Share

Bab 3. Deja Vu

Tiba-tiba, Vega memanggil nama Alberto dengan lantang. Hal itu membuat Alberto kaget dan heran.

“Ya, Prof.,”

"Apa kamu melamun, Alberto?" Vega menekuk wajahnya dan menatap Alberto dengan tatapan tajam karena ia merasa kesal dengan tingkah Alberto yang tidak memerhatikannya saat mengajar di kelas. Vega telah berusaha untuk menunjukkan kemampuannya yang terbaik, tapi Alberto malah tidak peduli dengan penampilannya sampai-sampai Alberto pun tidak mendengar saat dirinya dipanggil.

“Enggak, Prof.” Alberto berbohong.

“Terus, kenapa kamu kaget?” marah Vega dengan suara kencang.

“Aku cuman kaget dengan tingkah profesor di kelas hari ini.” Alberto mengungkapkan rasa kagetnya.

“Saya juga kaget dan surprised dengan sikapmu, Alberto. Saya sedih karena kamu tidak memperhatikan saya dari tadi. Saya sudah mencoba yang terbaik untuk mengajar di kelas ini tetapi tidak ada yang memperhatikan saya termasuk Anda, Alberto! Vega mengungkapkan rasa sedihnya.

“Saya perhatiin, kok, Prof!” Alberto berbohong kembali.

“Oke. Jadi, jawaban untuk pertanyaan ini apa?” Vega menunjuk ke soal yang ada di papan tulis.

Alberto langsung berbisik kepada Dario, “Dar, please, kasih tahu aku jawabannya! Seingatku, dia nggak ngajarin kita tentang ini, deh!”

“Maafkan aku, Alberto. Aku juga tidak tahu jawabannya. Kata-katamu benar. Dia tidak mengajari kita tentang ini." kata Dario.

“Terus, kenapa dia tanya tentang ini?” tanya Alberto.

"Ya, aku tidak tahu. Anehnya, kamu malah tanya ke aku lagi. Kenapa kamu enggak bertanya ke dia saja?” Dario langsung angkat bahu karena dia benar-benar tidak mengerti dengan alasan Prof. Vega bertanya seperti itu.

 “Oh my god! Apa jawabannya? Apa yang harus saya katakan?" Alberto berkata dalam hati dengan sangat panik.

Alberto mencoba untuk tenang dan membaca kembali soal yang ada di papan tulis. Sesaat kemudian, ia baru teringat bahwa, Vega pernah memberi tahu Alberto mengenai hal tersebut. Alberto mencoba untuk mengingat-ingat hingga ia ingat dengan materi tersebut. Alberto langsung menjawab dengan lantang, “Sistem saraf pusat.”

“Ya, jawabannya benar. Tapi itu tidak membuktikan kalau kamu memerhatikan perkuliahan saya tadi,” ucap Vega.

“Tapi, Prof. Dario tidak memberi saya jawaban apapun,” keluh Alberto.

“Tapi, kamu bicara dengan Dario untuk meminta jawaban. Kamu bisa saja berbohong bahwa, kamu tidak diberi jawaban oleh Dario. Padahal, mungkin saja Dario memberimu jawaban.” Muka Alberto langsung pucat karena ia merasa kaget dengan perkataan Vega. Mau ataupun tidak mau membuat Alberto harus menuruti perintahnya.

“Oh my god! Kenapa sekarang dia malah mau memberiku pertanyaan lagi?” Alberto langsung memutar kedua bola matanya karena ia merasa sangat malas.

Tidak lama kemudian, slide pun berganti. Slide menunjukkan diagram mengenai sistem saraf. Mata Alberto langsung melotot saat melihat diagram. Seingat Alberto, ia tidak pernah melihat diagram tersebut.

“Okay. Tolong, bantu saya jelaskan siklus ini ke teman-temanmu!” Perintah Vega yang membuat jantung Alberto berdetak tambah kencang.

Mukanya pucat. Ia merasa sangat panik. Ia hanya bisa berdoa dan berharap agar Tuhan menolongnya. Setelah itu, ia menghembuskan napasnya dan mencoba untuk menenangkan dirinya.

Ia melihat diagram tersebut lagi. Tidak lama kemudian, ia merasa bahwa, ia pernah melihat diagram tersebut sebelumnya tapi ia lupa di mana ia melihat siklus tersebut. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya hingga ia teringat bahwa, Vega pernah mengajari Alberto tentang hal tersebut dahulu karena memang cita-cita Alberto dahulu adalah menjadi dokter.

Ia sangat ingin masuk ke kuliah kedokteran, tapi naas ia tidak memiliki banyak uang. Alberto langsung menjelaskan siklus tersebut yang ia bisa. Setelah Alberto menjelaskan, Vega langsung tersenyum. Vega merasa senang karena Alberto masih mengingat materi yang pernah ia ajarkan dahulu dengan baik dan itu artinya momen-momen dirinya bersama Alberto masih ada di ingatan Alberto.

“Aku rasa, ia masih mencintaiku. Kalau ia sudah tidak mencintaiku, mengapa ia masih mengingat-ingat momen-momen diriku bersamanya? Tentu saja, ia sudah lupa mengenai momen-momen itu jika ia memang sudah bisa move on dariku kepada Lorena. Dia adalah orang yang pelupa dan tidak semua hal mampu ia ingat dengan baik,” ucap Vega dalam hati.

“Itu artinya poin bagus untukku. Aku punya satu langkah lebih maju daripada Lorena. Lagi pula, siapa yang mencintai wanita jelek itu? Aku rasa, tidak ada. Dia adalah wanita yang mencoba untuk mendapatkan hati Alberto dengan gigih,” ucap Vega lagi dalam hati.

“Okay. Good! Ingatanmu masih kuat! Saya salut dengan kecerdasanmu dan ingatanmu, Alberto!” Pujian Vega yang membuat Dario mengernyitkan dahinya dan menatap ke arah Alberto dengan tajam.

Dario merasa bingung dengan ingatan yang dimaksud oleh Professor Vega. Bagi Dario, ucapan Professor Vega sangat aneh.

“Aku percaya kamu perhatiin aku tadi. Terima kasih, ya, sudah perhatiin saya tadi!”

“Sama-sama, Prof.”

Setelahnya, Alberto mengembuskan napasnya dengan berat karena ia merasa lega. Ia mampu menjelaskan dengan baik yang membuatnya tidak mendapatkan hukuman dari Vega.

“Ingatan? Ingatan apa? Aku merasa sangat bingung dengan kata-kata Professor Vega,” bisik Dario.

“Entahlah!” Alberto mengangkat bahu dan menurunkan kedua bahunya.

“Aku juga bingung! Yang penting, aku tidak mendapatkan hukuman lagi darinya,” bisik Alberto.

Secara tidak sengaja, perkataan Dario dan Alberto didengar oleh Vega. Hal itu membuat Vega langsung menatap ke arah mereka. “Kamu bingung ingatan yang mana?”

Mata Alberto dan Dario langsung melotot karena mereka merasa sangat kaget. Lalu, mereka melirik satu sama lain, karena mereka merasa bingung. Alberto pun langsung mengernyitkan dahi. Ekspresi mereka sangat menunjukkan perasaan mereka sehingga Vega mampu mengerti apa yang mereka pikirkan dan rasakan.

“Alberto, kamu temui saya setelah kelas ini!” perintah Vega sebelum ia melanjutkan mengajar kembali.

Alberto langsung menekuk wajahnya. Muka Alberto merah padam. Ia menatap Dario dengan tatapan tajam.

“Ah! Gara-gara kamu, Dario, aku jadi harus menemui Professor Vega seusai kelas.”

Dario langsung tertawa melihat ekspresi Alberto. “Ya, enggak apa-apa! Justru bagus bertemu mantan! Mungkin saja, kalian balikan.”

“Enak saja! Mantan itu mantan. Tidak akan pernah aku balikan dengan dia,” marah Alberto.

“Kita lihat saja nanti! Apa kamu bisa menolak dirinya yang sangat menawan, gairahnya yang sangat liar, dan godaan sensualnya yang sangat merangsang?” tantang Dario karena ia merasa sangat yakin bahwa, Alberto akan mencintai Profesor Vega kembali.

“Ya, kita lihat saja!” Alberto menerima tantangan Dario.

“Bisa-bisa, kamu yang jatuh cinta dengan Profesor Vega,” ejek Alberto.

“Yang ada kamu, Alberto. Bukan aku!” ejek Dario.

“By the way, saya ingin tanya. Siapa penanggung jawab mata kuliah saya di kelas ini?” Prof. Vega mengalihkan pembicaraan.

“Clarinda, Professor.”

“Kalau saya ingin Alberto yang jadi penanggung jawab di kelas ini, bisa?” tanya Vega karena ia sangat ingin Alberto menjadi person in charge of his class on her subject.

Mata Alberto langsung melotot karena Alberto tidak menyangka Vega akan melakukan aksi segila itu. Albert langsung mengernyitkan dahi karena sangat bingung dengan tingkah aneh Vega.

"Gila!" kata Alberto dalam hati.

"Saya? Saya, Prof?” Alberto menunjuk ke arah dirinya sendiri.

Vega langsung tertawa melihat tingkah Alberto. “Ya, kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Di kelas ini, yang namanya Alberto itu cuman kamu.”

"Maaf, Prof. Itu posisi Clarinda. Saya pikir dan saya takut Clarinda dan teman-teman saya akan berpikir bahwa saya ingin mengambil posisi Clarinda. Jadi, saya pikir itu tidak baik.” Alberto berusaha menjawab diplomatis dengan sopan, meski hati kecilnya sangat menolak permintaan Vega.

"Saya tidak mengerti dengan maksudmu, Alberto. Saya pikir, tidak apa-apa. Apa itu benar, Clarinda?” Vega langsung menatap ke arah Clarinda yang duduk di tengah baris kedua.

Jantung Alberto langsung berdetak dengan kencang dan Alberto langsung menggigit bibirnya karena saking gugupnya. Dia tidak ingin menjadi penanggung jawab Vega. Alberto gelisah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali dia berharap Clarinda akan marah dan merasa tidak terima.

Sayangnya, Clarinda tersenyum, matanya berbinar, dan Clarinda berkata dengan ceria dan bersemangat, “Tidak apa-apa, Profesor. Santai saja! Saya sebenarnya berterima kasih, jika Alberto ingin menjadi penanggung jawab kelas ini.”

Ucapan Clarinda langsung membuat Vega tersenyum. Sementara itu, Alberto berkata dengan pelan kepada Clarinda sembari ia menatap Clarinda dengan tajam, “Ya Tuhan! Kenapa kau berkata seperti itu, Clarinda? Mengapa kau tidak bertindak bahwa kau tidak ingin aku menjadi penanggung jawab kelas Profesor Vega?”

“Ya, itu bukan masalah. Itu keuntungan bagi saya. Maafkan aku, Alberto.”

"Kau dengar itu, Alberto?" Vega melotot tajam ke arah Alberto. Alberto hanya menganggukkan kepalanya.

“Jadi, itu berarti kamu setuju.”

"Oke." Alberto langsung menahan napasnya dengan berat karena dia harus menerima ini meskipun sakit hati sangat menolak. Kemudian, Profesor Vega menyebutkan aturan kelasnya. Para siswa mendengarkannya. Tiba-tiba, Profesor Vega berkata, "Untuk penanggung jawab kelas harus menemui saya setidaknya setengah jam sebelum kelas dimulai untuk membantu saya mempersiapkan kelas."

“Maaf, Profesor. Saya tidak bisa.”

"Mengapa?" Vega mengerutkan kening.

“Rumah saya jauh dari universitas ini. Jadi, saya pikir saya tidak bisa,” kata Alberto.

“Kamu sudah menjadi penanggung jawab kelas ini. Jadi, kamu harus bisa melakukan itu.”

"Oke, Profesor." Alberto sangat ingin menamparnya, tetapi dia tidak bisa. Dia memegang tangannya. Kemudian, dia menghembuskan napas berat untuk menghilangkan stresnya.

"Lihat! Sekarang, kamu terjebak dengan permainan Profesor Vega. Kamu harus mengikuti permainannya karena kamu adalah orang yang bertanggung jawab atas kelas ini. Kamu tidak bisa keluar dari perangkapnya.” Dario berbisik kepada Alberto.

"Oh. Ngomong-ngomong, Alberto, jangan lupa temui aku setelah kelas selesai dan bantu aku membawa bukuku! Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.” Vega menatap Alberto dengan tatapan nakal.

"Oke." Alberto menganggukkan kepalanya.

Pelajaran berlanjut sampai selesai. Para siswa diperbolehkan untuk meninggalkan kelas dan segera siswa telah meninggalkan kelas. Sebenarnya Alberto ingin keluar kelas, tapi dia tidak bisa karena dia harus menemui Vega dan membantu Vega. Jadi, Alberto berjalan ke Vega.

Setelah Alberto di dekat Vega, Vega langsung meminta Alberto membawakan buku-bukunya. “Tolong, bawakan buku ini ke ruanganku!”

"Oke, Profesor." Alberto langsung mengambil buku-buku tersebut. Setelah itu, Vega dan Alberto berjalan ke ruang Profesor Vega dengan Alberto yang membawa buku-buku.

“Akhirnya, aku bisa jalan bareng Alberto lagi! Terima kasih Tuhan!" ucap Vega dalam hati saat mereka sedang berjalan berdua.

Sementara itu, Alberto merasa sangat panik. Ia merasa takut Lorena akan melihat dirinya berjalan berduaan dengan Vega. "Ah! Kenapa aku harus berjalan bersamanya? Aku takut semua orang akan membuat gosip tentang kita. Bagaimana dengan Lorena? Akankah dia mengerti kondisiku? Aku khawatir ini akan memperburuk hubunganku dengan Lorena.”

Saat itu, Vega menatap Alberto dengan dalam. Saat Alberto menatap Profesor Vega, Alberto merasa bahwa, tatapan Vega masih sama dengan tatapan Vega saat sebelum mereka tertangkap. Jantung Alberto langsung berdetak dengan kencang. Ia mencoba untuk mengalihkan pandangannya dari Vega tapi Vega terus mencoba untuk menatap Alberto hingga Alberto harus menundukkan kepalanya untuk menghindari tatapan Vega.

Vega yang tersadar dengan tingkah Alberto yang mencoba menghindar darinya langsung menyadari alasan dari tingkah Alberto. Alberto memilih diam karena sangat malu mengungkapkan perasaannya.

"Kamu ingat tentang momen kita, kan?" Vega mencoba menebak.

"Ya, Profesor." Setelahnya, Alberto tersenyum ke arah Vega dan menatap ke arah Vega. Semakin lama ia menatap Vega, ia merasa semakin mencintai Vega.

“Tolong, panggil saya 'Vega' saat kita sedang berdua! Tapi, kalau lagi banyak orang, panggil aku, 'Professor Vega'!” pinta Vega.

“Oke, Vega.”

"Saya senang mendengar itu. Kau selalu ingat saat-saat indah kita. Anda tidak pernah melupakan momen kita. Itu maksud saya tadi di kelas.”

"Oh. Saya mengerti. Tentu saja, saya tidak akan pernah melupakan momen kita karena Anda begitu sempurna di mata saya!” Ucapan Alberto yang membuat jantung Vega langsung berdetak kencang dan pipi Vega memerah.

“Kamu sangat manis dan romantis, Alberto.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status