Share

Bab 6

Tiba di tempat parkir, dari kejauhan Delis melihat mobil Lincoln hitam yang paling mewah terparkir tidak jauh darinya.

Asisten juga melihat Delis, dia segera turun dari mobil untuk membukakan pintu kepadanya.

Begitu duduk di dalam mobil, Delis melihat pria di kursi belakang yang mengenakan setelan jas hitam.

Kelven menyebarkan pesona pria dewasanya yang begitu memikat sehingga membuat orang sulit untuk menolak.

Namun, Delis seolah-olah tidak melihatnya dan langsung duduk dengan patuh di sampingnya.

Delis melihat orang di sebelahnya, sepertinya sudah melupakan pertengkaran mereka sebelumnya.

Kelven mengernyit dan terdengar suara lembutnya, “Kamu nggak pergi seminar?”

Kelven tidak melihatnya dari atas panggung.

Delis lebih cantik dari mahasiswa lainnya, tidak peduli di mana pun dia berada, Kelven selalu bisa menemukannya hanya dengan satu pandangan.

Namun, dia tidak melihat Delis di aula kampus hari ini.

Delis memalingkan kepala dan melihat ke luar jendela, sengaja tak melihat ke arah Kelven. Delis menjawab, “Nggak pergi.”

“Kenapa nggak pergi?”

“Orang yang mau cerai denganku pasti nggak mau melihatku.”

“Hm???”

Kelven mengernyit dan tersenyum getir.

Kelven mengangkat tangannya dan merangkul Delis. “Masih marah?”

Delis menjauhkan tangan pria itu. “Pak Kelven, tolong jaga batasan dirimu.”

Kelven terdiam, “ … “

Kenapa wanita kecil ini seperti seekor landak yang penuh dengan duri?

Kelven memaksa untuk meraih tubuhnya, dengan lembut menghiburnya, “Jangan marah lagi, aku bahkan sudah datang menjemputku di kampus.”

Delis sangat berpendirian, dia kembali menjauhkan tangan pria itu dan berbalik membelakanginya. “Datang menjemputku? Kamu datang untuk menghadiri seminar.”

“Lalu, kamu tahu nggak kenapa aku datang menghadiri seminarnya?”

“Mana kutahu.”

“Kalau nggak tahu, jangan asal bicara. Jangan pasang muka datar seperti itu lagi, ayo sini balik dan lihat aku.”

Kelven kehabisan kesabaran.

Sejak kapan Kelven pernah begitu memanjakan orang?

Delis malah semakin tidak menghiraukannya.

Delis masih merasa sangat tak senang, tetapi menghadapi Kelven yang begitu angkuh, terkadang dirinya benar-benar hanya bisa menuruti semua yang dikatakannya.

Delis berbalik sambil menundukkan kepalanya, sangat sedih dan hampir menangis.

Kelven melihat ekspresinya yang begitu menyedihkan, perasaan sayang timbul di hatinya.

Kelven mengangkat tangannya dan merangkulnya ke dalam pelukannya. Dengan lembut menghiburnya, “Sudahlah, lupakan saja yang sudah berlalu. Delisku jangan bersedih lagi.”

“Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya? Kamu bahkan sudah memutuskannya.”

Bahkan mengatakan bahwa pernikahan ini harus berakhir, kenapa sekarang Kelven tiba-tiba begitu lembut?

Apakah Kelven menganggap Delis seperti anak kucing atau anak anjing yang hanya cukup dengan dihibur begitu saja?

“Kalau kamu nggak mau cerai sekarang, kita nggak perlu cerai sekarang. Aku nggak pernah mengatakan bahwa kita harus bercerai sekarang.”

Kelven menggendongnya duduk di atas pangkuannya, menepuk-nepuk punggungnya sambil berkata dengan tak berdaya,

“Delis, jangan menangis lagi. Sudah begitu dewasa masih perlu aku hibur?”

“Siapa yang bilang aku butuh dihibur? Lepaskan aku, aku bisa duduk sendiri.”

Delis bersikeras untuk turun dari pangkuannya.

Ekspresi Kelven tiba-tiba menjadi muram, memeluknya dengan erat. “Jangan buat aku marah.”

Delis melihat pria tua itu. Melihat ekspresi wajahnya yang muram, dia tidak berani lagi melawan.

Akhirnya, dia hanya bisa bersandar di dada pria itu dengan kesal.

Delis menjelaskan kejadian pada hari itu, “Hari itu bukan aku yang mencari masalah dengan perempuan itu, dia yang datang … “

“Kejadian yang sudah berlalu bairlah berlalu, nggak perlu dibahas lagi.”

Kelven memotong pembicaraannya, hanya ingin diam-diam memeluknya dengan lembut.

Delis tidak terima, dia melanjutkan, “Jelas-jelas perempuan itu yang datang ke kampusku dan mencariku … “

“Delis, sudah kubilang jangan bicarakan lagi.”

Dengan tegas dan dingin, Kelven memotongnya lagi.

Delis terdiam, menegakkan tubuhnya dan menatapnya dengan mata terbelalak.

Kelven juga menatapnya dengan wajah yang dingin dan muram.

“Mulai sekarang, kamu nggak boleh mencarinya lagi, apalagi memukulnya. Perceraian denganku nggak ada hubungannya dengan dia. Kalau kamu nggak senang, bisa melampiaskannya padaku.”

Delis terdiam, “ … “

Sepertinya Kelven masih lebih peduli dengan perempuan itu.

Rasa sakit di dada Delis, seperti ada pisau yang menusuk.

Delis melepaskan pria itu dengan marah, duduk di samping dan melihat keluar jendela. Sepanjang perjalanan, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun.

Kelven juga tidak lagi menghiraukannya.

Setelah tiba di rumah, melihat Delis tidak mau turun dari mobil, masih dengan wajah penuh kekesalahannya.

Kelven mencoba mendekat dan menggendongnya.

Delis sangat emosional. Dia menghempas tangan Kelven dan melompat keluar dari mobil dan langsung masuk ke rumah.

Kelven hanya bisa mengikutinya di belakang dengan tak berdaya.

Saat makan malam, hanya mereka berdua di meja makan. Tetapi, Delis tidak mengucapkan sepatah kata pun, dia hanya fokus pada makanannya.

Setelah selesai makan, Delis kembali ke kamarnya, berpura-pura membaca buku.

Kelven juga tidak menghiraukannya, dia pergi ke ruang kerja dan kerja sebentar. Ketika jam sepuluh malam, dia baru masuk ke kamar.

Kelven mandi dan mengenakan handuk, kemudian berdiri di samping tempat tidur. Melihat Delis masih sibuk membaca, dia merangkak ke atas tempat tidur dan mengambil buku dari tangannya.

Delis tahu apa yang ingin dilakukan Kelven.

Dengan mata memerah, Delis bertanya, “Kami menganggapku apa? Hanya sebuah alat untuk mengusir kesepian saja?”

Tadinya Kelven bermaksud untuk menciumnya.

Bagaimanapun, sejak pulang dari perjalanan bisnis, mereka belum pernah berhubungan intim.

Sudah sekitar dua puluh hari.

Namun, ketika mendengar kata-kata perempuan di depannya, Kelven tiba-tiba kehilangan minat.

“Delis, mau sampai kapan kita harus bertengkar seperti ini?”

Jika bukan karena Kelven peduli dan memanjakannya, tidak ada wanita di dunia ini yang berani menunjukkan wajah muram di depannya.

Kesabaran Kelven ada batasnya.

Melihat Kelven marah, Delis semakin sedih.

“Aku hanya mau tanya, bagimu aku ini apa? Istrimu atau bukan? Kalau memang istrimu, kenapa kamu malah mau cerai dan menikahi orang lain?”

“Aku nggak mau ribut samamu, tapi hatiku nggak enak.”

“Kelven, kamu tahu betapa menderitanya aku beberapa hari ini? Pernahkah kamu memikirkan perasaanku?’

Delis tak mengerti, Kelvin bahkan ingin bercerai dengannya, mengapa masih melakukan ini padanya.

Kelven tidak menjawab.

Melihat Delis menangis lagi, perasaan Kelven terasa campur aduk.

Kelven langsung menarik Delis ke dalam pelukannya, lalu mengubah nada bicaranya menjadi lembut,

“Maaf, ini salahku.”

“Aku nggak mau maaf darimu, aku hanya mau kamu menjauh dari wanita itu. Jangan cerai denganku, kita bisa hidup bersama dengan baik.”

Delis tidak tahan dan menangis lagi.

Kesedihan yang telah ditahan selama beberapa hari akhirnya meledak.

Melihat Delis menangis, perasaan Kelven terasa seperti tersayat.

Kelven memeluknya dengan erat dan menghiburnya, “Sudah sudah, kita nggak akan bercerai.”

Delis tampak sedikit terkejut, dia mengangkat kepalanya dan melihatnya dengan mata berkaca-kaca. “Benarkah?”

“Hm.”

Kelven memeluknya dengan erat, perasaannya bercampur aduk.

Tiba-tiba, terdengar suara Bibi Siti dari luar pintu kamar, “Pak Kelven, apakah bapak sudah tidur?

Kelven masih tetap memeluk orang dalam pelukannya, kemudian menolehkan kepalanya ke arah pintu kamar dan menjawab, “Ada apa?”

“Pak Kelven, seorang gadis bernama Herli datang. Dia ada di bawah dan mengatakan ingin bertemu denganmu.”

Kelven mengernyit, tidak mengerti mengapa Herli datang sekarang.

Kelven bersiap untuk berdiri dan mengenakan pakaiannya.

Delis juga tak menyangka bahwa wanita itu begitu tak tahu malu untuk datang lagi.

Tentu saja, yang lebih membuat Delis marah adalah pria di sampingnya ini.

Setelah tahu bahwa wanita itu datang, Kelven langsung melepaskan pelukannya dan hendak turun ke bawah.

Dengan mata memerah, Delis melihat pria yang sedang mengganti pakaian dan bertanya, “Bagaimana rencanamu untuk menghadapinya?”

“Aku akan turun dulu, kamu tidur dulu saja.”

Bagaimana mungkin Delis bisa tertidur.

Delis ingin melihat apa tujuan wanita tak tahu malu itu datang ke sini.

Dan melihat bagaimana Kelven menangani masalah ini.

Kelven mengenakan pakaian rumahan, berdiri tegak dan melangkah menuruni tangga. Saat dia melihat ke arah sofa di ruang tamu, langsung melihat wanita yang duduk di sana.

Herli juga melihatnya.

Herli segera berdiri dan menyambutnya, berpura-pura dengan wajah lembutnya. “Kelven, apakah aku mengganggu waktu istirahatmu?”

Kelven menuruni dua anak tangga lagi dan berdiri di depan Herli. Dia menjawab dengan sedikit datar, “Tidak, kenapa kamu datang jam segini?”

“Tadinya aku sudah tidur jam sembilan, tapi setiap kali aku tertidur, aku selalu bermimpi tentang kecelakaan itu. Aku takut, aku nggak berani tinggal sendirian di rumah, jadi aku datang mencarimu.”

“Kelven, kamu nggak keberatan, ‘kan?”

Dengan wajah yang begitu sedih, Herli menatap pria gagah di depannya. Dia yakin, begitu dia menyebut kecelakaan itu, pria itu tidak akan menolaknya.

Itu adalah hutang Kelven padanya.

Kelven pantas menggunakan seluruh hidupnya untuk menebus kesalahan itu.

“Nggak keberatan.”

Wajah tampan Kelven tak menunjukkan ekspresi apapun. Dia hanya menoleh melihat Bibi Siti dan berkata, “Siapkan kamar tamu untuknya.”

Bibi Siti mengangguk dan pergi.

Kelven melewati Herli dan menuju ruang tamu. Lalu dengan penuh perhatian bertanya, “Perjalanan yang begitu jauh, lapar nggak? Mau makan?”

Melihat bahwa sikap Kelven selalu begitu lembut padanya, Herli tersenyum sambil berjalan mendekat ke arahnya.

“Aku nggak lapar, hanya nggak bisa tidur saja. Bagaimana kalau kita berdua ngobrol saja?”

Herli duduk di sebelah Kelven.

Kelven menuangkan segelas air untuk Herli. Ketika hendak mengatakan sesuatu, tiba-tiba melihat ke arah tangga dan melihat Delis berdiri di sana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status