Share

Bab 18

Kelven pergi ke lantai atas kembali ke kamarnya dan melihat Delis tengah bersandar di tempat tidur. Dua kaki kecilnya menggangung di samping tempat tidur, mengayunkannya seolah-olah sedang melepaskan kekesalan.

Kelven mendekat dan bertanya, “Marah lagi?”

Delis tidak mengangkat kepala, tetapi dia mengayunkan kakinya beberapa kali, dengan kesal menjawab, “Nggak.”

“Baguslah kalau nggak marah.”

Kelven benar-benar kehilangan kesabaran untuk menghibur satu per satu.

Dia berbalik dan masuk ke ruang ganti untuk mengganti pakaian.

Tidak mendengar suara apa-apa untuk waktu yang lama, Delis perlahan-lahan memiringkan kepalanya untuk mencari Kelven.

Melihatnya di dalam ruang ganti, Delis berdiri dan perlahan mendekat. Delis menyandarkan dirinya di dinding sambil bertanya dengan suara lembut,

“Kamu mau keluar?”

“Iya, pergi ke kantor.”

Gerakan Kelven yang sedang mengikat dasi terhenti sejenak dan melihat ke arah Delis. "Sini."

Delis dengan patuh berjalan mendekat dan berdiri di depan Kelven.

Delis benar-benar pendek, dengan tinggi badannya hanya 160cm ketika mengenakan sepatu. Berdiri di hadapan pria yang bertinggi sekitar 190cm, Delis hanya mencapai bahu pria itu.

Postur tinggi besar pria itu seolah seperti gunung tinggi yang menutupi tubuh kecil Delis.

Kelven malah sengaja mendekatinya dan menunjuk dasi di lehernya. “Bantu aku ikat ini.”

Delis sebelumnya sudah pernah membantu Kelven mengikat dasi.

Delis bahkan belajar dari internet untuk waktu yang cukup lama.

Saat Delis mengangkat kepalanya dan meraih dasi Kelven, gerakannya terlihat lebih mahir.

Kelven menatap wanita kecil di hadapannya, bibir merahnya membuat wajahnya seindah bunga persik.

Terutama matanya, bulat dan hitam pekan seperti sepasang batu permata hitam, bersinar dengan cahaya yang memikat dan menggoda.

Mungkin karena merasa terlalu tinggi, melihat Delis terus menerus mengangkat kepalanya dan tangannya, membuatnya merasa lelah. Dengan penuh pengertian, Kelven membungkuk ke depan untuk mendekatinya.

Ketika Kelven mendekat, Delis terkejut dengan gerakannya yang tiba-tiba.

Seketika, wajah mereka berdua berada begitu dekat, seolah-olah bisa mencium napas ringan satu sama lain.

Delis selalu tahu bahwa pria itu memiliki daya tarik yang memikat.

Daya tarik itu selalu menarik dirinya untuk mendekat setiap saat.

Seperti saat ini, suasananya sudah begitu intim. Jika Delis mempertahankan dirinya, keintiman ini mungkin akan bertahan lebih lama.

Namun, Delis tak dapat mempertahankan dirinya, dia mengangkat dagunya dan mencium bibir Kelven.

Kelven mengernyit.

Kelven hanya berniat membungkuk mendekat, agar wanita ini bisa membantu mengikat dasinya.

Siapa sangka wanita ini …

Menggodanya lagi.

Namun sialnya, setiap kali, dia selalu tidak bisa menolak.

Setelah berciuman mesra dengan Delis, Kelven akhirnya melepaskan Delis.

“Sudah, aku mau pergi kerja dulu.”

Delis juga sudah mengikat dasi Kelven, tapi dia masih tetap memegang erat dasinya, menatapnya dengan tegas dan sambil mengancamnya.

“Kamu adalah punyaku. Sampai kapanpun, nggak boleh ada orang lain di hatimu.”

Kelven menegakkan tubuhnya. Saat menghindari tatapan Delis, senyuman muncul di sudut bibirnya, mempesona dan memikat.

Kelven melangkah keluar dari ruang ganti. “Baik-baik dengan Herli di rumah ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku.”

“Iya~ sampai berjumpa nanti.”

Kelven pergi dan Delis langsung berlari ke jendela, melihat Kelven duduk ke mobil dan meninggalkan halaman. Setelah itu, dia berbalik dengan perasaan kosong dan mulai merapikan lemari pakaiannya.

Saat Delis sedang tengah merapikan pakaian, dia mendengar suara tongkat di depan pintu.

Delis menoleh, melihat Herli meraba-raba masuk ke dalam.

Melihat tidak ada Bibi Siti di belakang Herli, Delis merasa aneh. Bukankah dia tak bisa melihat, bagaimana bisa tahu di mana kamarnya?

Delis tetap diam, diam-diam berusaha untuk menghindari Herli dan pergi.

Siapa sangka ketika berada di samping Herli, Herli langsung bicara.

“Delis, kita perlu bicara.”

Delis menghentikan langkahnya dan menatap Herli. Melihat Herli adalah orang buta, seharusnya tidak bisa melihatnya dan seharusnya tak tahu bahwa dia berada di dalam ruangan.

Jadi, Delis berpura-pura tak mendengar dan terus berjalan keluar.

Namun tiba-tiba, Herli berbalik dan berteriak padanya, “Delis, jangan berpura-pura. Aku tahu kamu ada di dekatku.”

Delis menghentikan langkahnya lagi, menatap Herli dengan penasaran.

Delis berbalik dan berdiri di depan Herli, sengaja membuat wajah jelek untuk mengejeknya, menjulurkan lidahnya dan dengan keras menghantam wajah Herli dengan kepalan tangannya.

Hanya saja tidak mengenai Herli.

Namun, tak peduli apa yang dibuatnya, Herli tetap tidak ada reaksi.

Delis terdiam.

Jangan-jangan benar-benar buta?

Kalau benar-benar buta, kenapa tak dirawat di rumah sakit dan begitu terburu-buru untuk keluar?

Delis juga tak berpura-pura lagi, dia tersenyum dan berkata,

“Hatimu terbuat dari apa sih? Bahkan begitu kejam pada dirimu sendiri. Matamu bahkan menjadi buta, kaki pun patah, kamu nggak sakit?”

Kemarahan Herli telah memuncak dalam hatinya.

Herli menggenggam erat tinjunya, menatap gadis liar di hadapannya, dia sangat ingin menamparnya sekuat mungkin.

Namun saat menyadari bahwa dirinya buta dan tak bisa melihat, dia terpaksa menahannya.

Menahan amarah di dalam hatinya, Herli berkata,

“Delis, pada akhirnya Kelven pasti akan menikahiku. Kalau kamu pergi sekarang, itu akan lebih baik untuk dirimu sendiri.”

Delis tertawa lagi.

“Kamu benar-benar wanita paling tak tahu malu yang pernah aku temui. Kamu nggak pernah bercermin? Kamu nggak tahu seberapa menjijikkannya wajahmu ini?”

“Kamu … “

Herli menjawab dengan marah, “Delis, aku sedang berbicara baik-baik denganmu.”

“Masalahnya aku nggak mau bicara dengan orang rendahan sepertimu. Kalau masih nggak mau pergi, jangan salahkan aku bertindak kasar.”

Herli masih tidak menyerah dan terus berteriak pada Delis,

“Untuk apa begitu keras kepala? Kelven pada akhirnya bukan milikmu. Ambil uangmu dan bersenang-senang di luar selagi masih muda, nggak mau?”

“Kalau kamu mau pergi sendiri, aku bisa memberikan dua puluh miliar untukmu.”

“Cih, lebih baik uangmu disimpan untuk beli peti matimu nanti.”

Delis benar-benar tidak bisa menahan diri lagi. Dia mengangkat kakinya dan menendang Herli. “Kamu benar-benar nggak mau pergi?”

Melihat Delis benar-benar keras kepala, Herli dengan kesal memutuskan untuk pergi dulu.

Baru saja Delis duduk, Ponselnya berdering.

Delis melihatnya, panggilan dari teman sekamarnya, Nadya.

Delis menjawab panggilan dan mendengar suara Nadya, “Delis, kamu sibuk nggak?”

Delis menggelengkan kepala. “Nggak sibuk, kenapa? Kamu sudah sampai rumah?”

“Nggak, aku belum pulang. Aku mencari pekerjaan paruh waktu dan berencana untuk bekerja di sini selama liburan musim panas. Hari ini adalah ulang tahunku, maukah kamu datang dan merayakannya bersamaku?”

Hari ini ulang tahun Nadya?

Delis ingat bahwa ulang tahun Nadya adalah pada bulan oktober dan sekarang bukan bulan oktober.

Dengan ragu, Delis bertanya, “Yakin ulang tahunmu?”

“Bagaimana mungkin aku bohong padamu. Aku kirim lokasinya padamu, datang ke sini, hanya ada kita berdua saja.”

Memikirkan dirinya juga tak punya banyak teman, teman-teman baiknya hanya ketiga teman sekamarnya, jadi Delis menyetujuinya, “Oke.”

Setelah mengakhiri panggilan, Delis pergi ke lantai atas untuk memilih hadiah yang akan dibawah untuk Nadya nanti.
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Putri Apriyani
dasar si herli ber muka dua
goodnovel comment avatar
Noni Noni
kenapa bodoh sgt2?
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Duh Delis jangan mudah percaya siapa tau itu jebakan dari nenek lampir
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status