Share

Bab 4

"Tolong, Dim. Sebisa mungkin jangan kasar apalagi sampai aneh-aneh."

Baru saja menanggalkan kemeja, Dimitri menghela napas sebagai reaksi atas ucapan Rio di seberang sana. Lelaki ini penasaran mengapa Rio harus segila ini memberinya peringatan, tetapi juga gerah karena Rio terus mengulang kalimat yang maksudnya sama. Dia harus memperlakukan perempuan yang dikirim nanti dengan baik.

"Orangnya aja belum nyampe, Ri,"

"Dia udah masuk ke rumahmu. Aku enggak berani ikut masuk. Nanti aku jemput. Aku titip, ya, Dim."

Sambungan diputus, Dimitri melempar ponsel ke sofa di belakang. Aneh sekali hari ini. Setelah harus mengusir Mirna dan Dante yang datang tanpa pemberitahuan, masih saja harus menghadapi Rio yang tumben menjadi super cerewet dan banyak aturan. Rasanya ingin sekali cepat-cepat mandi, meluruhkan penat. Namun, ketukan di pintu memaksa harus kembali mengenakan kemeja.

"Ada yang ingin bertemu, Tuan." Bi Ima, asisten rumah tangga itu menunjuk seorang gadis di belakangnya, kemudian pamit dari sana setelah pemilik rumah mengangguk sekilas.

Berbalik, Dimitri mempersilakan tamunya masuk. Perempuan asing itu pasti orangnya Rio. Satu yang ia sangsikan. Benarkah kali ini Rio sungguh hilang akal?

"Rio yang suruh saya ke sini." Sera menunduk dalam. Kedua tangan sudah mengepal erat.

Mengusap wajah, si lelaki yang semula memunggungi berbalik. Mengamati gadis di hadapan lamat-lamat dari ujung kaki hingga ujung rambut. Lipatan samar mulai muncul di dahi. Seratus juta dengan kualifikasi seperti di depan mata? Tampaknya Rio mulai tak profesional.

Tinggi gadis itu sedagunya. Datang dengan setelan kaus lengan panjang abu-abu dan jeans, Dimitri tak menangkap ada bagian yang lebih tinggi dari yang lain. Rata, depan belakang. Rambutnya hitam sebahu, nyaris menutupi semua bagian wajah. Tertunduk bak bocah kedapatan mencuri permen, Dimitri mulai habis kesabaran.

Ini jelas tidak setimpal. Biasanya di bawah seratus juta ia sudah mendapatkan sesuatu yang sempurna. Rio selalu mengirim perempuan cantik yang mampu memancing hasrat di tatapan pertama. Berisi dan mengundang. Namun, sekarang? Lidah Dimitri gatal ingin segera menanyakan usia gadis tadi. Mungkin, baru 13 tahun.

Tak ingin repot-repot membuang waktu apalagi uang, Dimitri memutuskan membatalkan transaksi. Siapa yang rela merugi? Terus terang, ia mengatakan penolakan pada perempuan di hadapan. Urung memerhatikan gerak-gerik si gadis, lelaki itu berjalan ke arah sofa. Niatnya meraih ponsel untuk menghubungi Rio. Namun, sebuah tarikan membuat gerakan membungkuk terhenti.

"A--Aku bisa melakukan apa pun. To--tolong jangan batalkan transaksi ini." Mengutuk diri, menggigit bibir, Sera memegang ujung lengan kemeja pria itu.

Perempuan ini mulai kalut. Sudah berupaya meneguhkan niat, mengumpulkan keberanian dan membuang jauh-jauh rasa malu, apa ia masih pantas menerima penolakan? Tidak. Sera butuh uang.

Dimitri menatapi jemari kecil yang memegangi ujung lengan kemeja. Sesuatu dalam diri bereaksi aneh, ia kembali menegakkan tubuh. Sepenuhnya bersandar pada sofa, kalimat tak terduga meluncur dari bibir.

"Tanggalkan."

Tertohok, Sera menggigit bibir kuat hingga rasa asin menyapa lidah. Memalukan. Memuakkan. Menakutkan. Sera sepenuhnya mengatai kehidupan ini sial. Haruskah dirinya sampai ke titik menjijikkan seperti ini?

Perempuan itu menoleh pintu. Sedekat itu jaraknya dengan kehormatan dan kesengsaraan. Pergi ke sana, keluar dari sini. Sera batal menjadi perempuan tak bermartabat. Pergi ke pintu, keluar dari kamar ini, Sera batal menjadi anak yang berguna. 

Sial. Sera mengutuk semua orang di dalam hati.

"Kamu bersedia melakukannya?" Dipengaruhi rasa penasaran, Dimitri mulai bersikap tak sesuai keinginan. Laki-laki itu bahkan menunduk demi bisa melihat raut orang di hadapan.

Tak menjawab, kedua tangan Sera bergerak ke arah bawah kaus. Usai memaki, ia memanggil ibunya. Melafalkan maaf, penyesalan, juga ratapan. Kaus abu-abu tadi pun teronggok di lantai.

Di depan Sera, Dimitri pelan-pelan menegakkan tubuh. Lelaki itu menyadari dirinya bereaksi aneh. Penilaian belum berubah. Perempuan di depan ranjang itu bukan tipenya. Namun, seperti ada yang sesuatu yang meledak di dalam diri.

Tanpa sadar napas pria itu mulai tak beraturan. Gerakan biasa yang perempuan di sana lakukan memberi dampak luar biasa pada sesuatu di bawah sabuk. Semakin lama, semakin tak terbendung. Maka, saat gadis di sana sedikit membungkuk untuk mengeluarkan kaki, langkah Dimitri mendekat, menghapus jarak. Mendekat, mendekap, lalu layaknya kucing yang disuguhi ikan, ia melahap hidangan yang tersaji.

***

"Nama. Usia." Bahu naik-turun, Dimitri menjeda kegiatan. Matanya berkilat penuh hasrat ke arah perempuan di bawah kungkungan.

"Sera. 26 tahun."

Kilasan memori beberapa saat lalu yang tiba-tiba muncul membuat lelaki tanpa atasan di ranjang terbangun. Tidur dalam posisi miring, gegas ia tolehkan wajah ke belakang. Perempuan itu di sana. Di bawah selimut yang sama dengannya, bahu polos itu tampak bergerak teratur.

Dimitri sempat menilik jam di dinding sebelum akhirnya mengubah posisi tidur. Baru 20 menit ia tertidur. Baru 20 menit yang lalu lelaki ini melanggar prinsip yang sudah dipegang selama hampir 13 tahun. Hari ini, Dimitri telah berbagi ranjang dengan seorang gadis.

Entah apa yang terjadi. Semua diluar dugaan dan kendali. Mendadak gelap mata setelah melihat perempuan bernama Sera itu menuruti permintaannya. Tak mampu dijelaskan, dia masih mencari-cari definisi perasaan yang tadi menguasai.

Ingin mengingkari sudah bersikap liar, tapi jejak kemerahan di bahu belakang dan leher Sera menjadi tamparan yang menyadarkan bahwa dirinya benar-benar lepas kendali beberapa saat lalu. Bersikap layaknya belum pernah melakukan hal seperti itu, padahal bukan lagi amatir.

Sibuk dengan pikirannya sendiri, Dimitri mengambil sikap waspada saat dilihatnya Sera bergerak. Perempuan itu berbalik, meringkuk menghadap ke arahnya dengan kedua mata masih terpejam. Kembali Dimitri menyaksikan bekas-bekas perbuatannya di area dada Sera.

Pandangan kembali ke atas, raut Dimitri kembali datar. Kali ini kepalanya sibuk menilai. Bentuk mata, hidung, alis, semuanya biasa saja. Sera bukan perempuan super cantik dengan bulu mata lentik dan hidung runcing. Biasa saja. Sederhana. Polos.

Kulitnya memang putih, tapi tetap saja terlihat biasa. belum lagi, bagi lelaki ini, Sera tak seperti gadis-gadis lain. Terlalu kurus, tak ada bagian yang berisi, sampai-samapi dia khawatir sudah meremukkan beberapa tulang tadi. Tadi ... sebentar tadi ... beberapa waktu lalu saat mereka ....

Dimitri ingat suara ringisan Sera yang bersamaan dengan dilihatnya noda merah di atas seprei. Di benaknya mulai muncul lebih dari satu pertanyaan. Namun, seketika pikiran buyar, kala Sera perlahan membuka mata.

Lelaki itu mengantisipasi. Apa reaksi yang akan dia peroleh? Sera akan menangis seperti yang sering orang-oang ceritakan tentang gadis-gadis yang terpaksa menjajakan jasa? Apa Sera akan kembali tidur mengingat ini baru setengah jam sejak pertempuran mereka? Atau ....

Tidak melanjutkan terkaan, Dimitri terkesiap. Sera kembali memejam, tapi tubuh gadis itu bergerak. Mendekat, memangkas semua spasi yang ada. Lalu ....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status