Share

Bab 10

Setelah makan malam, Kelven mengganti pakaiannya dan bersiap pergi ke rumah sakit.

Delis mengikutinya di belakang, lalu dengan suara pelan berkata,

“Kelven, bolehkah aku ikut denganmu? Tenang saja, aku nggak bakal masuk ke ruangan, aku hanya menunggu di depan pintu saja.”

Delis penasaran, ingin meihat seberapa parah luka wanita itu.

Rasakan itu, salah dia sendiri.

Kelven berbalik dan menatap wanita di depannya, dengan suara rendah dia menjawab,

“Aku mungkin nggak pulang malam ini. Kamu pergi juga nggak ada gunanya. Istirahat saja di rumah.”

“Kamu mau menemaninya semalaman?”

“ … “

Kelven tidak menjawab, tetapi tatapan matanya yang tajam ke arah Delis sudah menjelaskan semuanya.

Tiba-tiba Delis merasa hatinya terasa perih.

Namun, Delis tak lagi membuat keributan. Setelah melihat Kelven pergi, dia duduk sendirian di sofa ruang tamu yang sepi, perasaannya terasa berat seperti ditimpa batu yang besar.

Di rumah sakit.

Ketika Kelven datang, Herli sudah bangun.

Herli sedang duduk di tempat tidur dan memarahi perawat di sampingnya.

“Kalian pergi, bantu aku nyalakan lampunya. Kenapa aku nggak bisa lihat apa-apa? Kenapa?”

Beberapa perawat terpaksa menghindar ketika melihat Herli melemparkan benda ke arah mereka.

Melihat seseorang masuk, para perawat langsung menyapa,

“Pak Kelven, akhirnya kamu datang juga. Nona Herli sangat emosional dan nggak mau kami mendekat. Kami nggak bisa mengganti obatnya.”

Kelven melangkah masuk ke dalam ruangan.

Merasa ada seseorang yang mendekatinya, Herli berteriak lagi,

“Pergi, semuanya pergi. Siapa yang bisa menjelaskan padaku mengapa aku nggak bisa melihat? Mengapa?”

Dia mengira jika terguling dari tangga, paling tidak hanya kehilangan kaki atau tangan.

Namun, dengan begitu, dia bisa menyalahkan Kelven seumur hidup, memastikan bahwa Kelven bisa menemaninya setiap saat.

Yang tidak Herli duga adalah bahwa setelah jatuh, tidak ada sesuatu yang terjadi pada kakinya, hanya patah tulang saja.

Namun, matanya menjadi buta.

Jika dirinya kehilangan penglihatan, bagaimana bisa dia berebut dengan Delis.

Jika dirinya kehilangan penghilangan, bagaimana dia bisa mencari Kelven dan menuntut pertanggungjawaban darinya?

Saat ini, Herli sangat menyesal.

Dia menyesal telah menggunakan cara yang ekstrim untuk mencelakai orang lain. Sekarang, orang lain malah baik-baik saja, sementara dirinya mendapatkan pembalasan yang pantas.

“Herli … “

Terdengar suara rendah seorang pria.

Herli menyadarinya. Dia langsung mengangkat tangannya dan meraba-raba, lalu dengan penuh semangat dia berteriak,

“Kelven? Kelven ya?”

“Iya aku.”

Kelven mendekatinya.

Setelah Herli menyentuh Kelven, dengan panik dia langsung memeluk erat Kelven sambil menangis, seraya berkata,

“Kelven, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku nggak bisa melihat apapun?”

Kelven tidak menghindar, suaranya tetap rendah,

“Dokter bilang kamu buta, tapi itu nggak permanen, bisa sembuh.”

“Apa?”

Herli tiba-tiba kehilangan kendali lagi. Dia memeluk Kelven dengan lebih erat, menangis dengan lebih keras, mencoba membuat dirinya lebih kasihan.

“Kelven, bantu aku. Aku nggak mau setelah kehilangan hak menjadi ibu, sekarang bahkan nggak bisa melihat wajahmu lagi.”

“Kelven, kamu harus membantuku. Tadinya aku hanya mau berbicara dengan baik dengan Delis, hidup dengan damai.”

“Aku nggak menyangka dia akan marah sampai mendorongku dari tangga.”

“Kelven, sepuluh tahun yang lalu kamu menabrakku, aku nggak menyalahkanmu. Tapi sekarang aku buta, ini semua karena Delis. Kami harus membantuku.”

Herli memeluk pinggang Kelven erat-erat dan menangis histeris.

Kelven berdiri tegak di samping tempat tidur, wajahnya tanpa ekspresi.

Kelven mengangkat tangannya dan melepaskan tangan Herli yang memeluk pinggannya. Mencoba menenangkannya, sambil mengatakan,

“Aku pasti akan membantumu. Sekarang tenangkan dirimu dan istirahat dengan baik. Dokter bilang ini nggak permanen, bisa sembuh.”

“Tapi sekarang aku nggak bisa melihat apa-apa, aku sangat takut. Kelven, jangan tinggalkan aku, jangan biarkan aku sendiri.”

“Iya, aku menemanimu.”

Kelven menyadari tanggung jawabnya. Sekarang dia duduk di sebelah Herli, bersedia menghabiskan waktu untuk menemaninya..

Herli bersandar di dalam pelukan pria itu, tangisannya perlahan mereda, tapi dalam hatinya ada sedikit perasaan puas.

Sebenarnya, kehilangan penglihatan juga bagus, dia tetap bisa mempertahankan pria ini.

Herli percaya bahwa setelah banyak menghabiskan waktu bersama Kelven, Kelven akan jatuh cinta padanya.

Vila Keluarga Rosli.

Delis tidak bisa tidur semalaman.

Pada akhirnya, jam tiga subuh, Delis memanggil taksi untuk mengantarnya ke rumah sakit.

Setelah tiba di rumah sakit, hanya dengan bertanya sebentar, dengan mudah dia mengetahui ruangan Herli.

Dengan langkah hati-hati, dia mendekati pintu ruangan. Melihat cahaya menyala di dalam, Delis perlahan membuka pintu dan masuk.

Melewati lorong, Delis menoleh dan melihat di sofa dekat jendela, seorang pria yang terus dia pikirkan sedang duduk. Kelven masih sibuk bekerja dengan laptop di pangkuannya.

Sementara di tempat tidur, Herli tampaknya tertidur.

Merasa ada yang masuk, Kelven mengangkat kepalanya.

Ketika melihat Delis yang masuk, dia mengernyit, menutup laptop dan berdiri berjalan menuju ke arahnya.

Belum sempat Delis berbicara, pria itu sudah mendorongnya keluar dari ruangan.

Berdiri di lorong, pria itu dengan ekspresi agak tidak senang bertanya, “Ini sudah larut malam, untuk apa kamu datang ke sini?”

Delis mengerucutkan bibirnya, menjawab dengan wajah penuh kasihan,

“Aku merindukanmu sampai nggak bisa tidur, jadi aku datang melihatmu. Kelven, kenapa kamu terus menjaganya? Di mana keluarganya?”

“Keluarganya di luar negeri. Dia mungkin harus dirawat inap selama satu dua bulan, karena kehilangan penglihatan. Aku harus menemaninya selama satu dua bulan ini.”

Kelven sudah mengatakannya dengan gadis kecil ini, agak dia tak membuat masalah. Mengapa malah datang tengah malam seperti ini?

Seketika Delis merasa sangat tidak senang. “Jadi, selama dua bulan ini, kamu nggak akan pulang dan tidur di rumah?”

“Lihat kondisi.”

Kelven mengangkat tangannya untuk melihat jam tangan, sudah hampir jam empat pagi. Dia menatap wanita di depannya. “Kamu datang sendiri?”

“Iya.”

“Kenapa nggak panggil sopir untuk mengantarmu. Anak gadis keluar sendirian tengah malam sangat bahaya.”

Delis merasa hangat di hatinya, dia memeluk pria itu dan menatapnya dengan tatapan penuh harapan, “Kamu juga peduli denganku, ‘kan?”

Kelven tidak menjawab dan mendorong Delis menjauh. “Aku minta Mudi untuk mengantarmu pulang.”

Usai bicara, Kelven mengeluarkan ponsel untuk menelepon.

Delis langsung memeluk tangannya dan menggelengkan kepala.

“Aku hanya terlalu merindukanmu sampai nggak bisa tidur. Biarkan aku memelukmu sebentar, setelah itu aku akan naik taksi untuk pulang. Nggak perlu repot-repot panggil asistenmu.”

Delis dengan hati-hati mengambil ponsel dari tangannya, berjinjit dan dua tangan kecilnya mencoba mengaitkan lehernya.

Kelven berpikir bahwa Herli sudah tertidur dan tidak akan bangun dalam waktu singkat.

Tanpa ragu, Kelven menggendong Delis, menggantungkannya di pinggangnya dan menuju ke arah lift.

Sambil berjalan, tak lupa Kelven memberikan sedikit nasihat, “Kamu nggak boleh keluar rumah begitu larut ke depannya.”

“Iya, aku tahu.”

Delis sangat patuh, bersandar di Pundak pria itu. Dengan serakah menikmati rasa aman yang tak tergantikan yang diberikan oleh Kelven.

“Harus patuh, jangan datang ke rumah sakit tanpa izinku.”

“Iya~”

“Nanti kalau Herli sudah pulih, aku akan menyisihkan waktu untuk membawamu liburan.”

Sebagai ganti rugi dari Kelven karena ingin bercerai.

Delis menjawab dengan patuh, “Iya, semua ikut denganmu”

“Hm.”

Kelven memeluk tubuh kecil dan harum Delis, menghentikan taksi di pinggir jalan dan mengantarnya pulang sendiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status