Share

Bab 13

Kelven tidak ingin membahas kesalahan yang dia lakukan saat masih muda.

Kelven hanya menatap wanita di sebelahnya, ragu sejenak dan mengalihkan topik pembicaraan.

“Sudah, jangan bahas tentang orang lain, cepat makan.”

Melihat Kelven tidak ingin membicarakannya, Delis juga tak menanyakannya lagi.

Akhirnya, Delis hanya diam, menundukkan kepala dan menelan makanannya dengan pahit.

Ada air mata di sudut matanya, tapi Delis berusaha menahannya agak tidak jatuh.

Kelven tidak makan, hanya diam-diam memperhatikan wanita di sebelahnya yang sedang makan.

Delis menoleh melihat Kelven tidak makan, dengan suara sedikit serak dia bertanya, “Kamu nggak makan? Kamu juga terlihat kurusan.”

“Aku nggak lapar.”

Delis memaksanya makan dan mengambilkan sayuran untuknya. “Ayo, makanlah bersamaku.”

Barulah setelah itu, Kelven memaksakan dirinya untuk makan.

Setelah makan, Delis bertanya lagi, “Jadi malam ini kamu juga nggak pulang denganku? Masih pergi menemaninya?”

“Iya.”

Kelven tidak menyangkal.

“Kalau begitu, pergi saja. Nanti aku akan pulang sendiri ke kampus dengan taksi.”

Delis menahan rasa pahit di hatinya dan dengan sedikit memaksa mendesak Kelven untuk pergi.

Delis berbalik dan tidak mau melihatnya. Hatinya sangat sakit dan marah, tetapi dia tidak ingin marah dan bertengkar dengan Kelven.

Kelven adalah orang yang sangat peka, bagaimana mungkin dia tidak tahu perasaan wanita ini.

Kelven memeluknya.

Delis menahan semua amarahnya di dalam hatinya.

Saat Kelven menyentuhnya, Delis langsung menghempaskan tangannya. Kehilangan kendali dan berteriak,

“Bukannya mau menemaninya? Pergilah.”

Ekspresi wajah Kelven tiba-tiba menjadi muram, suaranya terdengar kesal, “Mau bertengkar lagi?”

Delis menjawab dengan keras kepala, “Bukan, aku hanya nggak mau mengganggu waktumu untuk menemani orang lain.”

“Jadi, kalau aku pergi, kamu akan merasa lebih baik?”

“Kalau aku nggak merasa lebih baik, kamu bisa nggak memedulikan wanita itu?”

Delis bertanya balik.

Kelven terdiam.

Tentu saja tidak.

Kelven dengan sabar menjelaskan, “Tunggu sampai Herli pulih, aku pasti nggak akan peduli dengannya lagi.”

“Kenapa kamu selalu bersikap seperti anak kecil? Nggak bisakah kamu mengerti perasaanku?”

Wanita ini selalu ingin bertengkar dengannya. Kesabarannya juga ada batasnya.

“Aku mana ada bersikap seperti anak kecil? Aku memahamimu kok, bukankah aku sudah mengizinkanmu pergi?”

Delis menjawab dengan keras kepala.

Dia merasa tidak senang, apakah dia tak boleh melampiaskan sedikit emosinya?

Kelven benar-benar kehabisan akal pada wanita ini. Dia mengangkat tangannya dan memeluknya. “Sudahlah, jangan ribut lagi. Aku akan menyelesaikan semuanya.”

Delis tidak menjawab, tetapi juga tidak menolak sentuhan Kelven.

Bersandar dalam pelukan Kelven, entah kenapa, seketika Delis merasa ingin menangis.

Akhirnya, air matanya tidak dapat ditahan lagi dan mulai mengalir.

Kelven melihatnya, dia mengernyitkan kening dan hatinya terasa sakit.

Jari-jarinya mengelus lembut air mata di pipi Delis.

“Delis, jangan menangis.”

Delis merasa kesal. “Hatiku sakit, apa salahnya kalau aku menangis sebentar?”

“Hm, kalau begitu menangislah.”

Tidak ada cara lain, hanya bisa membiarkannya menangis dulu.

Namun, tiba-tiba Delis berhenti menangis. Dia mendongakkan kepalanya dan menatap Kelven dengan marah, sambil berkata,

“Aku nggak jadi menangis karena kamu menyuruhku menangis. Aku mau buat kamu kesal.”

Kelven terdiam.

Delis bahkan tahu bagaimana membuat dirinya kesal, sepertinya Delis tidak selemah yang Kelven bayangkan.

“Ayo, aku mengantarmu ke kampus.”

Delis berdiri di tempat. “Pulang ke kampus hanya butuh sepuluh menit lebih. Setelah sepuluh menit, aku sudah nggak bertemu denganmu lagi. Bolehkah aku memelukmu sebentar lagi?”

Kelven menurutinya. Memeluknya dengan erat di dalam ruangan.

Delis dengan lembut memanggil, “Kelven … “

“Ya?”

“Kamu mencintaiku?”

“ … “ Kelven tidak menjawab.

Delis tahu bahwa mendengar kata ‘aku mencintaimu’ dari mulut Kelven adalah hal yang mustahil, kecuali ada keajaiban yang terjadi.

Delis menyerah, dia mengganti pertanyaannya, “Kelven, kalau suatu hari nanti kita punya anak, kamu lebih suka anak laki-laki atau anak perempuan?”

“Suka semuanya.”

“Kalau begitu berikan nama untuk bayi kita. Satu untuk anak laki-laki dan satu lagi untuk anak perempuan. Untuk cadangan saja.”

Kelven menunduk melihat wanita yang bersandar di dadanya, dia mengernyit. “Bayi saja belum ada, untuk apa kasih nama?”

“Sudah kubilang hanya untuk cadangan. Siapa tahu ada nanti?”

“Pas sudah ada bayinya, baru kita kasih nama.”

Delis terdiam.

Apakah dirinya harus memberitahu Kelven sekarang bahwa dirinya sudah hamil?

Tidak lama lagi, Kelven akan menjadi seorang ayah.

“Jangan pikirkan tentang anak. Fokus pada sekolahmu dulu. Kita bisa bicarakan itu nanti.”

Ucap Kelven dengan serius.

Maknanya jelas, Kelven tidak ingin Delis hamil untuknya.

Kelven tahu jelas bahwa dirinya akan menikahi Herli pada akhirnya. Jika Delis hamil untuknya, itu akan merugikan Delis seumur hidup.

“Apa yang kamu katakan?”

Delis mendongak dan menatap pria di depannya.

Kelven menjelaskan padanya, “Maksudku, kamu masih kuliah sekarang, jadi soal anak, bisa dibicarakan ke depannya saja.”

“ … “

Delis terdiam.

Jadi, Kelven tak ingin memiliki anak sekarang?

Tak perlu atau tak mau dirinya yang melahirkan?

Jadi, bagaimana dengan kandungannya saat ini?

Seketika Delis menjadi sedikit bingung. Tangannya memegang perutnya dengan gemetar.

“Ayo, aku antar kamu ke kampus.”

Kelven menggandeng tangan kecilnya, membawanya keluar dari ruangan.

Delis tiba-tiba seperti boneka yang kehilangan semangat. Dia hanya berjalan tanpa tujuan mengikuti Kelven.

Setelah naik mobil, mobil dengan cepat menuju ke Universitas A.

Delis belum sepenuhnya sadar, mobil sudah berhenti di depan gerbang kampusnya.

Di telinganya terdengar suara lembut pria itu, “Sudah sampai.”

Delis baru tersadar. Dia keluar dari mobil seperti orang yang kehilangan semangat.

Kelven tiba-tiba menarik tangan kecilnya dan bertanya, “Kamu baik-baik saja?”

Wajah Delis benar-benar terlihat sangat pucat, Kelven agak khawatir.

Delis dengan bingung menggelengkan kepala. “Aku nggak apa-apa.”

Barulah Kelven melepaskan genggamannya. “Pasti karena sedang ujian akhir-akhir ini. Jangan terlalu stress. Fokuslah pada ujianmu, setelah liburan, aku akan menyempatkan diri membawamu keluar untuk bersantai.”

“Iya.”

Delis turun dari mobil dan berjalan menuju pintu gerbang kampus tanpa menoleh.

Kelven melihat kepergian Delis yang semakin menjauh dari jendela mobil. Setelah beberapa saat, dia akhirnya mengalihkan pandangannya dan memerintah sopir, “Ayo jalan.”

Setelah mobil Kelven berjalan, tidak jauh di belakang, seorang pria berpakaian hitam di dalam sebuah mobil menghubungi Herli.

Herli masih berada di ruang perawatan. Melihat ponsel di mejanya berdering, dia langsung menjawab panggilan itu.

Di balik ponsel, seorang pria berkata,

“Nona, Pak Kelven datang bertemu dengan istri mudanya. Mereka makan di sebuah restoran. Setelah itu, Pak Kelven mengantar istri mudanya kembali ke kampus, lalu pergi.”

Mendengar itu, ekspresi wajah Herli sangat muram.

Kelven mengatakan bahwa dirinya pergi ke kantor karena ada beberapa urusan, ternyata dia pergi menemui Delis.

Jangan-jangan Kelven benar-benar menaruh hati pada wanita itu?

Memikirkan ini, Herli dengan geram memerintah orang dibalik telepon,

“Awasi wanita bersama Delis itu. Kalau kalian bisa mendapatkan foto-foto dia bersama pria lain. Aku akan memberi kalian 20 juta per satu foto.”

Mendengar itu, pria berpakaian hitam itu langsung menjawab dengan semangat,

“Tenang saja Nona, kami pasti bisa mendapatkan foto yang kamu inginkan.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status