Share

Bab 3

Sekitar pukul enam sore, Sera yang duduk di jok belakang sepeda motor yang tengah Rio kemudikan mendongak ke arah langit yang tampak kelabu. Tampaknya akan turun hujan malam nanti, hujan di pipi sudah tumpah sejak tadi. Seratus juta, di jumlah itulah harga dirinya bisa dinilai. Saat ini mereka sedang dalam perjalanan menuju orang yang akan memberikan uang itu. 

Sera bertanya dalam hati, tak lagi mendongak sebab usaha itu sia-sia. Lelehan dari mata terus jatuh entah apa pun yang coba dilakukan. Benarkah harus jalan yang ini? Tdak adakah solusi lain? Tidak adakah keajaiban di dunia ini? Sera mengepalkan kedua tangan menyadari dirinya amat ketakutan saat ini. 

Sepeda motor melambat lajunya, Sera kebingungan saat Rio sepenuhnya menepi di pinggir. Lelaki itu melempar tatapan yang Sera artikan sebagai ketidakyakinan. 

"Kamu yakin, Sera? Kalau nggak ingin, kita pulang saja, ya?" Rio menarik ke atas kaca helm. Menatap Sera penuh harap. Entah kenapa, kali ini, untuk pertama kalinya ia merasa sangat tak yakin dengan pekerjaan ini. Takut, Rio merasa tak akan sanggup bila sampai sesuatu yang buruk terjadi pada teman semasa sekolahnya itu. 

Turun dari motor, Sera langsung berjongkok di depan Rio. Tak lagi menahan, isakannya terdengar jelas dari bibir. Memeluk diri sendiri, Sera sungguh merasa benar-benar putus asa. Satu sisi ingin sekali segera berlari, pulang. Namun, sisi satunya dalam diri memaksa tetap melanjutkan perjalanan. Keluarganya butuh uang itu. Uang itu, pekerjaan ini, adalah satu-satunya yang bisa menyelamatkan mereka dari nasib menjadi gelandangan di jalan. 

Iba, Rio mendekat pada Sera. Memegangi bahu gadis itu erat. "Kita pulang aja, ya?" Pria itu meringis saat pertanyaan tadi dijawab gelengan pelan menjurus pasrah. 

Sera menghapus jejak air di pipi. "Aku butuh ini, Ri. Ini satu-satunya yang bisa aku lakuin untuk keluargaku." Kalimat itu ditutup dengan isakan pilu. 

Menjual organ juga salah satu opsi. Tetapi, Sera takut. Nahas, bukannya menolong, setelah salah satu bagian tubuh diambil, ia malah tidak berdaya melakukan ap-apa. Malah menambah beban keluarga nantinya. 

Sekali lagi perempuan itu meyakinkan hati. Mereka tak kan bisa mendapatkan uang sewa segera. Ayahnya yang hanya seorang supir ojek bahkan sudah lepas tangan, bersikap tak peduli pada keluhan si ibu. Sera masih miliki dua adik kecil yang pasti akan menangis sedih jika sampai mereka diusir dari kontrakan. Tidak punya teman atau kerabat yang sudih meminjamkan uang, Sera membujuk diri. Ini satu-satunya solusi dari perkara itu. 

"Antar aku ke rumah itu, Ri." Sera berdiri, kembali naik ke sepeda motor. 

*** 

Turun dari mobilnya, Dimitri cukup terkejut melihat ada satu mobil tak asing yang terparkir di depan rumah. Pria itu menggigit bibir bawah, mulai melangkah masuk. 

Seperti dugaan, sang ibu, Mirna tampak duduk di sofa dengan wajah kesal. Di sampingnya ada Dante yang bersidekap dan tengah melirik malas ke arahnya. 

"Ada apa?" Tidak perlu repot-repot duduk, Dimitri bertanya dengan kedua tangan di pinggang. Tak perlu basa-basi atau menunggu mereka bicara. 

"Kamu ini anak mama, bukan, Dim? Datang-datang bukannya bertanya kabar atau memeluk, malah berucap ketus begitu." Mirna menghampiri sulungnya, memeluk erat. 

Dimtri menjauhkan diri. Kembali mengulang pertanyaannya sebelumnya. Berikutnya, ia mendengar hal-hal yang sama lagi. Mirna rindu, Mirna merasa sedih, Mirna inginkan ia pulang ke rumah satunya dan tinggal bersama, dan Mirna menanyakan soal calon istri. 

Belum selesai ibunya berucap, Dimitri mengangkat satu tangan. "Pertanyaan-pertanyaan Mama masih sama, maka jawaban-jawabanku juga serupa. Sekarang, silakan pulang." 

Dante berdiri. "Tolong. Jangan hanya pikirkan dirimu sendiri. Turuti saja apa keinginan Mama dan berhenti membuang-buang waktuku." Pria ini merasa dirugikan karena harus mengantar sang ibu bolak-balik ke sini hanya untuk kembali mendengar penolakan Dimitri. Ia punya hal lain yang bisa dilakukan jika saja tidak harus ikut-ikutan mengurusi pilihan hidup kakaknya. 

"Mama dengar sendiri, 'kan? Jangan rugikan dia." Dimitri menyorot tajam ke Dante. "Aku sudah mampu membeli tempat tinggal sendiri. Mengapa harus tetap tinggal dengan Mama? Usiaku sudah 33 tahun." 

"Justru itu. Sudah 33 tahun, tapi belum juga menunjukkan tanda-tanda akan naik pelaminan. Kalian berdua itu sama saja. Tidak pernah mendengar apa kata-kata ibu sendiri." 

Wajar Mirna protes. Ia merasa kedua anaknya memang sangat tidak memedulikan dirinya. Sudah ditinggal meninggal suami tiga tahun lalu, Dimitri malah menolak menemaninya di rumah seperti yang Dante lakukan. Wanita itu paham putra-putranya sudah mapan. Namun, apa salahnya tetap tinggal serumah? Toh, mereka juga belum memiliki keluarga sendiri.  

Naik pelaminan. Itu adalah salah satu masalah terbesar yang Mirna hadapi. Saat semua keponakannya sudah berumah tangga bahkan sudah ada yang memiliki anak, Dimtri dan Dante malah belum juga menikah. Saat ditanyakan apa alasannya, dua kakak beradik itu serentak menjawab bahwa belum menemukan yang cocok. 

Disuruh menikah menolak, dimintai tinggal bersama untuk menemaninya juga tak mau. Mirna ingin tahu apakah mengutuk anak sendiri jadi batu masih ampuh atau tidak di zaman sekarang. 

"Mama ini sudah tua. Kapan lagi kalian akan memberikan cucu?" 

Dimitri memasang wajah datar. "Di dunia ini banyak anak kecil. Anggap saja mereka cucu Mama. " Pria itu dihadiahi sebuah pukulan di lengan oleh sang ibu. 

Di tempatnya, Dante berpura tak mendengar. 

"Kalau sudah tidak ada yang perlu dibicarakan, tolong. Silakan pulang. Aku lelah, ingin istirahat." Pemilik rumah menilik arloji di tangan. Janji temunya sekitar pukul tujuh. 

Mirna berjalan ke arah sofa, duduk di sana dengan tangan terlipat di dada. Wanita itu meberi ancaman. Tidak akan pulang, sebelum Dimitri setuju pulang ke rumah lama mereka. 

Dahi lebar Dimitri berkerut. Tak biasanya memberi ancaman,  sepertinya Mirna mendapat cara baru untuk memaksanya. Sebenarnya ia ingin tidak peduli. Namun, karena hari ini akan bertemu Rio, pria itu mulai memutar otak. Apa jadinya jika Mirna dan Dante tetap di sini saat Rio datang? Ibunya bisa terkena serangan jantung bila menyaksikan ia melakukan transaksi. 

Mengalah, dengan berat hati, Dimitri buka suara setelah lima belas menit ruang tamu dikuasai hening. "Akan kupikirkan," katanya sembari menyorot penuh arti pada Dante. 

Diberi tatapan tak biasa, Dante meruncingkan alis. Berulang kali bertanya pada diri sendiri--kenapa harus takut--sembari pelan-pelan merasa terancam. 

"Bawa Mama pulang, Dan. Masalah pulang ke rumah lama, akan kupikirkan." Dimitri menggerakkan mata sebagai isyarat agar Dante segera membawa ibu mereka pulang. 

Tak paham, tapi Dnte menurut. Raut wajah Dimitri yang tenang, tapi mengancam membuatnya was-was. "Dimitri akan  memikirkannya, Ma. Mungkin dua hari lagi ia akan pulang. Sekarang, kita pulang saja. Mama sudah lapar, 'kan?" 

Mirna mengamini dan menuruti perkataan Dante. Paham watak keras kepala sulungnya, tak mungkin juga mengubah keputusan lelaki itu dalam sekejap. Setidaknya, Dimitri sudah mau memikirkan permintaannya. Sebelum pamit, ia meminta si anak berjanji. 

Terdesak, Dimitri terpaksa menyanggupi. Langkah seribu ia mengantar keluarganya ke depan rumah. 

"Ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" bisik Dante sembari berjalan keluar. 

Kedua tangan tersembunyi di saku, Dimitri berucap pelan. "Aku baru saja belanja." Dibiarkannya saja Dante berlalu dengan wajah tak paham. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status