Share

Once then Forever
Once then Forever
Penulis: Sinda

Bab 1

Sore itu tak begitu mendung, tapi Sera sudah menggigil sedari tadi, sejak menginjakkan kaki di teras rumah Rio. Berulang kali ia memejam, menggigit kuku ibu jari sembari menelisik ulang keputusan besar yang akan diambil hari ini.

Hidup itu soal pilihan. Namun, tak pernah disangka bahwa pilihan yang diberikan padanya amat buruk. Tak satu pun menguntungkan. Entah nasib yang memang terlalu sial, atau ini memang hukuman yang harus diterima karena sudah bersikap kurang ajar sebelum ini.

Ditendang ke jalanan atau melompat ke kubangan dosa.

"Maaf, Sera. Kamu udah lama?"

Suara Rio yang baru keluar dari rumah membuat degub jantung semakin tidak karuan. Wajah pias gadis itu mendongak, sama sekali tak bisa memberikan senyuman sebagai balas ucapan tadi.

"Kenapa? Ada hal penting apa sampai-sampai kamu datang ke rumahku?" Rio bertanya penuh antisipasi. Mereka memang berteman saat SMA, tetapi tidak sedekat itu hingga datang ke rumah adalah hal lazim yang bisa Sera lakukan. Terlebih lagi, Rio tahu bahwa semua orang termasuk teman sekolah dulu menjauhinya karena tahu pekerjaan kotor apa yang ia geluti.

"A--Aku butuh kerjaan, Ri," cicit Sera. Kehilangan muka. Rasanya seperti lumpur dari semua kotoran hewan sudah tertempel di wajah. Sera ingin mati saja, tapi tak bisa melakukannya.

Alis Rio menukik tajam. Pekerjaan? Ia berusaha tertawa, mengingatkan Sera tentang statusnya sebagai penyedia pekerjaan bagi perempuan-perempuan putus asa.

"Jangan bercanda, Sera. Kalau ini beneran, aku bisa kena serangan jantung dengar kamu ngomong gini." Rio mengenyahkan asumsi yang muncul saat melihat tatapan kosong gadis di depannya. Tidak mungkin pekerjaan yang itu maksud Sera. Lelaki ini masih ingat betul perempuan seperti apa Sera dulu. Sopan, nyaris tak pernah dilihat bersama seorang laki-laki.

Berkedip cepat demi menjernihkan penglihatan dari embun yang mulai menumpuk di mata, Sera meremas kesepuluh jemari. Membasahi tenggorokan, ia berucap, "Aku butuh uang, Ri. Tolong kasih aku kerjaan, kalau bisa hari ini juga."

Ingin sekali Sera memaki siapa dan apa saja. Sungguh hidup yang tidak beruntung. Sebelumnya punya pekerjaan yang bergaji tidak seberapa, dipecat pula. Jatuh tertimpa tangga, pemilik rumah tempat keluarganya tinggal mengharuskan mereka meninggalkan rumah paling lambat tiga hari lagi. Alasannya masuk akal. Keluarga Sera selalu tak mampu membayar sewa tepat waktu.

Tak punya tabungan, keadaan keluarga juga sedang kacau, Sera tak tahan melihat ibunya luntang-lantung, pergi ke sana kemari mencari rumah sewaan yang bisa ditempati dahulu baru dibayar atau menemui rentenir yang sudih meminjamkan uang. Gadis ini nekat memanfaatkan satu-satunya yang tersisa pada dirinya.

Sera tahu ini salah. Tak perlu Rio ingatkan berkali-kali pun ia paham ini dosa. Namun, apa dengan tetap menjaga kesucian, keluarganya bisa dicegah menjadi gelandangan? Sera sangat yakin, jika tidak nekat melakukan ini, maka ibu dan adik-adiknya akan tidur di jalanan.

"Kamu yakin, Sera? Maaf. Aku benar-benar lagi enggak bisa bantu. Kemarin, baru aja bayar biaya operasi ibu." Rio berucap sungguh. Kerutan di dahinya tampak dalam.

Sera mengangguk. "Tolong aku, Ri. Kalau bisa, transaksinya malam ini dan aku dibayar pakai uang tunai." Satu sisi ingin menampar mulut, satu sisi Sera ingin berteriak minta tolong.

Rio menghela napas. Pria itu mengeluarkan ponsel, mulai mengetuk-ngetukkan jemari ke atas layar. "Janji, ya, Se. Kali ini aja. Cukup satu kali," ucapnya setengah meminta.

Rio kenal siapa Sera. Perempuan baik itu pasti tak akan sanggup menahan beban moral yang tercipta jika memutuskan menekuni pekerjaan berani ini.

Senyum kecil tanda terima kasih Sera tunjukkan. Meski senyum itu tak sampai ke matanya yang mulai berkaca-kaca. Sera ingin Rio tahu bahwa ia sangat berterima kasih.

Sudah diputuskan. Hari ini Sera akan menjual harga diri dan dirinya.

***

"Penasaran. Enggak mau jadi yang buka segel, kenapa? Enggak sanggup atau gimana?"

Pertanyaan bernada ejekan juga tawa yang menggema dibalas lirikan datar oleh Dimitri. Bukan masalah, hanya ledekan dari teman-teman, tak perlu diambil pusing. Toh, kedatangannya ke bar ini adalah untuk melepas penat, bukan menambah masalah.

"Kenapa, sih, Dim? Kasih alasan gitu biar kita-kita paham." Romi merangkul bahu pria tegap di sampingnya. Berusaha membujuk dan mengorek jawaban.

Menenggak minuman berwarna cokelat pucat dari gelas, pria dengan kemeja maroon yang lengannya digulung itu menjauhkan tangan Romi dari pundak. Dijelaskan pun, mana ada yang akan paham. Prinsip itu adalah sesuatu yang seseorang yakini, bukan sesuatu yang harus dimengerti dan dipahami oang lain.

Berusia 33 tahun dengan tuntutan segera menikah setiap saat dari ibu, Dimitri memegang satu keyakinan. Nanti, saat ia menemukan seorang perempuan yang masih terjaga kesuciannya dan berhasil menarik perhatian, barulah ia akan menikah sekaligus memecahkan rekor sebagai pria yang tidak pernah tidur dengan gadis perawan.

Pacaran lebih dari dua puluh kali, tak pernah sekali pun Dimitri memiliki kekasih yang masih gadis. Semuanya selalu sudah berpengalaman dalam hal ranjang. Hal ini membuat bertanya-tanya. Apa masih ada gadis yang tetap menjaga kehormatannya di zaman ini?

Meski bukan pria baik-baik, bahkan bisa disebut lumayan nakal, Dimitri masihlah manusia yang egois. Berharap mendapatkan seorang istri baik dan terhormat dalam karakter yang salah satu indikatornya adalah belum pernah dijamah laki-laki.

Lelaki itu sudah berjanji. Jika menemukan pacar yang seperti itu, maka apa pun yang terjadi, ia akan menikahinya. Jika menemukan penyedia jasa layanan ranjang yang masih gadis, bisa rumit masalahnya. Mau tak mau ia harus menikahi orang itu. Karenanya, Dimitri berusaha mengelak dari semua perempuan perawan yang ada di lingkungan bar.

"Rio ngubungin barusan." Romi bicara setelah meletakkan ponsel. "Ada yang mau transaksi, tidak?"

Berniat menghindari teman-teman yang terus-terusan memaksa ia memberi penjelasan, Dimitri mengangkat tangan. Pria itu beranjak dari duduk, kemudian pamit untuk bertemu Rio. Tampaknya, malam ini ia perlu mencari kesenangan yang lebih dari sekadar alkohol.

Menutup pintu mobil dari dalam dengan satu tangan menempelkan ponsel ke telinga, Dimitri menaikkan kedua alis. Ucapan Rio barusan membuatnya cukup takjub. Pasalnya, calo jasa  itu meminta tolong padanya agar menyetujui tawaran satu ini.

"Kenapa? Kenapa harus aku?" Dimitri memindahkan posisi ponsel ke telinga kiri. Seharusnya memakai seat belt, ia mengurungkan niat dan memilih fokus pada obrolan.

"Kurasa, cuman kamu yang waras dari semua laki-laki yang pernah transaksi sama aku."

Setengah frustrasi Rio membujuk calon pelanggannya. Rio tahu semua laki-laki temannya Dimitri yang sering memakai jasanya sebagai penyedia 'jasa' sedikit tidak waras. Ada yang kasar bahkan menyimpang. Dimitri adalah satu-satunya yang dinilai masih memiliki akal sehat dan normal. Juga selalu mementingkan keamanan.

"Berapa?" Dimitri mulai penasaran.

"Delapan puluh, tunai."

Dimitri menyeringai. Tampaknya yang satu ini memang bukan biasa-biasa saja. Pertama, Rio meminta tolong padanya. Kedua, harga yang diberi juga lumayan fantastis.

Penasaran secara tiba-tiba, Dimitri langsung menyetujui. Dengan satu syarat, tempat transaksi adalah rumahnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Juniarth
bagus ceritanya. keren.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status