Share

Bertemu Hamzah

Aluna menundukkan kepala, ia berharap Hamzah tidak melihatnya. Gadis itu menarik napas dalam-dalam dan sejenak memejamkan mata agar bisa berpikir dengan tenang. “Apa kamu baik-baik saja?” tanya lagi, sepertinya Brian mulai khawatir.

“Hem, apa kamu mau membantuku sekali lagi?” pinta Aluna dengan ragu.

“Katakan saja, jika bisa aku pasti akan membantumu.” Sebenarnya Brian agak ragu dengan jawabannya kali ini.

“Antarkan aku kembali ke gas masuk depan, di Jalan Bungur Besar. Lebih baik aku berjalan kaki saja dari sana. Aku takut terjadi fitnah nanti jika ada rekan kerja yang melihatku turun dari mobil seorang laki-laki.” Aluna berbicara dengan setengah berbohong.

“Oh, kirain apaan, ya, Tuhan.” Brian mengembuskan napas lega. Ternyata yang diminta oleh Aluna bukan hal yang sulit.

***

“Kamu yakin akan turun di sini?” tanya Brian setelah sampai di tempat yang diminta oleh Aluna.

“Iyah, terima kasih atas semua bantuanmu!” Aluna menatap ke arah Brian yang juga sedang melihat ke arah wajahnya.

“Tidak perlu sungkan. Kalau kamu membutuhkan bantuanku, kamu bisa meneleponku kapan saja,” ucap Brian saat Aluna mulai membuka pintu mobil miliknya.

Setelah turun dari mobil Brian, Aluna pun melambaikan tangan ke arah laki-laki itu. Ia pun bergegas ke kantornya untuk mengambil dompet dan menemui calon suaminya yang masih ada di sana.

“Selamat siang, Bu!” sapa seorang satpam yang sedang berjaga di pos.

“Siang, Pak!” sapa Aluna sambil terus berjalan. Setalah sampai di kantor, Aluna langsung naik ke lantai dua. Ia yakin sekali calon suaminya sudah menunggu di ruang tamu kantor. Hamzah bukan lah orang asing di perusahaan itu. Bibinya Hamzah adalah ibunya Umar, sedangkan ayahnya Umar adalah pamannya Aluna. Mereka sebenarnya adalah teman dari kecil, ketiganya adalah kerabat dekat.

“Lun!” panggil Hamzah saat Luna baru saja sampai di lantai dua. Hamzah seperti memiliki firasat yang sangat kuat tentang Aluna. Aluna pun kaget, ia tidak menyangka jika calon suaminya itu ternyata sudah berdiri di lantai dua dekat tangga.

“Astagfirullah, hampir saja kamu membuatku mati berdiri kerana kagat.” Aluna yang kesal pun berjalan melewati calon suaminya begitu saja. Gadis itu masuk ke dalam ruangannya. Di tempat itu sangat sepi, hanya ada tiga orang karyawan yang sedang lembur. Ketiganya pun menyapa Aluna.

“Selamat siang.” Aluna menjawab sapaan singkat, ia masih merasa sangat kaget. Aluna duduk di kursi kerjanya. Ia menarik laci mejanya, benar saja dompet dan charger miliknya ada di tempat itu. Aluna menarik tempat sampah yang ada di bawah meja kerjanya, ia ingin mengambil botol bekas kemarin dan membawanya ke lab. Dia yakin sekali ada sesuatu yang salah dengan minuman pemberian Mira. Namun sayangnya, tempat sampah itu sudah kosong.

Aluna mengambil ponsel yang ia simpan di dalam tasnya. Ia merasa sangat curiga kepada Mira. “Lun!” Hamzah kembali memanggilnya, sesaat sebelum Aluna menghubungi Mira. Aluna pun meletakan ponselnya di atas meja. Ia tidak jadi menelepon sahabatnya.

“Ada apa? Aku sedang sibuk!” ucap Aluna kesal kepada Hamzah.

“Dari mana kamu dua hari ini?”

“Kerja!” jawab Aluna ketus. Di saat seperti ini, Aluna hanya membutuhkan tempat untuk bersandar, bukan di berondong dengan segala pertanyaan yang membuatnya terpojok dan tidak nyaman. “Kamu bisa tanya sama Umar dan Mira, aku meeting maraton dari kemarin. Aku kecapean makanya aku menginap di hotel seperti biasa.”

“Kamu meeting bersama Umar dan Mira?” Hamzah menatap wajah Aluna dengan tatapan penuh kecurigaan. Hamzah seperti mengetahui sesuatu, tapi laki-laki itu mencoba untuk menutupinya.

“Iya dengan Umar, tidak dengan Mira,” jawab Aluna jujur.

“Kenapa kamu berbohong? Ke mana kamu dua hari ini? Kenapa kamu menghilang? Kalau kamu tidak mau dengan perjodohan ini, kita bisa membicarakannya dengan baik!” Hamzah berbicara dengan suara yang semakin meninggi.

“Aku sudah bicara jujur, Hamzah!” ucap Aluna pelan sambil menekan suaranya. Ia merasa risih ketika melihat tiga rekan kerjanya mulai melihat mereka berdua.

“Jujur? Asal kamu tau, dua hari ini Umar selalu datang ke rumahku mengantarkan abahnya, membicarakan tentang pesta pernikahan kita empat hari lagi. Sedangkan kamu, ah sudah lah. Subhanallah!” ucap Umar sambil berjalan meninggalkan Aluna yang masih duduk di meja kerjanya.

“Hamzah! Tunggu!” ucap Aluna sambil beranjak dari tempat duduknya. Gadis itu mengejar calon suaminya. Kali ini Aluna semakin bingung dengan segala hal yang terjadi. Kenapa semuanya menjadi semakin rumit. Aluna semakin yakin jika Hamzah mengetahui sesuatu, tapi gadis itu pun bingung bagaimana cara menanyakannya kepada Hamzah.

Aluna membuka pintu mobil Hamzah dan duduk di kursi samping kemudi. Ia melihat wajah Hamzah yang memerah. Aluna semakin yakin jika ada seseorang yang sudah membuat laki-laki itu menjadi marah kepadanya.

“Itaqillah Aluna! Bertaqwallah kepada Allah!” ucap Hamzah dengan nada kesal.

“Ada apa?” tanya Aluna.

“Kalau kamu tidak menghendaki pernikahan ini, kenapa kamu menyetujuinya? Apa aku memaksamu? Apa orang tuaku memaksamu?”

“Wallahi aku mencintaimu. Dari kecil kita selalu bersama.”

“Cinta? Lalu siapa laki-laki yang bersamamu di hotel?” Aluna membuka lebar matanya. Gadis bercadar itu pun kaget dengan apa yang dikatakan oleh Hamzah. Ia tidak menyangka jika Hamzah mengetahui apa yang terjadi kepadanya.

“Kenapa kamu menuduhku seperti itu?” Aluna mencoba untuk mengelak. “Siapa yang bilang?”

“Laki-laki itu sendiri. Aku pikir kamu menutupi seluruh tubuhmu hanya untukku, aku pikir kamu mengistimewakan aku, ternyata kamu ....” Hamzah berhenti berbicara. Laki-laki itu tidak kuasa menaran rasa sakit yang menyeruak di dadanya. Jika saja ia tidak mencintai Aluna, mungkin dia sudah memukul gadis itu.

“Kasih tau aku, siapa dia!” ucap Aluna kesal. Aluna merebut ponsel yang ada di tangan Hamzah.

“Kamu lebih tau siapa dia, bukan aku.”

“Tapi kamu bilang dia mengatakannya langsung kepadamu.” Aluna menekan Hamzah untuk memberikan informasi kepadanya.

“Dia mengirimkan poto kalian berdua dari ponselmu. Apa yang kalian lakukan?” Hamzah berbicara dengan mata menatap lurus ke depan. Ia tidak melihat ke arah calon istrinya itu sama sekali. Padahal, sebelumnya dia sangat lembut dan sangat mencintai Aluna.

Aluna segera membuka ponselnya, membuka pesan Hamzah. Gadis itu membaca beberapa pesan dari Hamzah. Ia melihat potonya tanpa kerudung sedang bersandar di dada seorang laki-laki. Tapi di poto itu, ia masih mengenakan pakaian. Tangan kanannya memeluk laki-laki itu. Sayangnya wajah laki-laki itu tidak terlihat sama sekali.

"Mas, ini semua salah paham!"

"Salah paham? Aku tidak buta, Lun! Apa aku masih harus percaya kepadamu?"

Aluna hanya menangis, kali ini perasaannya benar-benar hancur. Ia tidak tau lagi apa yang harus dia katakan kepada Hamzah. Ia tidak menyangka kejadian ini begitu cepat. Padahal ia berpikir, bagaimana cara menceritakan kepada Hamzah. Namun kali ini, bahkan Hamzah sudah melihatnya sendiri, sebelum ia mengatakan apa pun.

"Maafkan aku, Mas!"

Aluna menatap ke arah Hamzah penuh dengan rasa bersalah. Ia melihat calon suaminya yang menenggelamkan kepalanya di atas kemudi mobil. Aluna yakin, perasaan Hamzah kali ini pun kacau.

Aluna berada di posisi yang serba salah, ia pun bingung apa yang harus ia katakan sekarang kepada Hamzah.

"Mas, Kita bisa membicarakan ini, Mas!"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Radens
tegang bacanya. gila aja. makin dibuat penasaran. siapa laki2 itu weee?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status