Share

Bab 2

Jalanan padat saat Dimitri menuju rumah sore ini. Kendaraan di mana-mana, dengan pengemudi yang tak sabaran seperti dirinya. Beberapa klakson menjerit gila, padahal di depan sana jelas-jelas tak ada satu mobil atau sepeda motor yang bergerak. 

Membuang waktu, menunggu terciptanya sedikit kelengangan, Dimitri mengingat celotehan asal dari Romi di klub tadi. Soal dirinya yang tak pernah mau memakai jasa wanita malam dengan status perawan. 

Bukan takut atau kurang pengalaman. Dimitri sangat ahli dengan mereka yang masih tersegel atau tidak. Masalahnya, ya, seperti yang ia katakan tadi. 

Sebagai tanda keseriusan ingin memiliki seorang pendamping yang nantinya menjadikan Dimitri sebagai lelaki pertama, ia juga harus ikut menjaga eksistensi perempuan gadis, dengan cara menghindari mereka. 

Mengingat itu, lelaki dengan rahang tegas itu kembali mengingat semua mantan kekasihnya. Dari mulai wanita kantoran, model, penyanyi kafe, sampai anak kuliahan. Semuanya rata-rata sudah berpengalaman dalam hal hubungan badan. 

Bukan memandang rendah, hanya saja Dimitri heran. Mengapa semua mantan pacarnya demikian? Apa tidak ada lagi perempuan lugu seperti yang ada dalam bayangannya? 

Suara klakson mobil mengoyak lamunan Dimitri. Pria itu segera menginjak pedal gas. Mengabaikan gelisah di hati, memilih membayangkan akan seperti apa pengalaman seratus jutanya nanti di rumah. 

Mengambil belokan ke kiri di jalan yang sudah tak jauh dari rumah, mobil Dimitri tiba-tiba saja diadang sebuah mobil lainnnya. Mau tak mau pria itu berhenti. 

Ia mengumpat, melepas seat belt kasar. 

"Berengsek!" Terserah siapa pun pengemudi mobil itu, yang jelas Dimitri kesal dibuatnya. Bagaimana jika ia tidak menginjak rem tepat waktu tadi? 

Memukul kaca mobil, Dimitri berkacak pinggang menunggu si pengemudi. Ia berdecak dongkol kala mendapati seorang perempuan keluar dari kursi kemudi. 

"Ini sapaan kamu sama mantan pacar, Dimitri?" Sofia menutup pintu mobil, bersandar di sana dengan tangan terlipat di dada. Perempuan itu tersenyum puas melihat raut tak senang pria jangkung di hadapan. 

Memicing, Dimitri berusaha menerka apa maksud dari sikap Sofia ini. Mereka sudah selesai tiga hari lalu. Memang, sepihak, Dimitri yang menginginkan. 

"Kita sudah selesai." Dimitri mengelak kala tangan Sofia berusaha menjangkaunya. Asal perempuan itu tahu saja, ia sudah tak sudi. 

"Kamu sungguh ingin kita berpisah? Kamu yakin menemukan perempuan seperti aku? Kamu lupa pernah memujiku sangat andal?" Wanita itu mengedipkan satu mata. 

Oh, itu memang benar. Dimitri mengamini dalam hati. Dari semua pacar Dimitri, Sofialah yang paling berbahaya saat bertempur di ranjang. Perempuan itu hebat. Namun, itu semua tak berarti lagi sekarang. Sebab Sofia ternyata sangat licik. 

Tiga hari lalu, perempuan itu datang kepadanya. Mereka menjalani berjam-jam yang memabukkan di salah satu hotel. Lalu, tiba-tiba saja Sofia meminta sesuatu yang mustahil Dimitri sanggupi. 

Perempuan itu ingin dinikahi. Alasannya, karena sudah telanjur hamil. Yang benar saja. Konyol bila Sofia menyebut Dimitri adalah ayah janin itu. 

"Dimitri? Ayolah, Kita bisa membuat ini sama-sama menguntungkan. Nikahi aku dan kamu akan mendapatkanku." 

Kaki panjang Dimitri maju, memangkas jarak yang ada antara dirinya dan Sofia. Mata besar dengan iris gelap itu menatap tenang, tetapi mengancam. 

"Jangan besar kepala. Kamu tidak seberharga itu, hingga aku bersedia mengorbankan nama baikku." Ia memojokkan Sofia ke mobil, menjepit dagu perempuan itu kuat. 

Sofia meringis. Ia berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangan Dimitri. Nyali seketika ciut karena sorot mengerikan si lelaki. 

"Bisa saja ini benar anakmu, Dim." Sofia berusaha mempertahankan argumen. 

Dimitri menarik tangan. Ia tersenyum miring. Sofia ini, benar-benar. Apa dia pikir Dimitri orang bodoh? 

"Kita ini sama. Kita sama-sama berhubungan dengan orang lain selama terikat status pacaran. Kamu kira aku percaya bahwa lelaki yang membawamu ke hotel cuma aku?" 

Sofia mulai gemetar. Sungguh, Dimitri yang seperti ini jauh lebih menakutkan dari apa pun. Pria itu menatap seolah akan menguliti dan mematahkan semua tulang yang ada di tubuh Sofia. 

"Walau begitu, masih ada kemungkinan dia ini anakmu." Sofia kadung terjerembab. Bagaimanapun, ia harus mencari pegangan, tumpuan agar keluarganya tidak benar-benar membuang dan menghapus namanya dari daftar penerima warisan. 

Dimitri tertawa. Dua tangan ia simpan dalam saku celana. "Aku tidak pernah bermain polos, kamu tahu itu. Aku selalu menjaga diriku." 

Dimitri bicara soal pengaman. Zaman sudah canggih. Ia juga sadar diri jika hobinya melampiaskan kebutuhan biologis pada beberapa wanita berbeda punya kemungkinan besar membuatnya terkena penyakit mematikan. 

Hampir di semua aksinya, Dimitri tak lupa menggunakan pengaman. Memang sedikit mengurangi sensasi, tetapi itu ebih baik daripada menuai kesialan yang bisa saja ia harus pikul seumur hidup. 

Bukankah hidup ini berisi karma/ Sebab-akibat. 

Habis taktik, Sofia pada akhirnya menggunakan cara terakhir. Ia menekuk lutut. Dengan cepat air matanya sudah mengalir di pipi. 

Dimitri geleng-geleng takjub melihat itu. Sungguh, bila Sofia ini aktris, sudah pasti akan mendapat penghargaan. Sandiwaranya natural sekali. Tadi menuduh, sekarang memelas. Berharap Dimitri percaya, begitu? 

"Tolong aku, Dim. Papa dan Mamaku akan mencoret namaku dari daftar warisan jika tahu aku hamil di luar nikah." Sofia menyatukan tangan di depan dada. Memohon untuk sedikit saja belas kasihan Dimitri. 

Semua laki-laki yang pernah bersamanya menghindar membantu. Bahkan, ayah asli si jabang bayi saja enggan ikut campur. Opsi menggugurkan ada, tetapi Sofia takut setengah mati. Hanya Dimitri satu-satunya pilihan saat ini. Setidaknya, dari semua pria yang ia kenal, Dimitri adalah yang paling waras. 

Pria itu tidak menggunakan obat. Hanya alkohol. Punya pekerjaan mapan yang menjanjikan. Dari keluarga berada yang juga terpandang. Meski nanti mengaku mereka punya anak sebelum menikah, Sofia bisa pastikan orang tuanya tidak akan terlalu marah. 

"Keluargaku tidak pernah melarangku melakukan apa pun. Asal tidak ini, hamil tampa suami. Aku bisa dibuang." Sofia terisak. 

"Aku tidak melakukan apa-apa untuk bisa ikut bertanggung jawab padamu. Ini tidak adil untukku." Dimitri berucap santai. Sama sekali tidak terganggu, karena merasa ini memang bukan kesalahannya. 

Selalu bermain aman, terakhir kali ia bersama Sofia adalah tiga hari lalu. Jelas, itu bukan darah dagingnya. 

"Kalau kamu memang kamu tidak siap punya anak dan tidak rela tak mendapat jatah warisan, gugurkan saja anak itu." Dimitri menilik ekspresi wajah Sofia. Pria itu sedikit lega saat perkataannya direspon gelengan kuat oleh Sofia. Dosanya bisa bertambah jika si mantan pacar mengikuti saran tadi.

Sofia bangkit berdiri. Ia menghapus air mata. "Aku takut, Dim. Dia sudah hidup. Aku sudah mendengar detak jantungnya." 

Dimitri menghela napas. Ia mengusap wajah, kemudian menatap Sofia lagi. "Begini saja. Pergilah beberapa bulan sampai bayimu ini lahir. Ke mana saja, yang jauh. Berikan alasan agar keluargamu tidak mencari atau curiga. Setelah dia lahir, kembali lagi kemari dan menjadi berengsek lagi." 

Sofia tertawa dengan mata basah. Ia cukup terharu akan saran yang barusan. mesk bukan karena cinta, Dimitri cukup menghargai hubungan yang pernah mereka miliki. 

"Terima kasih. Setidaknya, kamu tidak menendangku seperti mantan-mantanku yang lain." Sofia berucap tulus. Bagaimana juga, ia tak bisa memaksa Dimitri membantunya. Pria itu juga punya kehidupan yang perlu diperjuangkan. 

Si lelaki mengangguk saja. "Aku akan bantu untuk urusan biaya. Selebihnya, jangan harapkan aku. Aku masih ingin melajang dan menjadi ja*ang." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status