Share

Bab 9

Melihat tatapan dingin dari Kelven, Delis merasa harinya terasa seperti ditusuk jarum.

Jadi, Kelven mengira dirinya yang mendorong Herli?

Konyol.

Pria yang tidur satu ranjang dengannya, malah tak percaya dengan dirinya.

Delis menahan perasaan sedih dalam hatinya, teringat dengan bayi di dalam perutnya, dia turun ke lantai bawah untuk makan.

Sepanjang hari ini, dia tak keluar rumah.

Terus menerus memegang ponsel dan mencari informasi tentang menjaga anak di internet

Di rumah sakit.

Herli dipindahkan dari ruang gawat darurat ke ruang perawatan.

Kelven menemui dokter yang merawat Herli dan bertanya beberapa informasi.

Dokter melaporkan dengan jujur, “Pasien mengalami luka yang serius, terutama di kepala. Ada risiko kehilangan penglihatan dan juga patah tulang kaki kanan. Mungkin harus duduk di kursi roda untuk beberapa waktu.”

Kelven keluar dari ruangan dengan perasaan yang campur aduk, menuju ke arah ruangan Herli.

Dia memang sudah berhutang budi pada Herli dan sekarang malah terjadi masalah di rumahnya. Kelven semakin merasa bersalah.

Kelven berdiri tegak di depan pintu ruangan perawatan Delis. Dia tak ingin masuk, tapi dirinya harus terpaksa masuk.

Di dalam ruangan, Herli masih tertidur pulas di tempat tidur, dengan seorang perawat yang memberinya infus di sebelahnya.

Kelven masuk dan berdiri di ujung tempat tidur, melihat wanita di atas tempat tidur dengan kepala yang dibalut perban, mengenakan ventilator, wajahnya tampak pucat.

Kelven merasa bersalah.

Namun, apa yang bisa dirinya lakukan?

Saat ini, selain menghabiskan waktu untuk menemaninya selama pengobatan, sepertinya tidak ada cara lain.

Tidak tahu berapa lama Herli akan tertidur. Setelah mengatur perawat untuk menjaganya, Kelven pulang ke rumah pada sore hari.

Delis duduk di sofa ruang tamu, menonton televisi sambil terbengong.

Hingga terdengar suara di depan pintu rumah, Delis baru tersadar dan menoleh.

Melihat Kelven sudah pulang, Delis hanya duduk di sana tanpa bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan kosong.

Dengan dingin dia berjalan menuju Delis. Berdiri di depannya dan menatapnya dengan tajam.

“Kamu masih begitu muda, kenapa tindakanmu begitu kejam?”

Delis tidak menjawab.

Melihat tatapan tajam pria tua itu, dengan ekspresi wajah yang tanpa ekspresi dan tatapan yang begitu dingin, Delis merasa sangat sesak.

Bibir Delis gemetar, dia bertanya, “Seburuk itukah aku dimatamu?”

“Aku melihatnya sendiri,” ujar Kelven dengan dingin.

Delis tertawa dingin, dia berhadapan dengan Kelven dengan tidak puas. “Apa yang sudah kamu lihat? Apa kamu melihatku mendorongnya?”

“Kamu masih mau mencari alasan?”

“Aku nggak mendorongnya. Aku hanya memegang sapu, aku mencoba mengusirnya, tapi aku nggak menyentuhnya.”

“Delis.”

Kelven dengan tegas memarahinya, “Meskipun kamu tidak menyentuhnya, dia jatuh dari tangga karenamu. Luka diwajahnya juga karenamu, ‘kan?”

“ … “

Delis tahu bahwa di hadapan pria ini, dirinya selalu berada dalam posisi yang lemah.

Semua perkataan Kelven itu mutlak.

Delis tidak ingin berdebat lebih lanjut, juga tidak menyangkal fakta bahwa dia yang memukul Herli.

“Benar, aku memukul wajahnya.”

"Kenapa kamu bisa menjadi begitu semena-mena?"

Dengan marah, Kelven berkata, “Kalau kamu begitu nggak patuh, aku rasa perceraian kita … “

Kelven ingin mengatakan bahwa segera bercerai.

Namun belum selesai dia berbicara, die melihat mata Delis yang dipenuhi air mata.

Detik berikutnya, air matanya turun dari pipinya.

Butiran air mata yang bersih dan jernih, seketika menusuk hati Kelven.

Kelven mengernyit, tidak tega untuk mengucapkan kata-kata kasar yang lebih lanjut.

Dekus menundukkan kepalanya, perasaan pedih di dadanya membuatnya sulit untuk bernapas.

“Kamu mau bercerai denganku?”

Delis bertanya dengan terbata-bata.

Meskipun tak senang, melihat wajahnya yang begitu menyedihkan, Kelven juga tak tega membiarkan Delis pergi sendirian.

Kelven mendekat dan memeluknya.

“Sudah, jangan menangis.”

“Aku nggak menangis. Kamu bisa melakukan apa yang kamu mau. Aku akan patuh, nurut padamu.”

Delis berusaha untuk tidak menangis, mencoba untuk tetap kuat.

Namun, air matanya tidak bisa dihentikan.

Hatinya sangat sakit, dia tidak bisa menahannya.

Kelven merasakan tubuh kecilnya bergetar.

Seharusnya Kelven memarahinya, tetapi saat ini, dia hanya menghiburnya,

“Delis, sudah jangan menangis. Aku bahkan belum melakukan apapun padamu.”

“Huhuhu … kalau begitu, apa yang mau kamu lakukan? Kalau mau cerai, cerai saja. Aku bisa kembali ke mana aku berasal.”

Delis juga cukup berpendirian.

Bagaimanapun, dirinya sudah berusaha dan berjuang untuk pernikahan ini.

Jika benar-benar tidak bisa mempertahankannya, dia juga tidak punya pilihan.

“Siapa yang menyuruhmu pergi? Tanpa izinku, kamu nggak boleh pergi ke mana pun.”

Kelven membungkuk dan mengambil tisu dari meja, dengan lembut mengusap air mata di pipi Delis.

Entah kenapa, ketika wanita kecil ini menangis, hati Kelven merasa sangat tidak nyaman.

Delis menghisap hidungnya, berhenti menangis.

Namun, dalam hatinya masih merasa sangat sedih. Dia menatap Kelven dan berkata, “Aku benar-benar nggak mendorongnya.”

Kelven duduk di sebelahnya dan berkata dengan serius, “Sekarang bukan masalah apakah kamu mendorongnya atau nggak. Dia terluka di sini, kita harus bertanggung jawab.”

Kelven melihat wanita kecil di sebelahnya dan melanjutkan, “Keadaannya sangat tidak baik. Aku akan sering pergi ke rumah sakit untuk menjaganya beberapa hari ini.”

Delis menunduk dan tidak menjawab.

Kelven mengangkat tangannya dan mengusap lembut kepalanya. Suaranya menjadi lembut, “Delis, kamu harus patuh, jangan membuatku sulit lagi, ya?”

“Bukankah aku selalu sangat nurut padamu? Tapi aku benar-benar nggak bisa menerima keberadaan Herli.”

“Tapi sekarang dia terluka di sini, kita harus bertanggung jawab padanya.”

“Bisakah kamu berjanji padaku, setelah dia sembuh, kamu tidak akan berhubungan dengannya lagi?”

Kelven juga tak tahu kapan Herli akan sembuh.

Dia hanya bisa menyetujui sementara permintaan orang di sampingnya. “Hm.”

Delis melihat Kelven menyetujuinya. Seperti kebiasaannya, Delis merangkak ke tubuh Kelven.

Kelven juga seperti biasa, menggendongnya.

Tidak jauh dari sana, Bibi Siti mengingatkan, “Pak Kelven, Nona Delis sudah waktunya makan.”

Delis menepuk punggung Delis dengan lembut. Lalu dengan lembut berkata, “Ayo turun, pergi makan dulu.”

Delis menolak dengan manja, “Nggak mau, nggak bisa makan.”

“Hei.”

“Kamu gendong aku ke sana.”

Kelven tak berdaya, hanya bisa menggendongnya pergi ke meja makan.

Bahkan sudah sampai di meja makan, Delis masih tak mau turun dari tubuh pria itu.

Delis selalu merasa ada daya tarik dari tubuh Kelven, begitu dirinya mendekat, sudah tak rela meninggalkannya.

Kelven pasrah dan akhirnya membiarkannya duduk di pangkuannya. Sambil makan, sambil menyuapnya.

Dengan kedua matanya yang bengkak merah, wajahnya tampak begitu menyedihkan, menambah sentuhan kelucuan di wajahnya yang membuat orang tersentuh.

Kelven selalu membiarkannya melakukan apapun yang dia mau dan selalu memanjakannya.

“Sudah umur berapa kamu?”

Sambil menyuapnya, Kelven tersenyum dan bertanya.

Wajah Delis memerah dan dengan pipi yang bulat mengembung, dia diam tanpa berbicara.

Kelven melanjutkan, “Anak kecil saja nggak selengket ini.”

Delis menundukkan kepalanya, kepedihan di hatinya perlahan-lahan menghilang, digantikan dengan kehangatan.
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Visitor
Delis bear2 bodoh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status