Share

Bab 5

Mengubah posisi tidur, Sera yang kedinginan menekuk kaki, meringkuk berusaha mencari rasa hangat. Setengah sadar, ia membuka mata kemudian memejam lagi. Sebuah bau aneh masuk ke hidung, ia mengikuti insting. Menggeliat seperti ulat ke arah depan, kemudian berhenti saat hidung sudah dipenuhi bau yang dicari. 

Sera sudah hampir terlelap lagi kala sentuhan di pipi datang tiba-tiba. Membuka mata, jemari di pipi tadi membawa wajahnya untuk mendongak. Berkedip beberapa kali, perempuan itu menautkan alis. Mencerna keadaan yang ada sebentar, lalu menurunkan pandangan. 

"Maaf," lirihnya. Perlahan bergeser menjauh. "Boleh saya pinjam selimut ini?" Tidak diberi jawaban, tapi lelaki itu beranjak turun dari tempat tidur. Sera menganggap itu sebagai persetujuan. 

Duduk di tepi, ia melilitkan selimut ke tubuh. Kedua mata dibawa mengitari ruangan, cemas mulai datang saat didapati jarum jam hampir di angka sepuluh. Membasahi tenggorokan suaranya mulai keluar. 

"Maaf. Tapi, bisakah saya pergi sekarang?" 

Sudah memakai celana pendeknya, Dimitri terdiam di tepian ranjang. Wajah sepenuhnya mengarah pada perempuan yang memunggungi. Sungguh reaksi yang diluar dugaan. Tak ada tangis atau ratap penuh drama. Padahal, tadi itu Sera tanpa sangat tertekan dan terpaksa di awal kegiatan mereka. 

Dimitri menjelaskan. Bukan masalah jika Sera ingin pergi bahkan sebelum malam berakhir. Namun, uang sejumlah seratus juta itu tak ia miliki. "Berikan saja nomor rekeningmu. Akan kukirim sekarang juga." 

Sera menggeleng. Menggaruk kening, otaknya mulai bekerja. "Bisakah kamu memberiku tiga juta dulu? Sisanya ... akan saya ambil besok." Harusnya bisa meminta bantuan Rio, tapi temannya itu menolak ikut campur. Rio hanya ingin sebatas mengenalkan Sera dengan Dimitri. Soal pembayaran, lelaki itu tak ingin ikut campur. Mengambil komisi saja tidak. 

"Akan kuambil." Dimitri berdiri. Langkahnya yang hendak keluar dari kamar terhenti saat Sera kembali bersuara. Perempuan itu meringis dalam posisi setengah berdiri, satu tangan bertumpu pada tempat tidur. 

Dia ragu bertanya, jadi terus menatapi. 

"Boleh saya pakai kamar mandi?" 

Satu alis tebal pria itu menukik. Sudah tidak lagi memunggungi, tapi Sera masih tak menunjukkan wajah. Perempuan dengan selimut yang melilit tubuh itu terus menunduk. Seolah enggan bertukar tatap.  Dimitri yakin Sera sedang menahan sakit, sebab tangannya menggenggam selimut sangat erat. 

"Kalau ingin, kamu bisa ambil makanan di dapur." Tak diberi jawaban, Dimitri berlalu dari sana. 

*** 

Usai mandi, Sera menatapi pantulan dirinya di cermin. Mual mendadak muncul. Jijik pada diri sendiri, tapi juga ingin menjerit meratapi dan mengasihani diri. Air mata tanpa sadar jatuh. Buru-buru dihapus. Tak ada waktu untuk menangis. Ibunya di rumah pasti cemas. 

Ini bukan saatnya menangis dan memandang diri sebagai korban. Ini saatnya memutar otak, mencari asalan yang tepat untuk memberikan uang tiga juta tadi pada ibunya tanpa membuat curiga. 

Dimitri tak kunjung datang, Sera putuskan keluar dari kamar itu. Menuruni tangga, ia melihat si empunya rumah ada di ruang tamu. Tak sanggup Sera membalas tatapan tajam yang dilempar, ia memilih memandangi anak tangga di bawah kaki. Sebisa mungkin mempercepat langkah. 

Baru saja berdiri di dekat meja, Sera melihat lelaki tadi menggeser tumpukan uang di meja ke pinggir. Kaki Sera lemas saat mengambilnya dari sana. Resmi sudah ia menjual diri. Hati kembali dikuatkan. Dianggapnya ini sebagai pengorbanan untuk sesuatu yang baik. 

Mengingkari kesalahan. 

"Terima kasih. Saya permisi dulu." Undur diri, Sera menggigit bibirnya yang bergetar. 

Murah. Gampang. Tidak beradab. Sungguh memalukan. Aib. Kotor. Menjijikan. 

Semua kata itu berdenging nyaring di telinga. Mengiringi langkah Sera meninggalkan rumah mewah itu.

Sera sudah melewati pintu, Dimitri melangkah mendekat pada jendela. Menarik gorden, dilihatnya perempuan tadi sudah sampai di depan pagar, di samping sepeda motor milik Rio. Sebuah pemandangan yang mengusik langsung menyapanya. 

Sera berjongkok, kedua bahunya tampak bergetar. Di depannya, Rio yang memasang raut sedih menepuk-nepuk bahu si perempuan. 

Perempuan itu menangis. Namun, tidak di hadapannya. Kenapa? 

Tadinya menampilkan raut datar, kali ini Dimitri menatap sengit ke sana. Rio sedang memakaikan helm pada Sera. Membantu perempuan itu naik ke sepeda motor dengan hati-hati. Pemandangan yang menghasilkan rasa tak nyaman karena ... entah. Dimitri tak paham. 

Kasar, ditutupnya gorden jendela kaca tadi. Terserah. Urusannya dan Sera sudah selesai. Sungguh bodoh mengintip perempuan itu seperi tadi. 

*** 

Turun dari sepeda motor, Sera mengusapi wajah kasar. Jangan sampai ada jejak air mata yang bisa dilihat ibu dan adik-adiknya. Pamit pada Rio, perempuan itu melangkah masuk. 

Jantung berpacu cepat. Dibarengi rasa nyeri, seluruh tubuh Sera lemas. Ingin sekali segera melempar diri ke kasur, lalu tidak bangun lagi. 

"Kamu dari mana saja, Sera?" Tina yang akhirnya diliputi lega memukul lengan putrinya. 

Mencoba tersenyum, Sera mengajak ibunya duduk di lantai. Perempuan itu keluarkan uang dari saku kaus. Bisa Sera lihat Tina, Hares dan Theo membelalakkan mata. 

Kakaknya Rio. Sera menumbalkan tokoh fiktif itu sebagai sumber uang yang ia bawa. Ria, kakaknya Rio itu berbaik hati meminjamkan uang tersebut. Menolong mereka agar bisa pindah. 

Rasanya Sera ingin menusukkan pisau ke dada saat Tina menangis haru. Adik-adiknya tersenyum bersemangat karena tahu tak akan berakhir di jalanan. 

Keluarganya menatapnya bak seorang pahlawan, tapi Sera amat membenci dirinya. Hina sekali cara yang dipakai untuk membantu ibu dan adik-adik. Menjual harga diri, berbohong pula.

"Besok Hares yang nemenin Ibu nyari kontrakan baru." 

Tina mengangguk, tersenyum tulus pada Sera. 

Sera ikut-ikutan melengkungkan bibir, meski sesuatu di pelupuk matanya nyaris tumpah. Air mata penyesalan. Sera menyesal karena harus melakukan sesuatu yang menjijikkan agar bisa menolong dan memperjuangkan hidup. 

Pamit ke kamar, tubuhnya jatuh terduduk di balik pintu. Suara-suara penuh semangat dan bahagia ibu dan adik-adiknya di luar sana membuat rasa bersalah semakin menjadi. Perempuan itu menjambak rambut, mengatai diri menjijikkan berulang kali. 

Di saat seperti ini, Sera ingin ada seseorang yang bisa mengucapkan kalimat itu. Kalimat berisi pembelaan atas perbuatannya ini. 

Tak apa. Yang kamu lakukan memang salah, tapi tujuanmu melakukannya bisa menyelamatkanmu dari kesalahan itu. Caramu salah, tapi tujuanmu baik. 

Ingin sekali Sera mendengar kalimat itu. Dia butuh  pembenaran. Dia butuh alasan mengelak. Namun, satu sisi diri bertanya. Benarkah ada hal seperti itu? Sekalipun untuk sesuatu yang baik, benarkah cara yang salah bisa dimaafkan? 

Pikirannya bercabang lagi. Saat ini, tak ada satu pun hal baik yang dimiliki lagi. Semua yang melekat padanya adalah keburukan. Lalu, masih pantaskah mengharapkan sesuatu yang baik setelah ini? 

Masa depan yang lebih baik. Adakah itu untuk Sera?  

Dulu sekali, Sera punya impian sederhana. Perempuan ini ingin sekali merasakan apa itu jatuh cinta. Dia penasaran dengan cerita-cerita orang yang berkata jatuh cinta bisa membuat jantungmu berdegup manis dan jutaan kupu-kupu berterbangan di perut. 

Jatuh cinta dan memiliki toko buku sendiri. Sungguh impian Sera hanya sesederhana itu. Namun, saat ini, agaknya tak akan ada yang bisa terjadi. Semua sudah tak mungkin. 

Larut dengan pikiran, Sera menangis dalam diam. Pandangan matanya kosong. Di dada hanya hampa dan sesal yang berkecamuk. Pikiran negatif mulai berdatangan. 

Bagaimana jika hal yang sudah dilakukannya ketahuan oleh ibu dan adik-adiknya. Bagaimana bila orang-orang tahu. Dia akan jadi cemoohan, keluarganya akan ikut menanggung malu. Belum lagi bila hal ini sampai diketahui pihak berwajib. Bukan hanya dirinya, Rio juga akan ikut terseret. 

Sera menggeleng cepat. Apa pun yang terjadi, dia harus tutup mulut. Perempuan itu meyakinkan diri, sampai satu hal buruk lain mampir di terkaan. 

Bagaimana bila perbuatannya hari ini meninggalkan hasil. Bagaimana jika dia ... hamil. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status