Share

Bab 10: Hutan, monster, dan kota mati.

Matahari mulai condong ke ufuk barat ketika Arekh dan yang lainnya kembali ke Leheath. Sudah empat hari berlalu sejak mereka pergi menyisir daerah selatan. Para penjaga kota menyambut mereka dengan gembira.

“Selamat datang kembali Tuan Arekh, Tuan Delthras, Nona Lifnes, dan Nona Matahari Pagi. Kami senang kalian semua berhasil kembali dengan selamat,” ujar salah satu penjaga.

Arekh membalas sapaan penjaga itu, “bagaimana dengan desa selama kami pergi? Apa ada masalah?”

Penjaga itu menggelengkan kepala, “tidak ada masalah sama sekali, Tuan Arekh. Kami berhasil menjaga desa dari serangan hewan buas. Hanya saja, ada seorang petualang yang datang dari timur, seorang druid.”

“Oh, jarang sekali ada petualang yang mampir ke desa? Itu jarang sekali terjadi, apa ada masalah dengan druid itu?”

“Tidak ada, Tuan Arekh. Si druid hanya keheranan karena ada desa baru di tempat yang sebelumnya Cuma padang rumput. Dia sempat mengunjungi bar sejenak, tapi tidak membuat masalah.”

“Apa druid itu masih di sini?” tanya Arekh lagi.

“Tidak, Tuan Arekh. Kemarin dia sudah pergi ke hutan di barat, kelihatannya dia memang berniat pergi ke hutan itu.”

“Hmm, aku mengerti. Apa ada hal lain yang perlu kau laporkan?”

Sekali lagi penjaga itu menggeleng, “tidak ada lagi, Tuan Arekh. Hanya itu saja yang ingin saya laporkan.”

Setelah berterimakasih pada penjaga, Arekh dan yang lainnya memasuki desa.

“Malam ini kita beristirahat dulu di desa, besok pagi kita akan menyisir daerah timur,” ujar Arekh.

“Kalau begitu aku ingin memeriksa sawah dan gudang pangan desa dulu. Aku ingin tahu apakah persediaan makanan kita cukup,” Lifnes bertolak ke arah sawah setelah mengatakannya.

“Aku mau ke bar, nya. Mau minum-minum dan main musik sama pendduduk yang lain. Kalau kamu, gimana nya?”

Delthras menoleh sebentar ke Matahari Pagi sebelum menjawab, “maaf beta agak capek jadi beta mau langsung tidur saja.”

“Ah nggak seru,” Matahari Pagi menjulurkan lidahnya ke punggung Delthras yang berjalan pergi.

“Biarkan saja dia, Matahari. Mungkin energi sihirnya sudah habis dan dia ingin beristirahat,” ujar Arekh.

“Hehe. Kalau gitu kamu mau minum di bar bersamaku?”

Arekh menyetujui tawaran itu, “tentu saja. Sudah lama aku tidak bersantai di bar.”

Sementara Arekh dan Matahari Pagi beranjak ke bar, Delthras sedang menyendiri di kamar penginapannya. Cahaya bulan masuk melalui jendela yang terbuka, tapi dia tetap menyalakan lilin di meja kayu di samping jendela. Ia meraih secarik perkamen kulit, tinta hitam dan pena bulu burung. Kemudian dia menulis sesuatu di perkamen itu.

“Seorang druid dari timur singgah ke Leheath. Druid itu pergi ke hutan di barat. Druid itu datang sewaktu beta tidak di desa, jadi tidak banyak informasi yang beta bisa dapat. Ada kemungkinan dia ada hubungannya dengan Talika. Beta akan kabari lagi kalau ada informasi lain.”

Begitulah bunyi surat itu. Setelah selesai menulis suratnya, Delthras melipat surat itu kemudian memasukkannya ke dalam sebuah amplop. Di sisi luar amplop itu tertulis sebuah alamat yang bagi orang lain hanyalah alamat toko di kota terdekat di utara. Tapi bagi mereka yang tahu, itu adalah alamat salah satu persembunyian Harpers.

Keesokan paginya, matahari terbit di langit yang sedikit berawan. Arekh, Lifnes, dan Matahari Pagi sudah siap di gerbang timur untuk pergi menyisir daerah timur dengan tas berisi perbekalan di punggung, tapi satu orang masih belum berkumpul dengan mereka.

Beberapa menit kemudian, Delthras datang ke gerbang timur. Dia sedikit terlambat karena harus menitipkan surat ke Neca, penduduk desa yang sebelumnya pergi berdagang dengan desa lain. Delthras merahasiakan isi asli suratnya dari Neca, hanya bilang kalau dia ingin menghubungi teman dekatnya.

Setelah mendapat omelan kecil dari Matahari Pagi, Delthras kini siap untuk bergabung dengan tim.

Baru sekitar dua jam mereka berjalan ke timur tapi mereka sudah bertemu dengan dua orang bandit yang menghalangi mereka, memaksa meminta koin.

Arekh jelas-jelas menolak, tapi kedua bandit itu langsung menyerang dengan palu mereka. Arekh mengayunkan halberd-nya sebelum salah satu bandit itu sampai terlalu dekat dengannya. Serangannya mampu menghentikan bandit itu, tapi anehnya tidak ada luka di tubuhnya.

Matahari Pagi melancarkan pukulan beruntun ke bandit yang satunya lagi, semua serangannya kena tapi sama seperti bandit yang Arekh lawan, tidak ada luka lebam di bandit yang ini.

“Apa mereka juga tipe musuh yang tidak bisa diserang dengan serangan biasa?” tanya Lifnes.

Kedua bandit itu tertawa terkekeh-kekeh, sesaat kemudian tubuh mereka berubah. Badan bagian atas mereka membesar, merobek baju mereka. Kulit mereka menebal, kepala mereka berubah menjadi kepala babi hutan.

“Wereboar ya,” ujar Delthras setelah menyaksikan kedua bandit itu berubah wujud.

Salah satu wereboar itu mengayunkan palu mereka ke Lifnes. Untung perempuan centaur itu berhasil menahan dengan perisainya.

Tubuh Delthras berpendar cahaya saat dia merapal sihirnya.

“Magic Missile!” teriaknya saat dia menembakkan empat anak panah sihir berwarna biru, dua ke masing-masing wereboar.

Semua serangan itu tepat sasaran, dan kali ini para wereboar tampak terluka. Pertarungan terus berlanjut dengan Matahari Pagi menyerang dengan jurus Tapak Cahaya, Delthras dan Lifnes menyerang dengan sihir, sementara Arekh melindungi rekan-rekannya dari serangan fisik para wereboar.

Setelah pertarungan yang terasa lama, akhirnya kedua wereboar itu tergeletak tak bernyawa di tanah.

Pada siang harinya, mereka beristirahat di bawah sebuah pohon rindang, dan seperti biasa Arekh yang memasak makan siang. Daerah ini mulai dipenuhi dengan pepohonan, walaupun jumlahnya masih sedikit dan tidak bisa disebut sebuah hutan. Mungkin saja mereka mendekati daerah hutan, tapi kalau begitu kenapa tidak ada yang tahu?

Matahari Pagi bercerita kalau dia dengar sewaktu minum-minum di bar tadi malam bahwa para penduduk desa biasanya memang menghindari daerah timur sejak mereka masih nomaden. Semua scout yang dikirim ke daerah ini tidak pernah kembali, jadi mereka tidak tahu pasti bahaya apa yang menunggu di sini.

Sesudah beristirahat siang itu, mereka berempat melanjutkan perjalanan. Cuaca hari ini cerah, dan aroma harum dari ladang bunga yang mereka lewati mewarnai perjalanan. Mendadak mereka mendengar suara yang datang dari atas. Suara burung yang sangat keras. Ketika mereka berempat menengadah, mereka melihat dua ekor burung bangkai terbang di udara.

“Itu burung bangkai raksasa,” ujar Lifnes saat melihat kedua burung itu.

Arekh menoleh ke Lifnes, “apa wajar kedua burung itu ada di sini?”

“Mereka bisa tinggal di hampir semua daerah, tapi lebih menguntungkan bagi mereka untuk berada di dekat predator utama di daerah tertentu. Seperti namanya, mereka memakan bangkai dari sisa buruan predator,” Lifnes menjelaskan.

“Itu berarti di dekat sini ada monster yang jadi predator utama, ya?” tanya Arekh lagi.

“Kemungkinan besar begitu, sebaiknya kita waspada.”

Semakin mereka berjalan ke timur, pepohonan sedikit demi sedikit mulai bertambah lebat hingga mereka sudah sampai di sebuah hutan. Matahari sudah semakin jauh di ufuk barat dan cahaya senja juga sudah mulai susah menembus lebatnya pepohonan membuat Arekh memutuskan untuk beristirahat sejenak.

Baru saja mereka membuat api unggun, mendadak ada sebuah suara besar dari dalam hutan. Suara hewan buas, tapi yang menarik perhatian Arekh dan yang lainnya bukan Cuma suaranya saja.

BUM

BUM

BUM

Tanah terasa bergetar karena langkah kaki hewan itu, dan semakin lama, langkah kakinya semakin dekat.

Akhirnya hewan buas itu menunjukkan sosoknya dari balik pohon. Monster kadal itu tingginya antara empat sampai lima meter, rahangnya besar dan dipenuhi oleh gigi taring yang tajam. Tubuhnya bersisik, ekornya panjang dan dia berdiri dengan dua kaki belakangnya yang besar dan kuat, sementara dua kaki depannya kecil dan terlihat tidak bisa dipakai untuk memburu mangsa.

Tatapan matanya buas dan dia jelas tidak takut dengan hewan atau monster lain di daerah ini. Monster itu mengendus udara, kemudian dia menoleh ke Arekh dan yang lainnya.

“Monster apa ini? Apa dia naga?” tanya Arekh.

“Entahlah, aku juga baru pertama kali melihat monster ini,” jawab Lifnes, “tapi aku yakin dia predator utama di daerah ini.”

“Jadi dia alasannya nggak ada orang yang kembali dari timur, nya?”

“Apa kita harus melawannya? Beta merasa itu bukan ide yang bagus.”

Monster itu meraung dengan suara keras bagai halilintar.

“Sepertinya kita tidak punya pilihan lain, bersiaplah semuanya!” seru Arekh.

Matahari Pagi bergerak lebih dulu, dia menembakkan dua tembakan Tapak Cahaya ke rahang monster itu. Serangannya kena telak, diiringi dengan erangan keras dari si monster.

Delthras merapalkan sihirnya lalu berseru, “Cloud of Daggers!”

Sihir itu men-summon setengah lusin belati di udara tepat di sisi badan monster itu, belati-belati itu berputar-putar di udara dan melukai monster.

Monster itu membuka moncongnya lebar-lebar, mencoba menggigit Matahari Pagi, untungnya Tabaxi perempuan itu cukup gesit untuk menghindar. Setelah itu monster itu mengayunkan ekornya ke Lifnes, dan tenpat mengenainya.

“Lifnes! Kau tidak apa-apa?”

“Jangan khawatir Arekh, ukh... aku masih bisa bertahan.”

Lifnes kemudian merapal Sacred Flame, sebuah api suci turun dari langit dan mengenai si monster kadal.

Arekh bergerak cepat kemudian menebas kaki belakang monster itu.

Pertarungan berlanjut dengan sengit. Kulit monster ini kelihatannya cukup tebal karena bisa menahan serangan-serangan Arekh dan yang lainnya.

Monster itu membuka kembali moncongnya dan berusaha menggigit Delthras, dia berhasil dan Delthras terperangkap di mulut monster kadal itu.

“Delthras!” seru Matahari Pagi.

“Jangan khawatirkan beta,” jawab dragonborn itu.

Delthras kemudian menghembuskan nafas gas hijau ke wajah monster kadal ini, bagian wajah yang terkena gas hijau ini terluka seperti terkena cairan asam. Monster kadal itu bergerak-gerak kesakitan tapi dia masih menggigit Delthras di mulutnya.

Karena sekarang dia menggigit Delthras, monster kadal itu tidak bisa menyerang orang lain dengan gigitan, memudahkan anggota party lainnya untuk bertahan karena mereka Cuma perlu mewaspadai ekornya yang kuat.

Matahari Pagi menyerang dengan Tapak Cahaya, Arekh menyerang kaki belakang kadal itu, sementara Lifnes merapal Sacred Flame. Sayangnya Lifnes harus menyentuh Delthras kalau dia ingin menggunakan sihir penyembuhannya.

“Cloud of Daggers”

Sekali lagi Delthras men-summon setengah lusin belati yang berputar-putar, melukai kadal besar ini. Kali ini, terjadi sesuatu yang aneh setelah Delthras merapal sihirnya. Sebuah kilatan energi warna biru muncul di udara, diikuti oleh beberapa kilatan energi lain.

“Awas, itu Wild Magic! Hati-hati kalian semua, beta sendiri tidak tahu apa efeknya!”

Setelah Delthras berkata begitu, sebuah bola api meluncur keluar dari kilatan energi terakhir, dan bola api itu meluncur tepat ke wajah monster kadal.

DUAR

Sebuah ledakan besar tercipta di wajah monster itu. Setelah asap yang membumbung tinggi menghilang, monster kadal itu sudah tergeletak di tanah, tidak bergerak lagi.

“Delthras!” teriak Matahari Pagi sambil berlari ke arah wajah monster.

Moncong monster itu terbuka dan Delthras tergeletak di samping kepala monster itu. Bajunya terbakar dan sisiknya terlihat retak di bagian yang tadi digigit oleh monster kadal.

“Delthras, kau masih bernafas kan?” Matahari Pagi kemudian menempelkan telinganya ke dada Delthras.

“Masih ada detak jantungnya biarpun lemah, nya.”

“Serahkan padaku untuk menolongnya. Spare the Dying.” Lifnes menyentuh tubuh Delthras saat merapal sihirnya. Energi sihir yang mengalir dari Lifnes mengembalikan kondisi Delthras menjadi stabil.

Setelah itu Lifnes merapal Cure Wounds untuk menyembuhkan luka-luka Delthras. Perlahan-lahan, Delthras membuka matanya.

“Bagaimana perasaanmu, Delthras?” tanya Lifnes.

“Rasanya beta hampir saja tidur panjang... untunglah beta bisa bangun lagi.”

Lifnes menyembuhkan Delthras dengan sihir dan Matahari Pagi membuat obat herbal, sementara itu Arekh menyiapkan makan malam. Menu spesial hari ini adalah daging monster kadal besar.

Keesokan harinya matahari pagi menerangi perkemahan mereka dari sela-sela dedaunan. Arekh memasak daging monster kadal itu untuk sarapan.

Matahari Pagi memberikan obat-obatan herbal pada Delthras. Kondisinya sudah lumayan membaik setelah diobati oleh Lifnes dan Matahari Pagi semalaman, energi sihirnya juga sudah kembali. Asalkan dia tidak terlalu memaksa diri, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Setelah menikmati sarapannya Arekh berjalan mendekati Delthras, “bagaimana Delthras? Apa kau masih bisa melanjutkan perjalanan bersama kami? Atau kau mau kembali lebih dulu ke Leheath?”

Dragonborn itu tersenyum, “kau kira sudah berapa lama beta berpetualang bersamamu? Sudah beberapa kali beta terluka parah tapi masih bisa selamat. Berikutnya, asalkan beta menjaga jarak dengan musuh, beta masih bisa melanjutkan perjalanan.”

Setelah mendengar kata-kata itu, Arekh sudah tidak ada komplain lagi. Mereka semua membereskan kemah mereka dan bersiap melanjutkan perjalanan.

Tidak lama kemudian tiga orang scout dengan pakaian suku nomaden mendatangi Arekh dan yang lainnya. Kelihatannya mereka mendengar raungan keras dan suara pertarungan tadi malam dan memutuskan untuk memeriksa apa yang terjadi di sini. Arekh menjelaskan kalau mereka sudah mengalahkan monster kadal yang mengancam daerah ini, dan sekarang para suku nomaden sudah bisa bepergian ke hutan di timur.

Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada para scout, Arekh dan yang lainnya melanjutkan perjalanan.

Di tengah kabut pagi yang lembut, hutan lebat itu terbangun dengan kehidupan yang berbisik. Sinar matahari menembus tirai dedaunan, menciptakan pola cahaya yang berkelap-kelip di atas lantai hutan yang ditumbuhi lumut. Pohon-pohon tinggi menjulang seperti penjaga yang kokoh, dengan akar-akar mereka yang terpilin kuat di tanah yang subur. Di antara rerimbunan, tanaman merambat dan bunga liar bersaing untuk mendapatkan sinar matahari, sementara semak-semak berduri menyembunyikan rahasia dan makhluk kecil yang bergerak dengan hati-hati.

Di sini, suara-suara hutan bergema; kicauan burung yang merdu menyambut fajar, serangga yang berdengung mencari nektar pagi, dan desis daun yang bergesekan saat hewan-hewan kecil melintas. Seekor rusa dengan mata yang waspada menyesap embun, sementara tupai-tupai lincah melompat dari dahan ke dahan, menyebarkan kegembiraan pagi.

Mereka terus berjalan hingga mencapai sebuah bukaan di tengah hutan, sinar matahari bisa menggapai lantai hutan dengan mudah, sebuah sungai kecil mengalir di situ.

Tiga orang centaur sedang mengambil air di sungai itu dengan ember kayu. Menyadari ada centaur lain di sini, Lifnes langsung mengajak mereka berbicara dalam bahasa Sylvan.

Arekh, Delthras dan Matahari Pagi tidak paham dengan percakapan mereka, tapi dilihat dari gestur tubuh mereka, sepertinya Lifnes menanyakan tentang daerah di sekitar sini. Setelah beberapa saat, Lifnes berpamitan pada para centaur dan kembali ke Arekh dan yang lainnya.

“Daerah di sekitar sini ditinggali makhluk-makhluk sihir seperti peri dan centaur. Kalau tidak hati-hati bisa-bisa kita masuk ke alam mereka secara tidak sengaja. Mereka mengingatkan kita untuk hati-hati karena terkadang ada peri yang nakal dan suka iseng,” Lifnes menjelaskan.

“Aku lihat tadi mereka seperti menjelaskan tentang tempat tertentu, apa yang mereka katakan?” tanya Arekh.

“Aku menanyakan apakah ada dungeon atau semacamnya di sini, mereka menunjukkan arahnya padaku. Kalau kita mengikuti petunjuk mereka, kita bisa sampai nanti sore.”

Arekh terlihat bersemangat mendengarnya, “oke kalau begitu ayo kita cari tempat itu.”

Lifnes memimpin perjalanan mereka mengikuti arahan para centaur. Mereka berjalan melewati pepohonan, bunga-bunga yang tumbuh di lantai hutan, dan sebuah anak sungai kecil.

Matahari sudah mewarnai langit dengan warna senja ketika Arekh dan yang lainnya sampai di tempat yang ditunjukkan oleh para centaur.

Kota mati yang tersembunyi di dalam hutan lebat itu terbentang di hadapan para petualang dengan aura misterius yang memikat. Di tengah-tengah reruntuhan, sebuah piramida batu menjulang tinggi, berdiri sebagai saksi bisu atas kejayaan yang telah lama hilang. Dinding-dindingnya yang dilapisi lumut dan akar-akar pohon yang merambat menunjukkan pertarungan abadi antara buatan manusia dan kekuatan alam.

Jalanan kota itu kini hanya tinggal bayangan dari masa lalu yang ramai, ditumbuhi oleh tanaman liar yang tak terkendali. Pohon-pohon besar telah mengambil alih tempat-tempat yang dulunya adalah pasar dan rumah-rumah penduduk, dengan cabang-cabang mereka yang merekah melintasi apa yang dulu adalah atap-atap. Di sini, suara hewan-hewan hutan menggantikan keramaian suara manusia; burung-burung bernyanyi dari reruntuhan, dan binatang-binatang kecil menjadikan reruntuhan sebagai rumah mereka.

Di tengah kota, piramida itu berdiri gagah, pintu masuknya terbuka lebar seolah mengundang para petualang untuk mengungkap rahasia yang terkubur di dalamnya. Hieroglif yang terukir di batu-batu piramida memberikan petunjuk tentang sejarah dan mitos yang pernah hidup di antara dinding-dinding ini. Sementara matahari terbenam, bayangan piramida memanjang dan menyatu dengan kegelapan yang datang.

“Ini penemuan yang benar-benar luar biasa!” seru Arekh dengan senang, “dengan ini Leheath bisa didatangi banyak petualang.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status