggg "Hiyaaaa!" teriak wanita itu saat melayang di udara. Jedharrrr jedhuarrr! Beberapa energi spiritual yang berasal dari sabetan pedangnya, menabrak bongkahan batu dan beberapa pohon, menyebabkan pohon tersebut tumbang dan batu besar itupun hancur berkeping-keping. Ia mengakhiri serangannya, lalu menyarungkan kembali pedang peraknya, "Ahhhh, capeknyaaaa, aku akan istirahat dulu sebentar," gumamnya seraya merebahkan tubuhnya di atas rumput yang lembut itu. Wanita cantik itu mengenakan sebuah selendang berwarna kuning, serta memakai kemben batik berwarna kecoklatan yang nampak anggun. Kulitnya berwarna kuning langsat, hidungnya yang mancung dan bibirnya yang merah merekah, membuat siapa saja tak akan percaya jikalau wanita cantik itu berasal dari alam jin. Ketika wanita itu tengah beristirahat, tanpa disadari tiba-tiba dari udara kosong muncullah seorang kakek-kakek yang berpakaian serba putih, mirip seperti seorang pertapa atau resi. Kakek itu berjenggot putih sedada, serta membawa sebuah tongkat kayu berukir yang digunakan untuk menopang tubuhnya. "Sekar!" panggilnya kepada wanita cantik itu. Wanita itu menjingkat sedikit terkejut, ia bangkit dan membalikkan tubuhnya ke arah sumber suara yang telah memanggil namanya itu, "Guru Arthasena? maaf aku sedang istirahat, aku tidak tahu kalau guru datang," ucapnya buru-buru membungkuk untuk memberi hormat. "Haha, tidak apa-apa Sekar, apa kau masih melatih ilmu pedang Bajrang Tirto?" tanya Arthasena sembari duduk di sebelah Sekar. "Tidak guru, aku tadi melatih ilmu pedang Adyawiku Sanjana dari gulungan yang diberikan Begawan Jolosutho," jawab Sekar seraya menunjukkan gulungan perkamen berwarna coklat yang sedikit lusuh. Diambilnya gulungan itu dari tangan Sekar, lalu ia dibuka sejenak, kemudian ia mengembalikannya kembali kepada Sekar, "Hmm, ilmu pedang Jolosutho memang sudah tak perlu dipertanyakan lagi, tetapi kekuatan ajian itu hanya bisa dikeluarkan secara maksimal jikalau penggunanya memakai pedang besar seperti golok, sedangkan kau hanya memakai pedang tipis seperti itu," ucap Arthasena sembari membelai jenggotnya yang panjang. Mendengar itu, Sekar lalu mengernyitkan dahinya, "Iya juga sih guru, hmm, lantas aku harus bagaimana guru?" tanyanya penasaran. "Lebih baik kau lebih mendalami ilmu yang menurutmu nyaman digunakan, baik dari senjata maupun dari gerakan, aku lihat kau sudah mahir menggunakan ajian Jagad Sungsang, coba perlihatkan kepadaku," ucap Arthasena sembari bangkit dari duduknya. "Baik guru," sahut Sekar lalu beranjak menjauh untuk menunjukkan ilmunya. Sebelum itu, Sekar terlihat menghunuskan pedang tipisnya lalu memejamkan matanya seraya menggumamkan sebuah mantra, Niat ingsun amatek ajiku, Aji Jagad Sungsang, Sungsang ing pagalaran, Yekti sukmo yekti rogo, Rogoku ambeko seguran alit, Dadi gedhi, dadi ruso Tansah dadi mongso Dawuh sukmo sejatiku! Seberkas cahaya kuning yang berasal dari telapak tangannya menyebar ke seluruh bagian pedang yang ia genggam, lalu Sekar mulai menyabetkan pedangnya ke segala arah, "Hiyaaaa! Hiyaaaaa!" teriaknya sembari bergerak gesit di atas udara. Jedhuarrrrr jedhuarrr! Ledakan energi dari sabetan pedang Sekar membentur beberapa bebatuan besar serta pohon yang ada di tempat itu. Batu besar dan beberapa pohon itupun hancur menjadi berkeping-keping tak berbentuk. Setelah selesai, Sekarpun turun ke atas permukaan rumput lalu menyarungkan pedangnya, "Huhhh, bagaimana guru?" tanya Sekar kepada gurunya. Resi Arthasena tersenyum sembari bertepuk tangan, "Bagus sekali Sekar, sudah mendekati sempurna, kau hanya perlu mengasahnya lebih sering lagi," ucapnya dengan kagum. Sekar melangkah mendekat, "Iya siap guru, aku akan terus melatihnya hingga sempurna guru!" ucap Sekar menghormat. "Bagus, itu baru muridku, haha!" "Ngomong-ngomong, sebenarnya apa keperluan guru menemuiku?" tanya Sekar tiba-tiba seraya duduk bersimpuh di depan gurunya. Resi Arthasena menepuk jidatnya, "Oh iya aku hampir lupa, aku mau menanyakan sesuatu kepadamu, Sekar." "Apa itu guru?"******Suasana di belahan lain alam manusia begitu terlihat berbeda, mulai dari bentuk tumbuhan, sampai makhluk yang menempatinya. Di sebuah tanah lapang di alam jin ini, terlihat dua sosok berbeda tengah bercengkrama dengan serius. "Apa itu guru?" tanya Sekar penasaran. "Apakah Arya tidak pernah mengunjungimu? Dan bagaimana kabarnya?" tanya Resi Arthasena seraya duduk bersila di hadapan Sekar. Mendengar itu, Sekar tiba-tiba tertunduk lesu, "Hmm, sudah lama sekali guru dia tak datang kemari, sejak dia menikahi gadis manusia bernama Dilla," sahutnya lirih. "Hmm, maafkan aku Sekar, aku tidak tahu masalah itu," ucap Resi Arthasena dengan raut wajah prihatin. Sekar menggelengkan kepalanya, "Tidak apa-apa guru, aku juga tahu diri, bahwa kita berdua tak akan pernah bisa bersatu, karena terpisah oleh tembok penghalang yang kokoh." "Hmm, aku paham maksudmu Sekar, jodoh memang ada di tangan Sang Hyang, kita tidak bisa memaksakannya," ujar Resi Arthasena sembari menepuk pundak muridnya itu. "
Sementara itu di waktu yang sama, Malam itu hujan turun semakin lama semakin deras disertai petir yang menyambar bersahut-sahutan. Beberapa wilayah sudah terendam banjir disertai pemutusan arus listrik oleh pihak penyedia jasa untuk mengurangi resiko korsleting. Disebuah rumah kavling di daerah pinggiran kota, tinggallah sepasang suami istri yang baru saja merayakan ulang tahun pernikahannya yang pertama. Pasangan berbahagia itu sedang menunggu kehadiran buah hati mereka yang sebentar lagi akan lahir. Terlihat seorang lelaki yang tengah menyibakkan gorden jendela ruang tamu untuk melihat keadaan di luar rumah, "Duh hujannya gak reda-reda lagi! Mana rokok udah habis!" gerutunya sembari beranjak menuju ke ruang keluarga untuk menyalakan televisinya. Titttt [Kami himbau kepada seluruh warga Malang Raya agar tidak bepergian keluar rumah, karena curah hujan yang cukup intens telah menyebabkan banjir hampir di seluruh wilayah Malang Selatan dan sekitarnya.] Tittttt "Hmm gak ada acara
Jam dinding menunjukkan pukul 1.13 dini hari, udara terasa semakin dingin menusuk tulang. Tetapi beda halnya dengan Dilla yang sedang berkeringat dan terlihat tidurnya sedikit terganggu, serta beberapa kali ia terdengar mengigau tak jelas, seperti sedang bermimpi buruk. Dalam mimpi Dilla, "Wahai manusia, kau telah ditakdirkan untuk memiliki anak yang istimewa, kau telah diberkati oleh langit, kelak anak yang akan lahir dari rahimmu, akan membawa perubahan besar di alam jin dan alam manusia!" Lalu, dari kegelapan yang pekat, muncul cahaya keemasan melayang mendekati Dilla yang sedang terduduk ketakutan, cahaya itu berasal dari sebuah kitab yang berpendar, lalu dengan secepat kilat, kitab itu terbang melesat masuk menembus perut Dilla yang tengah hamil tua. "Arghhhh!" tiba-tiba Dilla bangkit dari tidurnya dan berteriak. Teriakan Dilla menggema di penjuru kamar, sampai membuat Arya terkejut dan bangun. "Dilla! Sayang! Kamu kenapa? Mimpi buruk?" Arya yang seketika bangun, langsung m
Di penghujung malam yang sudah merangkak mendekati pagi, udara dingin semakin menusuk tulang. Kesunyian semakin merebak tak pandang tempat. Bulan pun enggan mengintip dari balik awan mendung yang bergulung. Kala itu, terdengar suara jangkrik dan kodok yang saling bersahutan, mengumandangkan irama indah seperti sebuah nyanyian, nyanyian pengantar tidur makhluk yang bernyawa. Tetapi lagu pengantar tidur itu tak berlaku bagi mereka bertiga yang masih terjaga, Ketika Prameswari menyentuh perut Dilla, ia pun terkejut, "Astaga!" "Kenapa, Kak?" sahut Dilla juga ikut terkejut. Arya yang sedang duduk di sebelah Dilla juga ikut penasaran. "Hmm, pantas saja aku merasakan ada energi yang sangat besar muncul beberapa saat yang lalu, ternyata ini penyebabnya," ucap Prameswari sembari menganggukkan kepalanya seperti memahami sesuatu. "Emang kenapa perut Dilla, Mbak? Apa terjadi sesuatu dengan calon bayi kita? Apa ada hubungannya dengan mimpinya tadi?" Arya memberondong Prameswari dengan beber
Nyai Pitaloka seketika membelalakkan kedua matanya lalu tersenyum, seolah mengetahui sesuatu yang luar biasa, "Astaga! Puji Bethari!Wah, tak salah lagi, anakmu telah dikaruniai berkah para Bethara, ia kelak akan mempunyai kekuatan besar untuk merubah dunia," ucapnya penuh semangat. Mata Arya melotot karena terkejut dengan pernyataan gurunya itu, "Hah? Merubah dunia? Gak terlalu lebay tuh, Nek? Emang di kira Naruto apa?" celetuknya asal nyeplos. "Naruto? Apa itu?" sahut Prameswari penuh kepolosan. Arya menjawab dengan asal, "Tetangganya Bambang kang parkir," dengusnya. "Kekuatan apa nek maksudnya?" Dilla memotong obrolan Arya dan kakak iparnya dengan menimpali sebuah pertanyaan. "Dilla, apa kau bermimpi atau mengalami sesuatu yang aneh sebelumnya?" tanya Nyai Pitaloka dengan raut wajah serius. "Nahh itu dia guru yang mau aku jelaskan," tutur Prameswari sambil menepukkan kepalan tangan kanan ke telapak tangan kirinya, "Biar Dilla saja yang menceritakan semuanya guru," imbuh Prame
"Arrrghhhhh!" Keceriaan yang semula terpancar dari wajah mereka berempat, seketika berubah menjadi kekhawatiran yang sangat mendalam pada kondisi Dilla yang sedang memegang perutnya sembari menjerit kesakitan. "Dilla! kamu kenapa!" teriak Arya terkejut dengan kondisi istrinya itu. Dilla bergerak tak menentu di atas kasur, sembari terus memegangi perutnya, "Perutku sakit sekali Arya, tolong! Aku gak kuat!" Dilla merintih dalam kesakitannya. "Apa dia sedang kontraksi Guru?" tanya Prameswari. Nyai Pitaloka mencoba memeriksa perut Dilla, "Sepertinya begitu, Arya! kalau kau hendak ke rumah sakit, aku akan memindahkanmu dan Dilla dengan teleportasi saat ini juga, ia butuh penanganan medis segera, sebenarnya aku bisa saja menolong Dilla untuk melakukan persalinan, tetapi alangkah baiknya ia mendapatkan persalinan secara normal sebagai manusia," ujarnya memberi jalan keluar. "Iya guru, aku mengerti, tolong antar aku ke rumah sakit segera guru!" ucap Arya sedikit memohon. Nyai Pitaloka
Di sebuah ruangan bersalin yang bernuansa putih dan biru di penjuru ruangan, terlihat seorang wanita tengah berjuang antara hidup dan mati berusaha untuk menjalani proses persalinan yang disaksikan oleh makhluk yang berbeda alam. Setelah lebih dari dua puluh menit melakoni proses yang mendebarkan itu, akhirnya tibalah saat ketika terdengar suara tangisan seorang bayi mungil memecah kesunyian di dalam ruangan itu. "Oeeeekkk, oekkkkk!" terdengar suara tangisan malaikat kecil yang akhirnya terlahir di dunia ini. Perawat tadi langsung memotong tali pusar yang terhubung pada ari-ari si jabang bayi. Dokter wanita itu kemudian mengangkat bayi yang masih berlumuran air ketuban dan juga sedikit dar*h, "Alhamdulillah bayinya sehat dan juga tampan Mas, mbak," ucap dokter itu lalu meletakkannya di atas perut Dilla yang masih bermandikan keringat. "Mas, mbak maaf saya permisi dulu, saya masih harus menangani pasien lain yang sudah menunggu," ucap dokter wanita itu seraya menyunggingkan senyum
Fajar mulai menyingsing di ufuk timur memancarkan cahaya jingga kebiruan, yang menyeruak memenuhi hamparan langit pagi itu. Hawa sedikit dingin disertai hembusan angin lirih menyibak kalbu, membawa kedamaian hati tiap insan yang bernyawa. Ayam jantan berkokok sahut menyahut di kejauhan, di iringi suara kendaraan yang mulai berlalu lalang di jalan raya yang sebelumnya hening. Terlihat beberapa orang mulai sibuk dengan aktifitas pagi harinya, termasuk beberapa pegawai rumah sakit tempat Dilla melahirkan buah hatinya beberapa saat yang lalu. "Arghhhhhh!" terdengar teriakan dari dalam kamar pasien. Ketika Arya dan Prameswari sedang bercengkrama di ruang terbuka rumah sakit, mereka tiba-tiba mendengar suara teriakan dari dalam kamar Dilla yang tengah beristirahat untuk memulihkan kondisinya pasca persalinan. "Dilla!" teriak Arya sambil beranjak dan berlari menuju sumber suara teriakan yang baru saja ia dengar bersama Prameswari, kakaknya. Ketika mereka berdua sampai di ruangan