Ana menunggu kepulangan suaminya hingga pukul delapan malam. Hati dan kepalanya sungguh panas, membayangkan sang suami yang bertamasya dengan keluarga wanita lain. Walau diberi upah karena dia yang menyetir. Tetap saja, hati kecilnya menolak. Apalagi, pesan yang ia kirimkan pada Dini hanya ceklis satu. Apakah nomornya telah diblokir wanita itu?
Tok
Tok"Assalamualaykum, Mbak Ana," suara seorang tetangga wanita yang sangat ia hapal, berseru di balik pintu rumah kontrakannya.
"Wa'alaykumusalam. Sebentar," jawab Ana berdiri dari duduknya, lalu memutar kunci pintu.
"Eh, Mbak Lasmi. Ada apa, Mbak?" tanya Ana terheran. Tetangga wanitanya itu datang membawa dua mangkuk tertutup tisu.
"Ini, saya tadi iseng bikin macaroni panggang. Ini, silakan dicicipi, Mbak. Yang mangkuk kuning untuk Mbak Ana, yang mangkuk merah muda untuk suaminya Mbak Ana."
"Loh, banyak sekali sampai dua mangkuk? Satu saja belum tentu habis, Mbak," ujar Ana dengan perasaan jengah. Ia sangat tahu, ada maksud di balik dua mangkuk yang diantarkan oleh tetangga ini. Apalagi setelah diperhatikan isinya berbeda jauh. Mangkuk untuknya paling berisi tak sampai setengah mangkuk, sedangkan untuk suaminya, mangkuk itu terisi penuh.
"Gak papa, Mbak Ana. Saya sedang ingin berbagi saja. Mas Rangganya belum pulang ya?" tanya Mbak Lasmi lagi dengan kaki sedikit berjinjit untuk melihat keadaan di dalam rumah.
"Suami saya sedang ada urusan. Terima kasih ya, Mbak. Saya tutup pintunya." Tanpa mendengar persetujuan dari tetangganya, Ana menutup pintu, lalu memutar anak kuncinya sebanyak dua kali.
Wanita itu memandang dua mangkuk yang berbeda warna dan isi. Kenapa harus mangkuk untuk suaminya berwarna merah muda? Dan mangkuknya berwarna kuning? Apa ini bagian dari kode? Kuning untuk dirinya yang berharap segera wafat, dan merah muda untuk menyatakan perasaan Mbak Lasmi pada suami tampannya.
"Cih, ibu-ibu di sini ganjen semua. Gak bisa lihat cowok cakep, matanya ijo!" Ana tersenyum miring.
Kakinya melangkah malas menuju dapur, untuk mengambil sendok. Harum macaroni panggang itu sangat menggoda indera penciuman dan juga indera perasanya. Ana membawa mangkuk merah muda yang terisi penuh untuk ia makan.
Rasanya lumayan enak. Paling tidak, makanan yang saat ini ia santap, dapat mengurangi kekhawatirannya pada suaminya yang tak kunjung pulang. Setelah makan dan bersih-bersih. Ana memilih tidur. Semua lampu dimatikan, lalu masuk ke dalam kamar untuk berbaring. Sebelum terlelap, ia menghubungi nomor suaminya, tetapi tidak tersambung. Ia juga menghubungi nomor Dini, tetapi tidak juga tersambung.
Ada air bening yang menggenang di pelupuk matanya. Apa yang sebaiknya ia lakukan? Apakah ia harus mendatangi rumah Dini? Tetapi percuma, karena Dini dan keluarganya tidak ada di rumah. Mereka sedang berlibur bersama suaminya.
Azan Subuh berkumandang. Ana terbangun dari tidurnya, saat meraba sisi kanan kasur yang masih kosong dan rapi. Suaminya ternyata tidak pulang. Ana mengambil ponselnya di atas nakas, lalu mengecek pesan masuk. Tak ada satu pun pesan yang dikirimkan suaminya.
Hati wanita itu sakit. Kepalanya seketika berputar, memikirkan suami yang berselingkuh. Ana memilih merebahkan kembali kepalanya di atas bantal, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak menyangka, suami yang tampak sangat sayang padanya, ternyata memilih selingkuh, dengan alasan memanfaatkan uang wanita di luaran sana.
Ana mengusap air matanya kasar. Lalu berjalan masuk ke kamar mandi. Tugasnya saat ini adalah mencari tahu, apa sebenarnya yang dilakukan suaminya bersama Dini;sahabatnya.
Rambutnya diikat tinggi. Baju kaus lengan panjang dan rok tutu sepanjang betis ia kenakan dengan rapi. Tak berselera sarapan, Ana langsung saja memesan ojek online. Tujuannya saat ini adalah rumah Dini.
"Mau ke mana pagi-pagi, Mbak?" tanya Bu Rukmini tetangga dua rumah darinya. Wanita itu tengah menjemur pakaian.
"Ada urusan sebentar, Bu," jawab Ana dengan senyum tipis. Cepat dikuncinya pintu, lalu berjalan keluar gerbang kontrakan. Ia tak ingin tetangga lain keluar rumah, lalu menayakan banyak hal padanya.
Minggu pagi, jalanan masih sangat lengang. Lebih banyak lalu-lalang orang yang berolah raga, daripada kendaraan yang berseliweran di jalan. Matanya menangkap sosok pasangan suami istri dan juga seorang anak yang ikut berlari kecil bersama kedua orang tuanya. Tanpa disadari oleh Ana, air matanya kembali menggenang. Reflek ia menyentuh perut yang masih datar.
"Ya Allah, segerakanlah hadirnya bayi di dalam perutku. Agar suamiku kembali menjadi baik dan penyayang seperti sedia kala," doanya dalam hati. Ia sangat paham, rumah tangga yang ia dan suaminya jalani mungkin sangat membosankan, karena tanpa hadirnya seorang anak. Namun, ia takkan setuju jika suaminya berselingkuh di belakangnya.
"Ini bukan, Mbak?" tegur pengemudi. Mereka sudah berhenti di depan sebuah rumah dengan pagar tinggi. Ini adalah rumah orang tua Dini yang merupakan pensiunan Militer.
"Betul, Mas." Ana turun, lalu membayar ongkosnya.
"Kembalian lima ribu ini, Mbak," katany lagi sembari mencari lembaran lima ribu rupiah dari saku jaket hijaunya.
"Tidak usah, Mas. Buat Mas saja," balas Ana dengan senyum tipis.
"Terima kasih ya, Mbak," ucap pengemudi itu dengan senyum mengembang. Ana membalasnya dengan anggukan. Jujur, kakinya saat ini tengah gemetaran berdiri di depan rumah orang tua Dini. Motor yang biasa dipakai suaminya, memang ada di dalam garasi rumah keluarga Dini dan sebuah mobil sedan mahal, juga parkir di sana.
Treng
TrengAna mengetuk pagar dengan gembok yang menggantung. Menunggu sejenak, tetapi tidak ada yang membukakan pintu.
Treng
TrengAna kembali mengetuk pagar, kali ini dengan cukup keras. Seorang wanita paruh baya, berdaster lusuh, berjalan tergopoh, mendekati dirinya.
"Assalamualaikum, Bik. Dininya ada?" tanya Ana dengan dada berdebar.
"Wa'alaykumussalam. Non Dini sedang reuni ke Yogya, Mbak," jawabnya dengan ekspresi datar.
"Oh, reuni." Lidahnya begitu kelu untuk meneruskan ucapannya.
"Bersama siapa, Bik?" tanyanya lagi.
"Sama calon suaminya. Namanya Rangga. Itu motornya," tunjuk wanita paruh baya itu ke arah garasi.
Ana terdiam dengan hati bagai ditusuk sembilu. Susah payah ia menelan saliva. Mencoba tetap bertahan pada kedua kakinya. Tubuhnya benar-benar lemas tak bertulang. Namun, ia tak boleh lemah.
"Non namanya siapa? Ada apa masih pagi udah mencari Non Dini?"
"Heh, Bik ... Asal Bibik tahu, saya ini Mariana. Istri sah dari Rangga. Saya ke sini, mau mencari suami saya yang tidak pulang."
****
~Bersambung~Sudah pukul empat sore, tetapi Dini dan suaminya tak juga pulang. Ana menunggu sambil duduk di teras dengan perut lapar. Pembantu rumah tangga Dini sudah menawarkan makanan, tetapi ia tak sudi menerimanya. Takkan mau ia menelan makanan yang juga dimakan oleh Dini.Perutnya semakin keroncongan, dan rasa nyeri mulai terasa. Ia lupa, jika tidak boleh terlambat makan. Jika tidak, maka ia akan sakit perut hingga berhari-hari."Bik, saya pamit ya. Sampaikan saja pada Dini, kalau saya Ana;istri dari Rangga Abdillah, datang ke sini," ujar Ana tegas. Wanita paruh baya itu tak menyahut, ia hanya mengangguk pelan sambil mengekori langkah Ana keluar dari rumah majikannya. Setelah Ana pergi, ART Dini kembali mengunci pagar, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.Ponselnya berada di atas nakas bergetar, bibik membuka pesan yang ternyata dari nona majikannya."Sudah pergi belum, Bik?""Sudah, Non.""Bagus. Saya pulang sekarang."****
Rangga keluar dari rumahnya dengan amarah memuncak. Ditinggalkannya Ana yang menangis tersedu menahan perih di hati dan juga kedua ujung bibirnya. Suaminya betul-betul berubah. Rangga yang sekarang, bukanlah Rangga yang dulu ia kenal. Jika perkataan kasar ia bisa bersabar menelannya, tetapi perbuatan kekerasan fisik, sudah sangat keterlaluan.Tertatih Ana bangun dari duduknya. Kakinya melangkah ke dapur menuju kulkas. Dikeluarkannya batu es kecil, lalu ia bungkus dengan kain lap bersih. Setelah itu ia tempelkan di kedua sudut bibirnya yang terluka."Sstt ...." beberapa kali ia meringis menahan perih, karena sakitnya luar biasa bagi dirinya yang baru pertama kali ditampar sampai terluka seperti ini.TokTok"Assalamualaykum, Mbak Ana. Saya Endang," seru suara wanita di ujung pintu rumahnya yang tidak tertutup rapat. Untunglah kain krai pembatas antara ruang depan dan ruang tengah terbentang. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat ke dalam.&nb
Pukul empat sore, Ana sampai di rumah. Dengan tubuh masih lemas dan kepala bagai tertimpa batu besar, ia berjalan sedikit terhuyung masuk ke dalam gerbang kontrakan. Sebenarnya, oleh dokter jaga IGD tempat ia dibawa oleh teknisi ponsel tadi, sudah melarangnya untuk pulang karena tekanan darahnya sangat rendah. Namun ia enggan. Hati dan pikirannya tak akan tenang, jika belum menanyakan keadaan yang sebenarnya pada suaminya."Sakit Mbak Ana?" tanya Bu Diana yang kebetulan sedang menyuapi Susi;anaknya."Masuk angin doang ini, Bu," jawab Ana sambil berhenti sejenak."Rumah tangga berantam itu biasa. Sabar ya," ujar Bu Diana lagi. Ada enam belas pintu kontrakan di sini dan semua tahu jika berlajangan ini Ana dan suaminya sering bertengkar. Dia memang harus siap jiwa, raga, dan juga tebal telinga mendengar komentar nyinyir dari tetangga yang memang iri padanya karena memiliki suami yang tampan. Sekaligus tidak akur dalam beberapa hari ini."Iya, Bu. Terim
Ana dan Rangga tidur saling memunggungi, setelah keduanya kembali bertengkar. Sebenarnya, Ana terlihat lebih menguasai emosinya, berbeda dengan Angga yang nampak tertekan saat ketahuan berbicara tidak pantas dengan seseorang di seberang telepon sana. Wanita itu hanya bertanya, tapi jawaban yang terlontar dari bibir suaminya sangatlah kejam."Bukan urusanmu! Cukup kau urus rumah dan memikirkan bagaimana caranya agar punya anak?!" kalimat pahit itu yang keluar sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi. Seketika Ana teringat dengan pesan seorang wanita yang mengatakan bayi mereka. Jika seperti itu, berarti dirinya yang mandul, sehingga Angga berani berbuat keji seperti ini.Wanita itu tak juga bisa memejamkan mata. Air bening masih terus saja mengalir membasahi kedua pipinya. Padahal hansim sudah berkeliling dan memukul kentong sebanyak dua kali. Menandakan saat ini sudah pukul dua dini hari. Suara ngorok suaminya pun terdengar sangat lantang mengisi kamar, sehingga m
Setelah menyantap sarapannya dengan nikmat. Angga pun bersiap hendak berangkat ke pabrik. Name tag yang biasa ia gunakan untuk absen di depan gerbang pabrik tak lupa ia kalungkan di lehernya. Seperti biasanya ia berangkat bekerja. Tak sekalipun ia melirik Ana. Karena fokusnya pada perlengkapan yang baru saja ia masukkan ke dalam tas."Mas, tukang baso di pabrik masih buka gak sih? Aku mau ke sana. Janjian sama Desi," ujar Ana memancing ekspresi suaminya. Benar saja, Rangga tak langsung menjawab, lelaki itu nampak tengah memikirkan kalimat apa yang akan ia sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan istrinya."Gak ada. Udah gak jualan. Tutup kios basonya," jawab Rangga berbohong. Kakinya sudah melangkah lebar berjalan keluar rumah. Diletakkannya bokong di atas kursi plastik, saat akan memakai kaus kaki, kemudian sepatu."Oh, tutup ya. Soalnya kata Desi buka," balas Ana yang sudah ikut duduk di samping suaminya."Pasti teman kamu itu salah lihat. Dah, aku mau
Braak!Brugh!"Sstt ... Aaargh ....!" Ana terjatuh dari pijakannya. Namun, seketika itu juga ia mencoba berdiri walau tubuhnya sedikit limbung. Abang ojek yang melihat Ana susah terjatuh, langsung turun dan ikut menyebrang menghampiri Ana dan membantunya berdiri."Mbak, gak papa?""Saya tidak baik-baik saja, Bang," jawab Ana dengan air mata yang siap tumpah bagai air bah. Tubuhnya yang sudah bediri tegak, kembali berjongkok. Ana menangis sesegukan, menyimpan wajahnya dibalik lutut. Si abang ojek tak bisa berbuat apa-apa. Lelaki itu kebingungan sendiri dengan penumpangnya yang menangis tersedu."Udah, Mbak. Apapun yang dilihat di balik tembok itu. Anggap aja ujian. Mbak harus kuat dan sabar. Bukan saya menggurui, tetapi percayalah setelah badai akan ada pelangi," ujar lelaki itu mencoba memberi semangat untuk Ana.Untuk beberapa menit berlalu, Ana masih saja terisak menangis pilu. Namun, ia sudah mengangkat wajahnya untuk melihat ke
"Apa yang kalian lakukan di sini? Menjijikkan!" teriak Ana dari depan pintu dengan suara menggelegar. Wanita setengah baya, yang usianya hampir dua kali dari dirinya, terlonjak kaget hingga terjatuh di atas kasur empuk. Rangga yang tadinya ada di posisi bawah, juga terlonjak kaget sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos."Ana?!" ujar keduanya dengan mata melotot kaget. Wanita itu dengan segala keberaniannya, masuk ke dalam kamar, lalu mendekat pada suaminya."Jadi, selama ini kamu melacur dengan ibu sambungku, Mas? Sudah berapa lama? Kalian sudah gilakah?" Ana melotot dengan air mata sudah menganak sungai membasahi kedua pipinya."Maaf, saya bukan ibu sambung kamu lagi. Saya sudah tak ada hubungan dengan kamu. Rangga, tolong singkirkan wanita ini. Mana Tante belum sampai. Merusak suasana saja!" Rangga mengangguk paham. Masih dengan menutupi tubuhnya dengan selimut, Rangga memunguti pakaiannya satu per satu yang berserakan di lantai. 
"Maaf, Bu. Ini semua salah paham. Saya bukan selingkuhan Bang Jay. Saya penumpangnya," ujar Ana mencoba menjelaskan. Kaki dan tangannya ikut gemetar, antara takut diadili oleh para sanak famili almarhumah istri Bang Jay dan juga takut akan masalahnya yang bukannya berkurang, tetapi malah bertambah."Takkan pernah ada pelakor yang mengaku. Pergi! Puas kamu melihat anak saya meregang nyawa bersama bayinya? Hah?!" bentak seorag lelaki setengah baya yang sudah menarik tangan Ana keluar dari ruang IGD. Dengan terseret-seret, bahkan tubuhnya dihempaskan kasar di aspal parkiran rumah sakit."Aw!" pekik Ana saat merasakan luka lecet di tangannya. Wanita itu menangis pilu sembari merasakan getir dan pedihnya luka lecet berikut juga luka hati yang ia rasakan. Lelaki setengah baya itu meninggalkan dirinya begitu saja di sana, hingga menjadi pusat perhatian orang yang kebetulan berlalu-lalang di lobi rumah sakit.Susah payah Ana bangun, sambil meringis menahan pedih,