Share

Bab 4: Lifnes

Pagi ini para penduduk desa sudah membangun rumah untuk sebagian besar penduduk. Sawah-sawah juga sudah mulai dibuat di tepi sungai di sisi utara kota. Beberapa penduduk juga menggembalakan hewan ternak mereka di padang rumput di luar kota.

Lifnes, sang Centaur Perempuan dengan rambut pirang panjang, juga terlihat di daerah persawahan desa. Dengan sihirnya, ia menggerakkan tanah di sekitar sungai, membuat tanahnya melayang rendah di udara, kemudian membuangnya di samping. Setellah melakukannya beberapa kali, dia membuat sepetak sawah dan saluran irigasi yang mengalirkan air dari sungai ke sawah itu.

Tiga orang petani perempuan menghampiri Lifnes.

“Terima kasih Nona Lifnes, berkat anda, membuat sawah dan saluran irigasi menjadi lebih mudah,” ujar salah satu dari mereka, seorang perempuan berambut coklat.

Lifnes tersenyum sebelum menjawab, “Ini bukan apa-apa kok, aku senang bisa membantu kalian. Omong-omong, kalian berencana menanam apa di sawah ini?”

“Tuan Amers menyuruh kami untuk menanam tanaman yang penting seperti gandum dan tomat, tapi beliau juga meminta kami untuk menanam tanaman yang eksotis dan unik seperti lightfruit dan wonderroots.”

“Lightfruit dan wonderroots? Seingatku itu bukan bahan makanan yang paling enak sih, tapi desa-desa lain jarang menanamnya. Apa dia berniat menjadikan keduanya produk khas daerah ini ya?” Lifnes bertanya-tanya.

“Mungkin saja begitu, Tuan Amers sudah memikirkan banyak hal untuk desa ini.”

“Hmm, dia memang seperti itu sih orangnya. Aku sendiri merasa kita masih harus membuat lumbung di sini untuk persiapan panen nantinya. Dan secara pribadi, aku ingin kita juga mendirikan kuil untuk Dewi Chauntea, biarpun sepertinya itu masih lama untuk bisa diwujudkan.”

“Dewi Chauntea… sang Dewi Pertanian. Kami harap berkah dari Dewi Chauntea bisa memberikan panen yang melimpah. Kami tidak sabar untuk bisa mulai berdagang dengan desa lain,” ujar petani perempuan itu.

Raut wajah Lifnes seperti menyadari sesuatu, “Oh benar juga. Ini pertama kalinya kalian diam di satu tempat dan bertani ya?”

Petani berambut coklat itu mengangguk, “Benar, Nona Lifnes. Sebelumnya kami bergantung pada para pemburu kami sewaktu kami masih nomaden. Selain itu, suku kami selalu berada di tengah-tengah konflik, entah itu perang melawan suku lain atau melawan kerajaan.”

“Tenanglah, sekarang kalian tidak perlu cemas soal itu,” ujar Lifnes sambil tersenyum, “sekarang kalian sudah menjadi bagian dari kerajaan, dan tugas kami untuk melindungi kalian. Sekarang kalian sudah bisa hidup dengan tenang.”

“Anda benar Nona Lifnes, hidup damai seperti inilah yang selalu kami impikan.”

Setelah selesai membantu para petani perempuan, Lifnes berpamitan untuk memantau bagian sawah yang lain.

Tidak begitu lama kemudian, Lifnes sampai di peternakan milik seorang pria paruh baya. Pria itu terlihat sedang memperbaiki pagar yang rusak dengan paku dan palu di tangannya.

Lifnes menghampiri pria itu kemudian bertanya, “Permisi, apakah Anda sedang ada masalah?”

pria itu menoleh ke arahnya lalu menjawab, “Ah Nona Lifnes. Saya baru saja membuat pagar untuk peternakan saya kemarin, tapi pagi ini pagarnya sudah rusak. Mungkin ada babi hutan liar yang tidak tahu kalau di sini ada pagar dan menabraknya dengan keras.”

pagar yang dimaksud oleh pria itu memang terlihat rusak karena serangan hewan, serpihan kayu kecil juga berhamburan di tanah. Pria itu menaruh kayu yang masih bagus di samping serpihan kayu.

“Anda masih belum membuang serpihan kayunya, ya? Serpihan kayu ini masih dari pagar yang lama?” tanya Lifnes.

“Itu benar, Nona Lifnes. Memangnya kenapa?”

“Kalau begitu, saya bisa membantu anda memperbaikinya,” ujar Lifnes sambil mengacungkan tangannya ke pagar yang rusak.

Lifnes merapal sihir, serpihan-serpihan kayu itu bergerak pelan. Perlahan tapi pasti mereka melayang ke pagar yang rusak, menempati ruang yang kosong seolah-olah setiap potong kayu ingat di mana mereka sebelumnya. Sesudah sihirnya selesai, pagar itu sudah menempel kuat lagi seperti baru.

“Oh! Ini sihir yang sangat berguna, terima kasih banyak Nona Lifnes,” ujar pria itu berterima kasih.

Lifnes menjawab sambil tersenyum, “Ini bukan apa-apa. Omong-omong, hewan apa yang Anda ternakkan di sini?”

“Ah, hanya beberapa ekor sapi dan domba. Kalau peternakan ini cuma diserang babi hutan, saya tidak terlalu khawatir. Yang saya cemaskan adalah serigala.”

Mendadak terdengar suara ribut-ribut dari arah barat. Itu adalah arah hutan di luar kota, tempat para penebang kayu menebang pohon,  dan juga hutan tempat para pemburu pergi berburu.

Setelah Lifnes melihat dengan seksama, dia bisa melihat sekelompok orang kembali ke arah desa, dilihat dari senjata yang mereka bawa mereka pasti pemburu. Kemungkinan, mereka adalah rombongan pemburu yang pergi tadi pagi buta. Akan tetapi, terlihat ada sesuatu yang aneh dari rombongan ini.

Salah satu dari mereka menggendong rusa yang mereka buru, tapi yang menarik perhatian Lifnes adalah dua orang pria yang tampak terluka, masing-masing berjalan sambil dibopong oleh seorang lain.

Lifnes langsung bergegas menghampiri rombongan itu, “Apa yang terjadi? Kenapa mereka terluka?”

“Kami diserang monster, Nona Lifnes. Untungnya kami berhasil kabur tapi mereka berdua terluka,” jawab seorang pria yang membopong rekannya.

“Cepat rebahkan mereka di tanah, biar aku obati mereka berdua!” perintah Lifnes dengan tegas.

Para pemburu iru menuruti omongan Lifnes, mereka merebahkan dua orang yang terluka dengan perlahan di atas rumput.

Lifnes memeriksa kondisi mereka sejenak, “Dia terluka meski tidak parah. Sementara orang ini,” Lifnes memeriksa pemburu yang satu lagi, “racun? Dia terkena racun monster. Untungnya bukan jenis racun yang terlalu mematikan. Aku bisa menyembuhkan mereka berdua.”

Lifnes merapal sihirnya sambil menyentuh pemburu yang pertama. Aliran energi sihir mengalir dari dirinya ke pria itu. Luka di tubuhnya menutup dengan cepat, pendarahan pun terhenti.

“Kau sudah sembuh seperti semula, berikutnya orang ini.”

Lifnes lagi-lagi merapal sihirnya, tapi kali ini sihir yang lain. Saat ia menyentuh pemburu yang terkena racun, energi sihirnya mengalir seperti sebelumnya. Hanya saja, kali ini efeknya berbeda. Sihirnya tidak menyembuhkan luka, tapi membuat pucat di wajah pemburu itu hilang.

“Sekarang racun di tubuhmu sudah hilang. Untunglah racunnya tidak terlalu kuat,” Lifnes bersyukur.

Kedua pemburu yang terluka tadi bangkit berdiri, wajah mereka tampak tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

“Luar biasa Nona Lifnes! Kami kira kami harus dibawa ke rumah tabib, tapi sepertinya itu tidak perlu. Terima kasih banyak Nona Lifnes!” ujar salah satu pemburu. Orang itu tetap menghujani Lifnes dengan ucapan terima kasih selama beberapa menit.

Lifnes memberi saran pada mereka untuk tidak pergi terlalu jauh atau ke tempat yang terlalu bahaya. Hutan di sini masih banyak yang belum diexksplorasi, jadi mereka tidak tahu bahaya apa yang bersembunyi di dalamnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status