Share

Tenang Sejenak

“Mari kami bantu masuk!” ucap seorang perempuan yang lebih muda.

“Untuk apa?” tanya Aluna sedikit curiga. Aluna memang orang yang scaptis, dia tidak percaya dengan kebaikan orang yang tidak ia kenal. Ia yakin, jika semua orang mempunyai tujuan tertentu dibalik kebaikannya. Apalagi dia baru saja mengalami kejahatan yang luar biasa.

“Kamu terlihat sangat lelah, mari beristirahat sebentar. Kami memiliki beberapa makanan halal yang bisa kamu makan. Setelah kebaktian selesai, Pendeta Brian akan menemuimu lagi.” Suster itu mencoba merayu Aluna agar gadis itu mau mengikuti keduanya.

“Baik lah.” Aluna yang sudah benar-benar lemas pun pasrah dan menuruti ajakan kedua suster itu. Mereka bertiga berbincang dengan hangat, beberapa jamaat gereja terlihat tertegun menatap ke arah Aluna. Penampilan gadis itu pasti sangat mengundang penasaran para jamaat. Mereka bertiga berjalan masuk ke area yang lebih dalam, hingga ke belakang gereja. Ada asrama khusus suster dan biara wari di sana.

Suster yang lebih muda membuka pintu, kemudian mempersilakan Aluna masuk ke dalam kamar. “Masuklah, ini kamar kami berdua. Perkenalkan ini kakaku Matilda Larasati dan aku Soraya Larasati.”

“Saya Aluna!” Aluna menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Apakah boleh?” tanya Matilda.

“Kamu perempuan, tidak ada larangan.” Aluna menjabat tangan Matilda yang tampak masih ragu.

“Maaf, aku tidak tau banyak. Aku dan kakaku dibesarkan di sini dari usia empat dan lima tahun. Tidak ada yang tau siapa otang tua kami, hanya ada sepasang kalung nama yang kami kenakan saat itu. Dan saat ini udah ga muat lagi.” Matilda menjelaskan keadaannya, sambil mengambil patung Bunda Maria yang ada di atas meja kecil di samping pintu masuk kamar.

“Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak perlu memindahkannya!” ucap Aluna saat Matilda hendak menyimpan patung itu di dalam laci.

“Pendeta meminta kami membuat kamu merasa nyaman dan tidak terganggu.”

“Aku tidak merasa terganggu kok , keyakinan adalah hak semua orang, dan kita harus saling menghormati keyakinan masing-masing.” Aluna membuka cadarnya, menunjukan wajah cantiknya yang sedikit pucat.

Soraya mendorong pintu kamar yang tertutup. Hal itu membuat Aluna segera menutup kembali cadarnya karena kaget. “Astagfitullah!” gumamnya pelan.

“Aku membawa sedikit makanan untukmu.” Soraya meletakan nampan berisi roti dengan logo halal dan susu kotak coklat merek terkenal. Aluna yakin jika Soraya pasti baru membelinya di minimarket yang ada di dekat gereja. “Makan lah!” Soraya menyodorkan roti kepada Aluna.

“Terima kasih. Apa kalian memiliki charger?” Aluna membuka kembali penutup wajahnya. Hal itu membuat Matilda dah Soraya tertegun kagum melihat kecantikan gadis itu.

“Apa kamu bidadari yang terjatuh dari surga?” Senyum di wajah Soraya merekah saat Matilda berbicara konyol kepada Aluna.

“Apa kalian mengejekku? Kalian bahkan terlihat lebih manis dariku.” Aluna mengambil ponsel setelah Matilda menyodorkan sebuah charger kepadanya.

Ketiganya tertawa renyah. Sejenak Aluna melupakan beban rasa sakit dan sedih yang ia rasakan. Dunia seperti kembali ceria, ketiganya berbincang banyak hal remeh. Aluna menatap keduanya dengan senyum manis, ia melihat ketulusan dari sorot mata Matilda dan Soraya. Aluna selalu hidup dalam kecukupan, meski keluarganya bukan orang kaya raya, tetapi mereka hidup lebih dari cukup. Ayahnya memiliki toko karpet import di Pasar Tanah Abang dan ibunya adalah ibu rumah tangga yang memiliki pekerjaan sampingan sebagai pemilik konfeksi baju anak yang ada di samping rumahnya.

Aluna meneguk habis dua kotak susu coklat yang dibawa Soraya untuknya. “Apa kamu masih merasa haus?” tanya Matilda.

“Tidak, ini sudah lebih dari cukup. Entah apa yang harus aku lakukan untuk membalas kebaikan kalian.” Aluna merasa bersalah karena sebelumnya dia sempat menaruh kecurigaan kepada Matilah dan Soraya.

“Tuhan akan memberikan balasan terbaik untuk kami.” Soraya menggenggam tanda salip yang ada di dadanya dengan penuh keyakinan.

Suara ketukan pintu membuat Aluna kembali menutup wajahnya dengan cepat. Benar saja, ketika pintu kamar itu di buka, Brian sudah berdiri di depan pintu.

“Apa keadaanmu sudah membaik?” tanya Brian kepada Aluna.

“Sudah jauh lebih baik.”

“Apakah kita bisa berbicara di luar?” Laki-laki berwajah oriental itu berbicara dengan sangat sopan kepada Aluna. Hal itu tentu saja membuat Aluna kagum dan seolah terkena hipnotis. Ia menuruti saja apa yang diminta oleh Brian. Aluna keluar dari kamar itu, meninggalkan Matilda dan Soraya, teman yang baru satu jam lalu ia kenal.

“By the way, thank you so much for your kindness,” ucap Aluna pelan sambil memainkan ujung kerudungnya. Gadis itu berjalan pelan di samping kiri Brian agak sedikit ke belakang. Sebenarnya Aluna sedikit malu karena dia kembali menjadi pusat perhatian para jamaat yang baru saja keluar dari gereja setalah selesai kebaktian Sabtu pagi.

“No meetter for me, duduk lah. Oh ya, maafkan saya!” ucap Brian. Laki-laki itu sepertinya ragu menatap ke arah Aluna yang sedang duduk di kursi taman yang ada di depannya.

“Maaf untuk apa?” Aluna mengernyitkan dahinya.

“Aku sungguh-sungguh tidak sengaja menabrakmu. Saya sedang menerima telepon tadi.” Tampak rasa bersalah terpancar dari wajar Brian.

“Menabrak?” tanya Aluna dengan sedikit tawa geli bercampur malu. “Anda tidak menabrak saya, saya jatuh karena kaget dan lapar.”

Keduanya tertawa kecil. Brian mulai bertanya tentang hal yang melatar belakangi kejadian satu jam yang lalu. Aluna awalnya ragu apakah ia akan bercerita kepada Brian, tapi setelah Brian meyakinkan Aluna bahwa dia bisa dipercaya, gadis itu pun bercerita kepada Brian. Walau tidak semua ia ceritakan, setidaknya perasaannya kali ini sedikit lebih ringan. Setelah lama berbincang, Aluna dan Brian pun saling bertukar kontac.

Baru saja Aluna mengambil ponsel kemudian membuka pesan di W******p, sudah banyak sekali pesan masuk dan panggilan tak terjawab. Namun, gadis itu mengabaikan semua itu. Ia tidak tau jawaban apa yang akan ia berikan kepada Hamzah.

“Ayo aku antar pulang ke rumahmu!” Brian menawarkan tumpangan kepada Aluna. Namun, Aluna berpikir sejenak. Ia yakin sekali jika Hamzah pasti ada di rumahnya sekarang. Apalagi kedau keluarga hari ini sudah memiliki janji temu untuk membicarakan Upacara Malam Pacar. Gadis itu takut jika keluarga Hamzah dan Hamzah melihatnya turun dari mobil seorang laki-laki, mereka pasti akan berpikir yang tidak-tidak.

“Bagaimana kalau kamu antar aku ke kantor saja. Ada barang yang harus aku ambil di sana.” Aluna yakin jika Brian mengantarnya ke kantor adalah hal yang terbaik, ia berpikir bahwa semua pasti akan aman saja. Setalah dari kantor ia berencana pulang dengan taksi online.

“Oh boleh!” Keduanya beranjak dari kursi taman. Sebelum benar-benar pergi dari gereja itu, Aluna pun menemui Soraya dan Matilda sekedar mengucapkan selamat tinggal dan berterima kasih.

Jarak antar Gereja Katedral dan kantornya tidak jauh, kurang lebih lima menit perjalanan. Lima menit berlalu, keduanya sudah sampai di depan kantor. Dari arah yang berlawan Aluna melihat mobil Hamzah berbelok ke arah kantor. Jantung Aluna berdetak sangat cepat, gadis itu pun bingung. Apa yang harus ia lakukan saat ini. Jika ia turun dan Hamzah melihatnya satu mobil dengan laki-laki pasti calon suaminya itu akan marah besar. Aluna menatap ke arah Brian yang duduk di sampingnya.

“Ada apa?” tanya Brian bingung.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status