Share

Noda di Balik Cadar Aluna
Noda di Balik Cadar Aluna
Author: Valend

Pagi yang Sibuk

“Apa ini? Kamu bisa kerja gak? Aku gaji kamu buat kerja, bukan buat nambahin pekerjaan!” Umar membanting dokumen di meja Susan. Dari wajahnya laki-laki itu tampak sangat marah.

“Maa ... Maafkan saya, Pak!” ucap Susan yang kaget.

“Lun kerjakan ulang pekerjaan gadis sialan ini!” Umar menunjuk ke arah dokumen yang terhambur di atas meja Susan. “Aku akan segera ke hotel, klien sudah menunggu! Kerjakan segera!”

“Tapi, nanti nggak dicek dulu? Apa aku perlu kirim soft copy-nya dulu?” Aluna memang pekerja teladan di kantor itu. Hampir semua pekerjaannya selalu sempurna.

“Aku tidak pernah kecewa dengan pekerjaanmu!” Umar pun segera bergegas untuk menemui kliennya di hotel.

Susan menatap sinis ke arah Aluna. Sepertinya ia merasa sangat kesal kepada gadis yang sedang mengetik di depan komputer. “Dasar penjilat!” hardik Susan dengan ketus. Aluna tidak memedulikan apa yang diucapkan rekan kerjanya itu. Baginya dokumen itu lebih penting.

Aluna mengangkat sedikit lengan bajunya saat membereskan dokumen yang baru keluar dari printer di meja kerja. Jemari lentiknya yang terbalut hand shock sebatas punggung tangan piawai menata rapi dokumen kantor yang akan digunakan untuk meeting siang di hotel dekat Monas. Gadis itu sangat bersyukur karena ia masih bisa bekerja di kantor tanpa membuka cadarnya. Jarang sekali ada kantor yang mau menerima karyawan yang menggunakan cadar seperti Aluna.

“Lun!” panggil seorang perempuan yang berjalan mendekati gadis itu. Dia adalah Mira, teman satu SMA yang juga bekerja di tempat itu. Mira selalu tampak cantik dengan rambut sebahu ikal di bagian bawah yang sedikit menggantung.

“Iya, Mir.” Luna menjawab panggilan Mira tanpa berbalik badannya. Ia masih tetap sibuk membereskan dokumen yang akan dia digunakan untuk meeting.

“Semua dokumen sudah siap?” tanya Mira sambil meletakan sebotol minuman vitamin C bersoda di meja kerja Aluna. “Minumlah, ini bagus untuk kebugaran tubuhmu, beberapa hari ini aku lihat kamu banyak lembur di kantor sampai larut malam.” Mira mengambil kembali minuman itu dan membuka tutup botol, kemudian menyodorkan minuman itu kepada Aluna.

Aluna mengambil botol kaca dari tangan Mira, kemudian duduk, dan meneguk minuman itu dari balik cadarnya. “Kok agak pahit, ya, Mir?” tanya Luna. Gadis itu mengernyitkan dahi. Padahal itu adalah minuman kesukaannya, ia tahu betul bagaimana rasa minuman itu.

“Ah Masa sih, mungkin kamu aja yang lagi kurang enak badan, Lun.” Mira mengambil botol minuman itu dari tangan Aluna. “Belum kedaluwarsa padahal. Apa kamu masuk angin kali Lun!” lanjut Mira. Tampak sedikit kekhawatiran menyelimuti wajah gadis cantik yang masih berdiri di samping meja kerja Aluna.

“Sebentar ya, Mir!” ucap Aluna sambil merogoh saku gamisnya. Gadis itu langsung mengangkat panggilan telepon yang masuk. “Iya Mas, Assalamualaikum!” sapa Aluna kepada Hamzah, calon suaminya.

“Aku merasa tidak tenang, apa kamu bisa ijin setengah hari saja? Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpamu!” Suara Hamzah terdengar lembut dan penuh kasih sayang kepada calon istrinya. “Aku bisa menjemputmu sekarang!”

“Semua baik-baik saja in saya Allah, Mas gak perlu khawatir.” Aluna mencoba menenangkan Hamzah. Tidak ada hambatan apa pun dengan pekerjaannya dari pagi. Meskipun sepertinya Susan marah kepadanya, tapi gadis itu tidak terlalu menganggap serius.

“Tapi Lun.” Hamzah kembali berbicara.

“Sudah lah, Mas, aku mau berangkat ke hotel, ada dokumen yang harus aku antar ke direktur marketing sekarang! Assalamualaikum!” Luna menutup telepon calon suaminya tanpa menunggu jawaban salam dari Hamzah. Aluna merasa Hamzah hanya menyita waktu kerja dan memperlambat pekerjaannya saja.

Aluna yang sudah menyiapkan semua dokumen pun bergegas menyambar tasnya yang ada di atas meja. “Bawa ini!” ucap Mira yang terlihat sedikit khawatir kepada Aluna. Aluna berjalan setengah berlari keluar kantor tanpa berpamitan kepada Mira, di luar dia sudah ditunggu oleh supir kantor yang sudah siap membawanya ke hotel. Sebenarnya tidak jauh jarak kantor dengan hotel, hanya kurang lebih lima menit perjalanan tanpa macet.

Mira melemparkan botol minuman bervitamin C itu ke dalam tempat sampah di samping meja kerja Aluna. Gadis itu sempat ingin mencoba beberapa tetes minuman yang masih tersisa di sana, tapi ia pun mengurungkan keinginannya itu dan langsung membuangnya begitu saja. Ia sangat yakin, tidak ada sesuatu yang aneh dengan minuman itu, hanya saja Aluna yang sedang kurang enak badan karena terlalu banyak bekerja akhir-akhir ini.

***

Ponsel Aluna kembali berdering, gadis itu melihat layar ponsel, mematikan notifikasi suara, dan meletakkannya kembali ke dalam tas. Aluna merasa bahwa Hamzah terlalu berlebihan. Ini bukan hari pertama Aluna bekerja, gadis itu sudah tiga tahun bekerja di perusahaan itu. Perusahaan milik Umar, anak dari pamannya sendiri.

"Aduh ya Allah, sakit sekali." Jemari Aluna menekan kedua belah pelipisnya, ia merasa sedikit mual dan sakit kepala, bahkan tengkuknya pun terasa sangat kaku. Gadis itu mengambil minyak kayu putih yang tadi diberikan oleh Mira, sahabatnya. Aluna menuangkan sedikit minyak kayu putih dan menggosoknya di pelipis, dan tidak lupa ia pun menggosoknya di bawah hidung, serta leher bagian belakang.

Sampai di parkiran hotel, Aluna langsung bertemu dengan Hendra, sekretaris Umar. “Kamu membawa semua dokumennya?” tanya Hendra tegas. Sepertinya Umar susah meminta Hendra untuk menunggu Aluna di tempat parkir.

“Tentu saja.” Aluna berjalan masuk ke dalam hotel bersama Hendra. Kepalanya terasa sangat berat. “Hendra, kepalaku sakit banget!” ucap Aluna mengeluh kepada Hendra.

“Apa kamu baik-baik saja?” Hendra tampak panik ketika langkah Aluna sudah mulai gontai. “Lun ... Lun ...,” panggil Hendra panik. Aluna masih bisa melihat samar ke arah Hendar. Gadis itu pun masih bisa mendengar ucapan rekan kerjanya itu dengan jelas. Namun, tubuhnya terasa sangat lemas dan sakit kepala yang hebat memaksanya untuk memejamkan mata.

Hendra menangkap tubuh Aluna yang hampir saja terjatuh. Laki-laki berumur tiga puluh tahun itu pun menyandarkan dirinya di tembok hotel agar bisa menahan tubuh Aluna. Wajah Hendra tampak sangat panik, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini.

Hendra merogoh saku celananya, mengambil ponsel dengan susah patah, kemudian menelepon seseorang dengan nada sangat khawatir. “Ayo lah angkat!” ucap Hendra panik. Laki-laki itu kembali menelepon untuk beberapa kali. Hingga yang ke lima kali barulah ia bisa berbicara dengan orang yang ia telepon. “Hallo, Pak, tolong bantu saya! Bu Aluna di lower floor hotel!” Hendra langsung mematikan ponselnya.

Aluna yang sudah tidak berdaya pun pasrah saja tuhubnya dipegang oleh laki-laki yang bukan mahramnya. “Oh, ya Rabb, apakah ini waktunya malaikat maut meminangku?” batin Aluna. Seketika setelahnya, pandangannya pun gelap Aluna tidak mendengar apa pun lagi, ia tidak tahu apa yang terjadi setelahnya.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Neng Gemoy
cerita nya keren banget kak, Aluna sabar ya
goodnovel comment avatar
Ahmad Rivaldi
Aluna sabarr yaaa
goodnovel comment avatar
Shetie K
cerita yang sangat keren .........️
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status