Share

Bab 6

Pagi yang tidak terlalu baik. Baru saja terjaga, Dimitri segera diserang rasa tak enak hati. Tidak tahu kenapa, seperti ada yang tidak sesuai dengan keinginan. Tak bersemangat, rasanya ingin kembali tidur. Namun, terpaksa lelaki ini duduk, karena ponsel di atas nakas bergetar. 

Banyak pesan masuk, sepeti biasa. Rata-rata berisi laporan keadaan toko dan rumah makan miliknya. Soal berapa pegawai yang terlambat, siapa-siapa saja yang kinerjanya tampak baik sampai siang ini, dan sebagainya. Tidak berselera, semua itu tak dibaca dengan teliti. Dibiarkan saja, lelaki ini memberi atensi lebih pada satu nomor tak memiliki nama, tapi dia kenali. 

Nomor itu milik Rio. Mengirim satu pesan, dua kali panggilan. Dimitri membacanya, kemudian ekspresi datar tapi tak ramah itu terlihat di wajah. 

[Kamu sehat, 'kan? Sera demam kemarin.] 

Parah. Tak punya sopan santun. Bisa-biasanya tuduhan demikian disematkan padanya. Memangnya Dimitri tak punya akal? Pikirannya dangkal, begitu? Jika saja Rio ada di depan mata, maka sudah pasti akan tercipta baku pukul. 

Diakui ia memang suka kehidupan bebas. Namun, bukan berarti akal sehat ditinggal apalagi tak dipakai. Selalu bermain aman adalah prinsip. Bisa dihitung dengan satu tangan berapa kali pria ini tak pakai pengaman saat berhubungan. Yang kemarin malam dengan Sera adalah yang kedua. 

Sera. Mengingat nama itu, Dimitri terpikirkan kesepakatan mereka kemarin. Hari ini perempuan itu akan datang untuk mengambil sisa bayaran. Lelaki di atas ranjang ini merapikan rambut, satu umpatan lolos dari bibir. Sisa uang tersebut belum tersedia di rumah. Pukul berapa Sera akan datang juga tidak diketahui. Tampaknya sebutan pintar harus dia tanggalkan. 

Dimitri membuka aplikasi memo  di gawai. Di jadwal yang disusunnya sendiri tertulis hari ini adalah waktunya kunjungan ke salah satu toko. Di jalan Mandiri, dengan agenda inspeksi dadakan pada karyawan baru. 

Menatapi dinding putih di hadapan selama sepuluh detik, pria itu melempar ponsel ke sisi lain tempat tidur. Merebahkan tubuh, dia urung memejam karena bau khas yang masuk ke hidung. Dimitri kembali duduk, mengacak rambut kasar. "Bi Ima! Ganti seprei sama selimut!" 

Membatalkan kunjungan ke toko roti miliknya, Dimitri melakukan banyak hal hari itu. Menggantikan tugas Bu Ima, seprei dan selimut digantinya sendiri. Mengambil uang ke bank, sekaligus berbelanja kebutuhan rumah. Kemudian, berenang, memasak makan siang sendiri lalu masuk ke ruangan kesukaan. 

Hampir sore, tapi tamu yang ditunggu tak kunjung datang. Saat ini Dimitri ada di kamar paling sudut, di lantai dua. Tempat kesukaan yang di dalamnya ada satu set sofa, meja dan kursi kerja, karpet biru langit di sudut kiri, persis dekat dinding, rak-rak kayu penuh buku. Jangan bayangkan pria ini adalah seseorang dengan hobi membaca, yang kepalanya penuh pengetahuan. Salah besar. Keliru. 

Yang Dimitri paling suka di ruangan ini adalah kursi goyang di dekat karpet biru. Kursi yang sering digunakan para lansia itu adalah barang kesayangannya. Seperti sekarang, saat duduk di sana, ekspresi tenang tampak di raut yang biasanya terlihat datar, tapi mengintimidasi itu. Tubuh yang perlahan berayun memberi rasa damai, hingga Dimitri merasa bahwa tengah berada di surga. 

Dibalik sikap kelewat datar yang orang-orang selalu gaungkan, Dimitri hanyalah seorang pria dewasa yang suka akan kedamaian saat tubuhnya dibawa bergerak teratur bak dinina bobokan di sebuah kursi goyang rotan. Absurd. 

Sempat memejam, lelaki itu membuka mata lagi. Menatap lurus ke depan, sebuah foto besar menjadi fokus pandangan. Gambar dirinya, sedang tersenyum lebar sambil memegang sebuah medali hasil lomba lari maraton setahun lalu. 

Bangga menelusup hati. Dirinya pada foto itu adalah Dimitri terbaik yang pernah diusahakan. Setelah sekian lama, impian sederhana itu akhirnya bisa dicapai. Meski bukan ajang lomba yang bergengsi, hanya maraton dimana semua peserta lari akan mendapatkan medali, tapi lelaki ini amat mengagungkan pencapaian itu. 

Dulu sekali, Dimitri punya cita-cita. Ingin menjadi atlet lari. Namun, ayahnya yang seorag pebisnis menentang. Dia dipaksa sekolah dan menekuni semua hal tentang bisnis. Anak baik, sulung, tepaksa menurut. Dimitri bahkan sempat menjabat posisi CEO di perusahaan keluarga tiga tahun lalu. Setelah ayahnya wafat, posisi menjanjikan itu diserahkan pada Dante. 

Tak mungkin lagi mewujudkan cita-cita, dengan uang tabungan yang ada Dimitri memulai usaha. Toko roti dan rumah makan adalah yang dipilih. Tidak mudah, beberapa kali usahanya tak mencapai tujuan. Namun, kegigihan dan keras kepala  akhirnya membuahkan hasil seperti sekarang. Total, ada sepuluh toko dan lima rumah makan sudah ia miliki dalam waktu tujuh tahun. 

Kursi terus bergoyang, Dimitri yang mulai mengantuk diusik oleh ketukan tanpa jeda di pintu. Membukanya, Bu Ima yang terlihat panik muncul di depan mata. Membawa kabar bahwa ada tamu yang pingsan di ruang tamu. 

Berjalan santai, Dimitri berkedip tenang saat menemukan Sera terbaring di sofa ruang tamunya. Mata perempuan itu tertutup, wajahnya tampak seputih kertas. Dimitri teringat pesan dari Rio, dia menghela napas. 

Ini tindakan spontan saja, Dimitri meminta Bu Ima memanggil dokter, sementara dirinya membawa Sera ke kamar. Lelaki ini sempat mengernyit saat merasakan suhu tubuh Sera yang tinggi.  

"Dia siapa, Tuan?" Usai dokter pergi, Bu Ima memberanikan diri bertanya. Sempat takut karena Dimitri tak kunjung bersuara selama satu menit. 

"Namanya Sera. Ada urusan sama saya. Pingsan karena lagi demam tinggi." Dimitri mengatai Sera bodoh. Sudah tahu sakit, kenapa harus nekat datang dan menyusahkan begini. "Merepotkan," gumamnya tanpa sadar. 

Bu Ima tersenyum. "Menolong orang itu perbuatan baik. Nanti dibalas sama Yang Kuasa." Wanita berusia 50 tahun itu mengingatkan. 

Dimitri mengangguk saja. "Tolong buatkan makanan untuk dia, setelah bangun harus dikasih obat kata dokter." Dia menaikkan alis sebentar. Mengapa harus sejauh ini? Peduli apa Sera meminum obat atau tidak. 

Asisten rumah tangganya pergi, Dimitri tak beranjak dari pinggir ranjang. Pria itu malah mengeluarkan ponsel dari saku, mulai membaca dan memeriksa pesan-pesan dan laporan dari manager toko. Sesekali melirik Sera, memastikan orang itu masih bernapas atau tidak. 

Satu jam kemudian, Sera akhirnya sadar. Diterpa pusing, perempuan itu memegangi kepala dan berusaha memfokuskan penglihatan. Mendapati Dimitri ada di sana, wanita di belakang pria itu membuat ingatan mulai baik. 

Sera duduk, kalimat pertama yang diucap adalah permintaan maaf. 

"Mari makan, dokter bilang harus makan obat itu." Ima menunjuk obat-obat di atas nakas. "Saya bantu," sambungnya sembari memegangi lengan Sera. 

Sera menggeleng. Ini rumah orang, menyusahkan adalah sikap buruk. "Saya ingin langsung pulang saja." 

Dimitri mencegah Bu Ima membujuk tamu mereka untuk makan. Ia minta wanita itu keluar, kemudian dia ambil plastik hitam dari lemari pakaian, diberikannya pada Sera. 

Tubuh lemas dan nyeri, kepala juga pusing, Sera mencoba memikirkan cara untuk bisa membawa uang itu ke rumah. Jika dibawa dengan keadaan seperti sekarang, adik dan ibunya pasti akan bertanya. Mau tak mau dia harus memberi alasan dan terpaksa menunjukkan isinya. Semua akan kacau. 

Perempuan itu melirik Dimitri sekilas. "Apa di rumah ini ada kotak kosong dan buku?" 

Setengah kesal, yang ditanya berdeham sebagai jawaban. 

Cara ini yang akan Sera coba. Uang akan ditumpuk di kotak, di atasnya ditutup dengan beberapa buku. Kalaupun ibu dan adiknya bertanya, ia bisa mengatakan itu hanya buku dan menunjukkan bagian atas. 

Mengabaikan rasa tak nyaman karena sejak tadi ditatapi datar oleh si pemilik rumah, Sera mengikuti Dimitri yang mulai melangkah keluar. Entah hendak ke mana, ia mengekori saja di belakang sembari menunduk. Tak sengaja  ditabraknya punggung si laki-laki. 

"Jalan duluan." Dimitri memberi ruang agar Sera jalan di depannya. Dari belakang, dengan tatapan kesal ia memberi instruksi harus belok dan melangkah ke mana. 

Tak lama berjalan, Sera dipersilakan masuk ke dalam sebuah ruangan. Pikirnya itu gudang untuk mengambil kotak kosong, ternyata bukan. Berhenti di dekat pintu, itu menatap kagum pemandangan di depan mata. 

Rak kayu cokelat berisi penuh oleh buku. Sembari terus mengagumi, ia mengambil beberapa buku dari sana setelah dipersilakan. Mulai menyusun uang, kemudian menutupinya dengan enam buku tadi. 

"Boleh minta lem untuk kotak ini?" 

Dimitri berteriak memanggil Leo. Seorang pria berusia 40 tahun  masuk ke sana, dia memberi perintah. "Tolong lem kotak ini. Jangan sentuh isinya." Tegas, penuh dominasi dan ancaman dia berucap. 

"Baik, Tuan." Menunduk, Leo membawa pergi kotak tadi. 

"Enam buku tadi, aku harus bayar berapa?" Sera menghitung lembaran uang yang sudah sempat disisihkan. Menatapi Dimitri sebentar, ia menunduk dalam. 

Sejak tadi fokus pada wajah perempuan yang barusan bertanya, Dimitri menggigit bibir kesal. Sedetik kemudian ia menyeringai. 

"Aku menolak dibayar dengan uang." Kakinya bergerak, mendekat pada Sera, memojokkan hingga perempuan itu berdiri rapat dengan rak. Dua tangan besar itu menangkup wajah Sera. "Aku menolak dibayar dengan uang. Bibirmu kering." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status