Share

Merasa Hina

Aluna memegang kepalanya yang masih terasa berat, masih ada sedikit rasa mual. Namun tidak separah sebelumnya. Mata Aluna terbelalak melihat tubuhnya tertutup selimut tanpa sehelai pakaian pun di atas ranjang hotel. Air matanya mengalir, dadanya terasa sesak, bahkan rasanya sulit untuk bernapas. Hari ini, kehormatan yang ia jaga selama dua puluh tiga tahun musnah begitu saja.

"Ya Allah, kenapa ini semua terjadi kepadaku? Apa dosaku ya, Allah, sehingga aku harus diuji dengan ujian seperti ini?"

Gadis bermata bulat itu mengambil selembar kain hitam penutup wajahnya. Ia meremas kain itu kuat-kuat, Aluna tidak tahu apa yang harus ia katakan kepada kedua orang tua dan calon suaminya nanti. Dengan langkah gontai, Aluna berjalan menuju balkon hotel, tangannya mencengkeram erat pagar besi setinggi dada orang dewasa. Ia pun memejamkan mata, memantapkan diri untuk menyudahi segalanya.

"Mungkin ini jalan terbaik, aku tidak mampu menanggung semua ini."

Dengan berbalut selimut putih, Aluna mengangkat sebelah kakinya untuk memanjat pagar besi. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, menahan rasa sakit di bagian berharga miliknya. Air matanya masih saja tidak berhenti mengalir. Ia merasa ujian ini terlalu berat.

“Allahu Akbar ... Allahu Akbar ....” Gema suara adzan berkumandang. Tangan Aluna gemetar, ia pun menurunkan kakinya dan duduk lemas bersabar pada pagar. Tubuhnya tersungkur meringkuk di atas lantai balkon hotel.

“Ya Allah, seandainya aku mati sebelum ini, aku tidak perlu takut menghadapi hari esok. Aku sudah kotor, menjijikan, dan ternoda. Ya Rabbi, apakah engkau benar-benar ada? Kenapa engkau limpahkan ini padaku? Dosa apa yang membuat-Mu mengujiku dengan ujian seberat ini? Aku menghamba kepada-Mu, aku hamba-Mu, aku mencintai-Mu, tapi apa yang engkau takdirkan padaku? Aku menjaganya karena-Mu, tapi kenapa engkau mengijinkan seseorang menodaiku?” Aluna berbicara pelan dengan terisak, ia terus saja menyalahkan takdir yang menimpanya. Bahkan ia tidak terlalu yakin jika Tuhan benar-benar ada dan peduli dengannya. Hidupnya kini sudah hancur, sudah tidak ada lagi harapan. Ia yakin, Hamzah tidak akan menerimanya, dan keluarganya mungkin akan mengusirnya karena malu.

Gerimis pun turun membasahi tubuh Aluna yang masih meringkuk di atas lantai dengan berbalut selimut hotel. Langit sepertinya ikut bersedih dengan apa yang dialami gadis itu. Rasa dingin mulai menusuk tubuh mungil Aluna, gadis itu pun menyerah dan kembali masuk ke dalam kamar dengan langkah yang sedikit gontai. Ia berjalan pelan, menahan rasa sakit setiap kali kakinya melangkah. Bahkan, sore itu, langit pun ikut menangis.

Aluna melepaskan selimut basah yang membalut tubuhnya. Ia berjalan masuk ke kamar mandi kemudian menyalakan shower. Gadis itu hanya terdiam di bawah guyuran air panas, yang semakin lama semakin panas. Uang air panas membuat kaca kamar mandi menjadi buram. Namun, gadis itu tidak peduli sama sekali dengan keadaan itu. Padahal sebelumnya ia selalu membuat goresan di permukaan kaca yang berembun. Ia masih tidak bisa menerima dengan apa yang terjadi pada dirinya.

Aluna menatap kedua belah telapak tangannya yang mulai keriput, kemudian mengepalkannya kuat-kuat. “Aku akan membunuhnya dengan tanganku sendiri!” bisiknya dengan senyum penuh kemarahan tersungging di bibir Aluna.

Gadis itu pun bertekad untuk membalas dendam dengan semua yang terjadi kepadanya hari ini. Namun sayangnya, ia pun tidak tahu kepada siapa ia harus menuntut balas. Apakah kepada Hendra? Atau kepada siapa?

“Selamat malam!” ucap seseorang dari luar kamarnya diikuti suara ketukan pintu sebanyak tiga kali. Suara itu membuat Aluna segera bangkit dan menyambar handuk yang ada di bagian luar kabin mandi. Ia segera berpakaian rapi, lengkap dengan cadar yang menutupi wajah cantiknya.

Aluna berjalan menuju pintu kamar hotel dan membukanya. Seorang petugas hotel berdiri di depan pintu dengan sebuah buket bunga dan coklat kesukaannya di tangan kiri. Perempuan paruh baya itu tampak cantik dengan seragam hotel yang berwarna hitam, membuat wajah sawo matangnya tampak lebih bercahaya. Cepol harnet membuat rambut wanita itu tampak sangat rapi.

“Iya selamat malam, ada apa?” tanya Aluna tegas. Gadis itu menyembunyikan kehancurannya. Ia tidak ingin jika orang lain melihatnya lemah. Bahkan orang yang tidak ia kenal sekalipun.

“Ada seorang laki-laki menitipkan ini kepada saya untuk Anda!” ucap perempuan paruh baya yang masih saja berdiri di depan pintu. Aluna tidak mempersilahkan petugas itu masuk sama sekali.

“Siapa?” Aluna menerima buket bunga yang disodorkan oleh wanita berbaju hitam itu.

“Saya tidak tau, hanya saja laki-laki itu bilang, ada surat di sana. Mungkin Anda bisa melihat nama pengirimnya di surat itu. Sepertinya dia sangat perhatian kepada Anda. Beliau meminta saja membantu Anda jika ada yang dibutuhkan. Apa ada yang perlu saya bantu?” tanya petugas hotel dengan intonasi cara yang jelas dan lembut. Aluna hanya menjawab dengan menggelrng kepala. “ Oh, ya sudah, saya pamit dulu, Nona!” lanjutnya. Wanita paruh baya itu pun bergegas pergi meninggalkan kamar Aluna.

“Bu ...,” ucapnya pelan. Gadis itu mengurungkan niatnya untuk memanggil petugas hotel yang memberikan buket bunga pada beberapa detik lalu. Ia pun bingung, apalagi yang akan ia tanyakan kepada wanita paruh baya itu. Apalagi dia baru saja menolak tawaran bantuan darinya.

Aluna berjalan pelan sambil menahan rasa sakit. Ia meletakan buket bunga di atas meja, kemudian gadis itu duduk di atas sofa dan mengambil sebuah surat yang dibalut dengan amplop berwarna biru muda. Warna yang paling ia sukai. Aroma amplo itu sama persis dengan aroma parfum yang ia pakai setiap hari, lembut, dan menenangkan.

Aluna membuka surat itu dan membacanya pelan, “Manis coklat ini memang tak semanis madumu yang kuteguk semalam, bahkan kamu tidak memberikan perlawanan. Aku yakin, semalam kamu pasti menikmatinya. Aku melihat guratan senyum dari wajahmu, walau kamu selalu menutup mata saat kita melakukannya. Lun, aku yakin kamu saat itu sedang menahan rasa sakit karena perbuatan kita semalam. Namun, rasa sakit yang kamu rasakan saat ini, aku pun ikut merasakannya. Hanya aku yang berhak membahagiakanmu, jika aku tidak bisa memilikimu, maka tidak ada satu orang pun yang boleh menerimamu. Maafkan aku Aluna, aku sangat mencintaimu.”

Suara gemeretak gigi beradu terdengar cukup keras. Aluna mengambil buket bunga itu dan melemparkannya ke atas lantai dengan sekuat tenaga. “Iblis kau!” teriak Aluna.

Aluna kembali duduk dan membolak-balik kertas dan amplop biru muda itu, tidak ada keterangan apa pun. Ia tidak tau siapa pengirimnya, apalagi surat itu tidak ditulis tangan.

“Ya Allah, siapa yang berbuat semua ini?” ucap Aluna diikuti isak tangis. “Apa Hendra yang melakukannya padaku? Tapi kenapa? Ini tidak mungkin.” Gadis itu kembali tersungkur di atas lantai kamar hotel. Setelah membaca surat itu, kini perasaannya semakin hancur. Aluna mengambil kembali buket bunga itu dan kembali melemparkannya sekuat tenaga, hingga cokelat-cokelat itu berantakan di atas lantai.

"Manusia Biadab!"

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Ahmad Rivaldi
hendra kamu kenapa si
goodnovel comment avatar
Radens
Aluna terlalu naif kayaknya ya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status