“Apa ini? Kamu bisa kerja gak? Aku gaji kamu buat kerja, bukan buat nambahin pekerjaan!” Umar membanting dokumen di meja Susan. Dari wajahnya laki-laki itu tampak sangat marah.
“Maa ... Maafkan saya, Pak!” ucap Susan yang kaget.“Lun kerjakan ulang pekerjaan gadis sialan ini!” Umar menunjuk ke arah dokumen yang terhambur di atas meja Susan. “Aku akan segera ke hotel, klien sudah menunggu! Kerjakan segera!”“Tapi, nanti nggak dicek dulu? Apa aku perlu kirim soft copy-nya dulu?” Aluna memang pekerja teladan di kantor itu. Hampir semua pekerjaannya selalu sempurna.“Aku tidak pernah kecewa dengan pekerjaanmu!” Umar pun segera bergegas untuk menemui kliennya di hotel.Susan menatap sinis ke arah Aluna. Sepertinya ia merasa sangat kesal kepada gadis yang sedang mengetik di depan komputer. “Dasar penjilat!” hardik Susan dengan ketus. Aluna tidak memedulikan apa yang diucapkan rekan kerjanya itu. Baginya dokumen itu lebih penting. Aluna mengangkat sedikit lengan bajunya saat membereskan dokumen yang baru keluar dari printer di meja kerja. Jemari lentiknya yang terbalut hand shock sebatas punggung tangan piawai menata rapi dokumen kantor yang akan digunakan untuk meeting siang di hotel dekat Monas. Gadis itu sangat bersyukur karena ia masih bisa bekerja di kantor tanpa membuka cadarnya. Jarang sekali ada kantor yang mau menerima karyawan yang menggunakan cadar seperti Aluna.“Lun!” panggil seorang perempuan yang berjalan mendekati gadis itu. Dia adalah Mira, teman satu SMA yang juga bekerja di tempat itu. Mira selalu tampak cantik dengan rambut sebahu ikal di bagian bawah yang sedikit menggantung.“Iya, Mir.” Luna menjawab panggilan Mira tanpa berbalik badannya. Ia masih tetap sibuk membereskan dokumen yang akan dia digunakan untuk meeting.“Semua dokumen sudah siap?” tanya Mira sambil meletakan sebotol minuman vitamin C bersoda di meja kerja Aluna. “Minumlah, ini bagus untuk kebugaran tubuhmu, beberapa hari ini aku lihat kamu banyak lembur di kantor sampai larut malam.” Mira mengambil kembali minuman itu dan membuka tutup botol, kemudian menyodorkan minuman itu kepada Aluna.Aluna mengambil botol kaca dari tangan Mira, kemudian duduk, dan meneguk minuman itu dari balik cadarnya. “Kok agak pahit, ya, Mir?” tanya Luna. Gadis itu mengernyitkan dahi. Padahal itu adalah minuman kesukaannya, ia tahu betul bagaimana rasa minuman itu.“Ah Masa sih, mungkin kamu aja yang lagi kurang enak badan, Lun.” Mira mengambil botol minuman itu dari tangan Aluna. “Belum kedaluwarsa padahal. Apa kamu masuk angin kali Lun!” lanjut Mira. Tampak sedikit kekhawatiran menyelimuti wajah gadis cantik yang masih berdiri di samping meja kerja Aluna.“Sebentar ya, Mir!” ucap Aluna sambil merogoh saku gamisnya. Gadis itu langsung mengangkat panggilan telepon yang masuk. “Iya Mas, Assalamualaikum!” sapa Aluna kepada Hamzah, calon suaminya.“Aku merasa tidak tenang, apa kamu bisa ijin setengah hari saja? Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpamu!” Suara Hamzah terdengar lembut dan penuh kasih sayang kepada calon istrinya. “Aku bisa menjemputmu sekarang!”“Semua baik-baik saja in saya Allah, Mas gak perlu khawatir.” Aluna mencoba menenangkan Hamzah. Tidak ada hambatan apa pun dengan pekerjaannya dari pagi. Meskipun sepertinya Susan marah kepadanya, tapi gadis itu tidak terlalu menganggap serius.“Tapi Lun.” Hamzah kembali berbicara.“Sudah lah, Mas, aku mau berangkat ke hotel, ada dokumen yang harus aku antar ke direktur marketing sekarang! Assalamualaikum!” Luna menutup telepon calon suaminya tanpa menunggu jawaban salam dari Hamzah. Aluna merasa Hamzah hanya menyita waktu kerja dan memperlambat pekerjaannya saja.Aluna yang sudah menyiapkan semua dokumen pun bergegas menyambar tasnya yang ada di atas meja. “Bawa ini!” ucap Mira yang terlihat sedikit khawatir kepada Aluna. Aluna berjalan setengah berlari keluar kantor tanpa berpamitan kepada Mira, di luar dia sudah ditunggu oleh supir kantor yang sudah siap membawanya ke hotel. Sebenarnya tidak jauh jarak kantor dengan hotel, hanya kurang lebih lima menit perjalanan tanpa macet.Mira melemparkan botol minuman bervitamin C itu ke dalam tempat sampah di samping meja kerja Aluna. Gadis itu sempat ingin mencoba beberapa tetes minuman yang masih tersisa di sana, tapi ia pun mengurungkan keinginannya itu dan langsung membuangnya begitu saja. Ia sangat yakin, tidak ada sesuatu yang aneh dengan minuman itu, hanya saja Aluna yang sedang kurang enak badan karena terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini.***Ponsel Aluna kembali berdering, gadis itu melihat layar ponsel, mematikan notifikasi suara, dan meletakkannya kembali ke dalam tas. Aluna merasa bahwa Hamzah terlalu berlebihan. Ini bukan hari pertama Aluna bekerja, gadis itu sudah tiga tahun bekerja di perusahaan itu. Perusahaan milik Umar, anak dari pamannya sendiri."Aduh ya Allah, sakit sekali." Jemari Aluna menekan kedua belah pelipisnya, ia merasa sedikit mual dan sakit kepala, bahkan tengkuknya pun terasa sangat kaku. Gadis itu mengambil minyak kayu putih yang tadi diberikan oleh Mira, sahabatnya. Aluna menuangkan sedikit minyak kayu putih dan menggosoknya di pelipis, dan tidak lupa ia pun menggosoknya di bawah hidung, serta leher bagian belakang.Sampai di parkiran hotel, Aluna langsung bertemu dengan Hendra, sekretaris Umar. “Kamu membawa semua dokumennya?” tanya Hendra tegas. Sepertinya Umar susah meminta Hendra untuk menunggu Aluna di tempat parkir.“Tentu saja.” Aluna berjalan masuk ke dalam hotel bersama Hendra. Kepalanya terasa sangat berat. “Hendra, kepalaku sakit banget!” ucap Aluna mengeluh kepada Hendra.“Apa kamu baik-baik saja?” Hendra tampak panik ketika langkah Aluna sudah mulai gontai. “Lun ... Lun ...,” panggil Hendra panik. Aluna masih bisa melihat samar ke arah Hendar. Gadis itu pun masih bisa mendengar ucapan rekan kerjanya itu dengan jelas. Namun, tubuhnya terasa sangat lemas dan sakit kepala yang hebat memaksanya untuk memejamkan mata.Hendra menangkap tubuh Aluna yang hampir saja terjatuh. Laki-laki berumur tiga puluh tahun itu pun menyandarkan dirinya di tembok hotel agar bisa menahan tubuh Aluna. Wajah Hendra tampak sangat panik, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.Hendra merogoh saku celananya, mengambil ponsel dengan susah patah, kemudian menelepon seseorang dengan nada sangat khawatir. “Ayo lah angkat!” ucap Hendra panik. Laki-laki itu kembali menelepon untuk beberapa kali. Hingga yang ke lima kali barulah ia bisa berbicara dengan orang yang ia telepon. “Hallo, Pak, tolong bantu saya! Bu Aluna di lower floor hotel!” Hendra langsung mematikan ponselnya.Aluna yang sudah tidak berdaya pun pasrah saja tuhubnya dipegang oleh laki-laki yang bukan mahramnya. “Oh, ya Rabb, apakah ini waktunya malaikat maut meminangku?” batin Aluna. Seketika setelahnya, pandangannya pun gelap Aluna tidak mendengar apa pun lagi, ia tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.Aluna memegang kepalanya yang masih terasa berat, masih ada sedikit rasa mual. Namun tidak separah sebelumnya. Mata Aluna terbelalak melihat tubuhnya tertutup selimut tanpa sehelai pakaian pun di atas ranjang hotel. Air matanya mengalir, dadanya terasa sesak, bahkan rasanya sulit untuk bernapas. Hari ini, kehormatan yang ia jaga selama dua puluh tiga tahun musnah begitu saja. "Ya Allah, kenapa ini semua terjadi kepadaku? Apa dosaku ya, Allah, sehingga aku harus diuji dengan ujian seperti ini?"Gadis bermata bulat itu mengambil selembar kain hitam penutup wajahnya. Ia meremas kain itu kuat-kuat, Aluna tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada kedua orang tua dan calon suaminya nanti. Dengan langkah gontai, Aluna berjalan menuju balkon hotel, tangannya mencengkeram erat pagar besi setinggi dada orang dewasa. Ia pun memejamkan mata, memantapkan diri untuk menyudahi segalanya. "Mungkin ini jalan terbaik, aku tidak mampu menanggung semua ini."Dengan berbalut selimut putih, Aluna menga
Sudah dua hari Aluna hanya berdiam di kamar hotel, bahkan ia tidak mengijinkan petugas kebersihan hotel untuk membereskan kamarnya. Ia juga tidak makan apa pun, Aluna pun mematikan ponselnya. Gadis itu tidak ingin ada orang yang menanyakan kabarnya. Ia baru menyadari, tidak ada petugas hotel yang menanyakan tentang kapan dia akan cek out. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi, Aluna langsung bergegas keluar kamar hotel. Gadis itu menyempatkan diri bertanya ke petugas hotel yang sedang berjaga di meja resepsionis untuk menanyakan siapa yang memesan kamar yang ia tempati dua hari ini. “Selamat pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?” sapa seorang perempuan dengan tatanan rambut yang sangat rapi, sama seperti wanita paruh baya yang waktu itu mengantarkan buket bunga di depan kamar. Senyumnya pun memaksa Aluna ikut tersenyum dari balik cadar hitam yang ia kenakan. “Saya Aluna yang menempati kamar 503 di lantai dua. Boleh saya tau siapa yang memesan kamar itu?” tanya Aluna kepada petu
“Mari kami bantu masuk!” ucap seorang perempuan yang lebih muda. “Untuk apa?” tanya Aluna sedikit curiga. Aluna memang orang yang scaptis, dia tidak percaya dengan kebaikan orang yang tidak ia kenal. Ia yakin, jika semua orang mempunyai tujuan tertentu dibalik kebaikannya. Apalagi dia baru saja mengalami kejahatan yang luar biasa. “Kamu terlihat sangat lelah, mari beristirahat sebentar. Kami memiliki beberapa makanan halal yang bisa kamu makan. Setelah kebaktian selesai, Pendeta Brian akan menemuimu lagi.” Suster itu mencoba merayu Aluna agar gadis itu mau mengikuti keduanya. “Baik lah.” Aluna yang sudah benar-benar lemas pun pasrah dan menuruti ajakan kedua suster itu. Mereka bertiga berbincang dengan hangat, beberapa jamaat gereja terlihat tertegun menatap ke arah Aluna. Penampilan gadis itu pasti sangat mengundang penasaran para jamaat. Mereka bertiga berjalan masuk ke area yang lebih dalam, hingga ke belakang gereja. Ada asrama khusus suster dan biara wari di sana. Suster yang
Aluna menundukkan kepala, ia berharap Hamzah tidak melihatnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan sejenak memejamkan mata agar bisa berpikir dengan tenang. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya lagi, sepertinya Brian mulai khawatir. “Hem, apa kamu mau membantuku sekali lagi?” pinta Aluna dengan ragu. “Katakan saja, jika bisa aku pasti akan membantumu.” Sebenarnya Brian agak ragu dengan jawabannya kali ini. “Antarkan aku kembali ke gas masuk depan, di Jalan Bungur Besar. Lebih baik aku berjalan kaki saja dari sana. Aku takut terjadi fitnah nanti jika ada rekan kerja yang melihatku turun dari mobil seorang laki-laki.” Aluna berbicara dengan setengah berbohong. “Oh, kirain apaan, ya, Tuhan.” Brian mengembuskan napas lega. Ternyata yang diminta oleh Aluna bukan hal yang sulit. ***“Kamu yakin akan turun di sini?” tanya Brian setelah sampai di tempat yang diminta oleh Aluna. “Iyah, terima kasih atas semua bantuanmu!” Aluna menatap ke arah Brian yang juga sedang melihat ke arah wajahny
"Apa lagi yang bisa kita bicarakan sekarang, Lun? Kamu benar-benar sudah membuatku kecewa. Kamu tau aku sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu curangi aku seperti ini? Wallahi, Lun, aku tidak pernah menyentuh perempuan sama sekali. Bahkan aku menjagamu, tapi kenapa kamu merusaknya dengan orang lain?" Hamzah menyeka air matanya yang turun begitu saja. Ini adalah kali pertama ia menangis setelah dewasa . Hatinya benar-benar hancur, wanita yang selama ini ia muliakan, ternyata melakukan hal yang rendah di belakangnya. "Mas, aku dijebak, Mas. Aku tidak tau apa-apa, Mas. Sungguh." Aluna mencoba membela diri. "Tapi Mas jangan khawatir, tidak terjadi apa-apa malam itu. Mas sayang sama aku kan? Percayalah padaku, Mas, aku janji, aku tidak akan pernah melakukan kesalahan dengan laki-laki setelah ini. Kalau sampai aku melakukannya, Mas boleh meninggalkan aku dan aku tidak akan memohon-mohon seperti ini lagi. Aku berjanji, Mas!" Aluna memohon kepada Hamzah sambil terus menangis. Gadis cantik itu b
"Sebenarnya setelah itu harusnya ada dokter yang datang untuk memeriksamu, aku menghubungi Riko saat itu untuk mengurus semua itu," papar Hendra kepada Aluna dan Umar yang mendengarkan penjelasannya dengan seksama. "Riko?" tanya Aluna bingung. "Iya, cleaning service yang biasanya mengganti galon di ruangan ini." Hendra masih mengelus pipinya yang sedikit terasa sakit dan panas akibat tamparan Aluna. "Lun! Kamu mau ke mana?" tanya Umar sambil mengikuti gadis bercadar itu keluar dari ruangan kantornya. "Bertemu Mira!" jawab Luna ketus. "Pasti dia tau tentang semua ini!" "Aku ikut denganmu!" Umar berjalan mendampingi Aluna yang melaju dengan cepat. bahkan gadis itu setengah berlari ke arah sahabatnya yang baru saja datang. "Mir! Aku mau bicara serius sama kamu!" ucap Aluna sambil menarik tangan Mira dan menyeretnya ke arah ruangan Umar. Walau dalam keadaan emosi, tapi Aluna masih memikirkan nama baiknya dan nama baik orang-orang terdekatnya. "Ada apa, Lun? Apa aku melakukan kesalah
"Astagfirullah!" teriak Aluna sambil melempar pisau cutter yang ada di tangan kanannya. Aluna dengan sepontan melepas kain penutup wajahnya untuk menutup luka sayatan di nadi tangan Umar. "Maafkan aku, Umar!" ucap Aluna yang ketakutan ketika melihat darah yang mengalir dengan sangat cepat dari nadi tangan kiri Umar yang entah bagaimana bisa tersayat saat ia berusaha mencegah Aluna menyayat nadinya sendiri. Kejadian itu sangat cepat. "Jangan panik, aku baik-baik saja, antar aku ke rumah sakit!" Umar yang memiliki kelainan darah pun segera meminta Aluna mengantarnya ke rumah sakit. Ia memiliki penyakit hemofilia, sehingga ia harus mendapatkan penanganan yang tepat dari petugas medis. Di dalam mobil Aluna terus saja berdoa sambil menekan luka sayatan di tangan Umar menggunakan es batu yang di balut dengan kain. Saat itu wajah Umar sudah tampak sedikit pucat dan lemas. Kali ini Aluna sudah merasa sangat bodoh. "Umar bertahanlah! Aku mohon! Aku tidak akan memaafkan diriku jika kamu kenap
"Lun, pulang lah, sepertinya keadaanmu sedang kurang baik!" ucap Ummu Mariyah dengan lembut. "Biar Kholah yang nungguin Umar!" lanjut wanita paruh baya itu. "Tidak, Luna baik-baik saja, kok!" ucap Aluna. Ada kesedihan yang menggelayut di dadanya. Keramahan dan kebaikan Ummu Mariyah membuat Aluna merasa semakin bersalah dan rendah. Gadis itu kali ini merasa menjadi manusia paling curang, ia mencari aman dengan berbohong. Andai saja Aluna berbicara jujur, mungkin dia akan lebih tenang, tapi sayangnya gadis itu tidak mampu. Sepertinya ia takut jika bibinya itu menyalahkannya. "Sudah biarkan saja! Nanti Kholah panggilkan petugas kebersihan untuk membereskan!" "Tidak apa, biar Luna aja!" Umar melihat ke arah Aluna yang sedang membereskan pecahan gelas. Laki-laki itu yakin jika Aluna sedang ketakutan. Ia pun mulai berbohong kepada ibunya sendiri hanya untuk melindungi Aluna. "Ini hanya kecelakaan saja, Mi. Hanya karena aku ceroboh. Sudahlah Mi, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi. J