Share

Bab 16

Bercerai …

Mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Kelven, Delis merasa seperti ribuan panah menembus hatinya, dadanya terasa sakit hingga sulit bernapas.

Hatinya sangat sakit.

Tenggorokannya bahkan tak bisa mengucapkan sepatah katapun.

Tubuhnya melemas, perlahan-lahan dia merunduk dan duduk di lantai. Delis merasa putus asa tanpa tahu harus berbuat apa.

Sekarang Kelven ingin bercerai dengannya. Bagaimana dia akan hidup bersama bayinya ke depannya?

Delis duduk dan menangis, sungguh tidak memiliki keberanian untuk menjawab teleponnya.

Terdengar suara dingin dari Kelven lagi,

“Delis, aku akan memberikan sejumlah uang yang cukup untukmu. Aku juga nggak akan nggak peduli denganmu.”

Delis berusaha mempertahankan kendali emosinya, meskipun air matanya terus mengalir.

Namun, dia menahan diri agar tidak menangis keras, dengan suara yang menyayat hati, dia berkata,

“Kelven … terima kasih sudah menyelamatkanku dulu. Terima kasih atas perhatianmu selama ini, terima kasih sudah memenuhi keinginanku untuk menjadi istrimu.”

“Kelven, aku nggak akan menjadi penghalangmu untuk menikahi orang lain. Kamu begitu hebat, bahkan kalau aku nggak pergi ke kantor catatan sipil, kamu juga seharusnya bisa mengurus perceraiannya, ‘kan?”

“Lagipula, nggak ada yang tahu bahwa kita menikah. Gunakan kekuasaanmu utnuk menghapus catatan pernikahan kita. Untuk uang kompensasinya yang kamu bilang, aku nggak perlu.”

“Kelven, semoga kamu bisa bahagia.”

Usai mengucapkan kata terakhir, Delis menutup teleponnya dan duduk di lantai. Dia tak bisa lagi menahan tangisannya.

Dia merasa tak berguna, bahkan tak mampu mempertahankan Kelven.

Tak bisa memberikan keluarga yang utuh untuk anak mereka.

Pada akhirnya dirinya ditinggalkan oleh dunia ini.

Tidak ada orang tua, satu-satunya keluarganya di hidupnya sudah pergi. Delis harus menjalani kehidupan selanjutnya sendirian.

Tidak, masih ada anak dalam kandungannya.

Dirinya harus hidup dengan baik, tetap kuat, jangan melakukan hal bodoh.

Namun, hatinya benar-benar sangat sakit, seluruh tubuhnya terasa nyeri.

Delis bersujud di lantai, menangis hingga seluruh tubuhnya bergetar.

Di rumah.

Di ruang tamu, Kelven menatap layar ponsel dengan tatapan kosong selama beberapa saat.

Memikirkan kata-kata yang Delis ucapkan padanya di telepon, Kelven merasa seperti ditusuk jarum. Akhirnya dia berdiri, sambil berjalan keluar, dia menelepon asistennya.

“Kirimkan alamat hotel tempat Delis menginap padaku.”

Setelah menerima alamat, Kelven langsung pergi ke hotel sendiri.

Dia meminta kartu di resepsionis dan langsung menuju ke kamar.

Ketika Kelven membuka pintu kamar dan melihat wanita itu bersujud di lantai, dia panik.

Dengan cepat, Kelven memeluk tubuh kecil Delis. Memeluknya dengan erat dan dengan panik memanggil, “Delis, Delis … ”

Delis tersadar dari bengongnya, wajahnya pucat, matanya bengkak merah.

Ketika melihat Kelven, gelombang kesedihan di dalam hatinya mulai terasa kembali.

Delis langsung menjauhkan diri, dengan tatapan kosong menatapnya dan berkata,

“Kamu bawa perjanjian perceraian untuk aku tandatangani? Sini, biar aku tandatangani. Aku nggak akan menghalangimu menikahi orang lain.”

Usai bicara, air mata langsung kembali mengalir di wajah kecilnya itu.

Kelven merasa sangat tidak tega melihat keadaannya.

Kelven mendekat dan memeluknya dengan erat, suaranya terdengar lembut,

“Maaf, ini salahku, karena aku nggak menangani masalahnya dengan baik. Delis, jangan menangis.”

“Aku nggak menangis. Kelven, aku akan tanda tangan, kita bisa bercerai sekarang. Aku janji nggak akan muncul lagi di depanmu, nggak akan mengganggu hubunganmu dengan Herli.”

Delis gemetaran di dalam pelukan Kelven.

Mendengar tangisannya, hati Kelven sangat sakit.

“Aku nggak memintamu menghilang. Sudah kubilang, aku nggak akan membiarkanmu sendirian.”

“Kelven, aku tahu kamu sudah melakukan banyak hal untukku. Aku nggak seharusnya menahanmu lagi, aku akan melepaskanmu.”

Dengan tegas, Delis mendorong pria yang memeluknya dan mencari perjanjian perceraiannya.

“Kelven, berikan perjanjian perceraiannya, aku tanda tangan sekarang juga.”

“Aku nggak bawa, aku nggak tega melihatmu seperti ini.”

Kelven memeluknya lagi, menggendongnya dan mendudukannya di atas kasur. Kelven mencium wajah mungilnya dengan lembut.

Kemudian, ujung hidung Kelven bersentuhan dengan hidung manis Delis, terdengar suara Kelven yang lembut,

“Aku tahu kamu nggak bisa tinggalkan aku. Kalau nggak rela pergi, jangan pergi ya … ”

Delis menggeleng sambil menangis. “Nggak. Kamu bahkan sudah membawa orang itu kembali, bagaimana aku bisa menerimanya.”

Kelven menatapnya dan berkata dengan serius,

“Kamu begitu peduli dengan keberadaannya? Mau tahu mengapa aku begitu terikat dengannya?

Delis berusaha untuk tetap tenang, memandang pria yang dia cintai di hadapannya, sambil menahan rasa sakit di dalam hatinya dan mengangguk.

Delis benar-benar ingin tahu, mengapa Kelven sangat terikat pada Herli.

Kelven menggendongnya dan membiarkannya duduk di pangkuannya. Ujung jarinya dengan lembut mengusap air mata di pipinya, sambil berbicara dengan lembut,

“Dulu aku menabraknya dengan mobil, membuat dia menjadi mandul. Karena itu, aku selalu merasa bersalah dan aku berjanji untuk bertanggung jawab padanya, untuk menikahinya.”

“ … “

“Kemudian, dia pergi ke luar negeri beberapa tahun lalu. Aku pikir dia nggak akan pulang lagi.”

“Tak kusangka, nggak sampai setengah tahu setelah kita menikah, dia pulang. Alasannya ingin membiarkanku memenuhi janjiku yang dulu.”

Kelven mengelus pipi Delis, suaranya menjadi serius, “Menurutmu, apa yang bisa aku lakukan?”

Delis terdiam.

Ternyata begitu.

Tidak heran sebelumnya ketika Kelven ingin memiliki anak dengan dirinya, Herli juga menyetujuinya.

Ternyata karena Herli mandul.

Jadi, apakah dirinya hanyalah alat untuk memiliki anak bagi Kelven?

Dengan agak linglung, Delis bergumam sendiri, “Kamu menyukainya?”

Kali ini, Kelven tidak menghindari pertanyaan ini, dia menjawab, “Sudah kubilang, pernikahanku dengannya nggak ada hubungannya dengan cinta, apalagi suka.”

“Tapi kamu menciumnya kemarin.”

Kelven merasa bingung. “Sejak kapan aku menciumnya?”

Delis menatapnya dan menjawab, “Kemarin, ketika aku masuk ke dalam rumah, aku melihat semuanya.”

“Kamu salah lihat, aku hanya menopangnya.”

Delis tidak berbicara lagi.

Dia juga tidak tahu harus mengatakan apa.

Sepertinya, dari sudut pandang Kelven, dia juga benar-benar sulit.

Kelven memeluknya dengan erat dan berbicara lembut di telinganya,

“Delis, jangan bertengkar denganku lagi ya, tunggu Herli pulih, aku akan menyuruhnya pergi.”

Delis masih tidak berbicara.

Namun, dia ingin memberikan kesempatan lagi pada Kelven

Bagaimanapun, Kelven tidak menyukai Herli. Hanya karena merasa berhutang saja dan mencoba untuk bertanggung jawab.

Delis juga percaya, orang sehebat Kelven, pasti bisa menangani masalah dengan Herli.

“Lapar nggak?”

Melihat orang di dalam pelukannya tidak berbicara, Kelven bertanya dengan perhatian.

Delis menganggukkan kepala, dengan wajah sedih dia menjawab, “Lapar. Aku belum makan apapun dari semalam.”

“Ayo cuci mukamu sekarang, kita pergi makan?”

Delis mengangguk, saat dia hendak berdiri, pria itu tiba-tiba menggendongnya dan membawanya ke kamar mandi.

Delis tidak melawan, secara reflek memeluk leher Kelven seperti biasa.

Kelven meletakkan Delis di atas wastafel, mengambil handuk wajah dan membantunya membersihkan wajah. Kemudian, menyikatkan giginya juga.

Setelah itu, Kelven menggendongnya kembali ke kamar dan menyisirkan rambutnya, bahkan membungkuk untuk membantunya memakai sepatu.

Menatap tindakan Kelven yang lembut dan penuh perhatian, hati Delis sedikit tergerak.

Jadi, pria yang memperlakukanya dengan sebegitu baik, pastinya juga mencintai dirinya.

Jadi, Delis berjanji untuk lebih memahaminya ke depannya.

Berusaha untuk tidak bertengkar lagi dengannya.
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Visitor
Delis gak ada harga diri
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Yahhhhh Delis kenapa harus luluh lagi huwaaaa hik hik hik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status