Share

8. Tante Siapa?

Pukul empat sore, Ana sampai di rumah. Dengan tubuh masih lemas dan kepala bagai tertimpa batu besar, ia berjalan sedikit terhuyung masuk ke dalam gerbang kontrakan. Sebenarnya, oleh dokter jaga IGD tempat ia dibawa oleh teknisi ponsel tadi, sudah melarangnya untuk pulang karena tekanan darahnya sangat rendah. Namun ia enggan. Hati dan pikirannya tak akan tenang, jika belum menanyakan keadaan yang sebenarnya pada suaminya.

"Sakit Mbak Ana?" tanya Bu Diana yang kebetulan sedang menyuapi Susi;anaknya.

"Masuk angin doang ini, Bu," jawab Ana sambil berhenti sejenak. 

"Rumah tangga berantam itu biasa. Sabar ya," ujar Bu Diana lagi. Ada enam belas pintu kontrakan di sini dan semua tahu jika berlajangan ini Ana dan suaminya sering bertengkar. Dia memang harus siap jiwa, raga, dan juga tebal telinga mendengar komentar nyinyir dari tetangga yang memang iri padanya karena memiliki suami yang tampan. Sekaligus tidak akur dalam beberapa hari ini.

"Iya, Bu. Terima kasih atas masukannya. InsyaAllah saya akan terus bersabar," sahut Ana dengan memberikan senyum tulusnya pada Bu Diana. 

Anak-anak tetangga berlarian ke sana-kemari. Ada juga yang tengah digendong oleh ibunya untuk disuapi makan. Ada juga yang sedang melatih batitanya berjalan, dengan cara mentatah. Ada sedikit rasa iri direlung hati Ana, saat membayangkan dirinya yang kini belum juga dikaruniai seorang anak.

Kepalanya semakin berputar. Ana memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah untuk mandi dan berganti pakaian. Segelas teh manis hangat, menemani sorenya yang sendu sambil menunggu suaminya yang tak kunjung pulang. 

Diambilnya kembali ponsel suaminya, lalu ia memindahkan kontak beberapa wanita ke dalam ponselnya. Jika suaminya malam ini tidak pulang, maka ia akan menelepon mereka.

Tok

Tok

"Mbak Ana ...."

Ana kembali memutar bola mata malasnya, saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya sambil membawa sesuatu.

"Ya Mbak," jawabnya malas. Tubuhnya perlu istirahat begitu juga kepalanya. Jangan sampai ia meluapkan kekesalannya pada Mbak Endang yang selalu saja mencoba menarik perhatian dari suaminya. Ana bangun dari kursi ruang tamu, lalu berjalan untuk membukakan pintu.

"Ada apa, Mbak?" tanya Ana cepat. Ia sedang tak minat untuk berlama-lama bicara dengan wanita jomblo di depannya ini.

"Ini, saya bikin kolak durian. Makanan kesukaan suami kamukan ya? Saya buat banyak ...."

Braaak!

Ceklek

Ceklek

Dengan emosi memuncak, Ana menutup pintu dengan kasar, hingga membuat Mbak Endang terlonjak kaget.

"Suami saya gak pulang, Mbak. Maaf ya, saya kebelet buang air!" ujar Ana sedikit ketus dari balik pintu. 

"Aneh sekali, kalau ke sini pasti si Ana kebelet eek. Sombong! Huh, baru punya suami gantengnya empat puluh persen saja, rasanya sok ngartis!" omel Mbak Endang sembari menatap sedih mangkuk kolak durian yang ada di tangannya. 

Ana masuk ke dalam kamar, memilih membaringkan tubuhnya setelah meminum obat yang diberikan oleh dokter jaga tadi. Ia bingung harus bagaimana? Jika ia marah-marah terus pada suaminya dan mencecar berbagai pertanyaan, tentulah suaminya semakin jauh dan ia takkan pernah mengetahui keadaan yang sebenarnya. Ia harus gunakan cara lain untuk mencari kebenaran dari suaminya.

Azan magrib berkumandang. Ana memilih untuk berwudhu, lala melaksanakan solat wajib tiga rakaat. Berdoa dengan penuh mohon kepada Allah, agar diberi kemudahan dan jalan keluar bagi masalahnya.

Bugh

Bugh

"Ana, buka!" teriakan Angga dari balik pintu. Lekas Ana mengusap air matanya, dan dengan langkah cepat membuka pintu rumah.

"Lama!" sentak Angga yang tak mau Ana sahuti. Ia membiarkan suaminya melakukan apapun di dalam rumah. Tak ada komentar, ataupun runtutan pertanyaan.

"Handuk gue mana?" tanya Rangga dengan nada sewot.

"Sebentar saya ambilkan," jawab Ana cepat. Lalu ia masuk ke dalam kamar, mengambil handuk bersih untuk suaminya. 

"Ini, Mas." Handuk itu ia ulurkan dari balik pintu kamar mandi yang tak tertutup rapat. Sambil menunggu suaminya selesai mandi, Ana membuatkan telur dadar dan juga sambal terasi dadakan. Tak lupa menggoreng kerupuk kesukaan suaminya. Ia akan menahan semua emosinya sampai ia tahu siapa semua wanita yang begitu mesra dengan suaminya.

Rangga keluar dari kamar mandi dengan tubuh segar. Harum sampo dan sabun yang Angga pakai, selalu saja memanjakan hidungnya. Membuat rasa rileks, saat harum itu masuk begitu dalam pada indera penciumannya. Dengan handuk kecil, ia menggosok rambutnya. Lalu berjalan ke arah meja makan mini yang hanya ada dua kursi di sana.

"Cuma telor dadar?" tanyanya sambil menarik kursi makan plastik.

"Kepalaku sakit, Mas. Bibirku juga sakit habis ditabok sama suami. Jadi, aku malas masak," jawab Ana tanpa melihat suaminya. Susah payah ia berusaha menelan nasi yang sudah masuk ke dalam tenggorokannya. Berusaha tidak mengingat pesan-pesan nakal dari beberapa wanita untuk suaminya.

"Jangan manja! Tinggal kasih madu pasti sembuh," sahut Angga datar. Tangannya mulai menyendok nasi, telur, dan juga sambal ke dalam mulutnya.

"Luka fisikku mungkin sembuh, tapi tidak dengan luka batin yang sudah kau toreh terlalu dalam," balas Ana dalam hati. Tak mungkin ia mengutarakan yang ada di hatinya saat ini. Ia juga tak mau suaminya semakin jauh darinya, jika ia gegabah dalam menyikapi perbuatan menjijikkan suaminya.

Tak ada pembicaraan apapun setelahnya. Ana memilih menonton TV, walau sebenarnya sangat enggan dan tak berselera. Sedangkan Angga sedang sibuk dengan ponsel barunya yang sangat mirip dipakai artis-artis yang ada di televisi. 

Ana melirik jam di dinding, sudah pukul delapam malam. Sebenarnya ia sangat lelah dan mengantuk, tapi ia tahan. Ana ingin sekali mengetahui isi ponsel terbaru suaminya, tetapi pasti akan sangat sulit. Suara TV sengaja ia keraskan. Sesekali tawanya dibuat-buat, agar suaminya mengira ia serius menonton televisi.

"Hallo Tante. Terima kasih ponselnya bagus sekali. Kapan kita bisa bertemu lagi? Saya rindu Tante di atas saya."

"Apa? Ah ... bukan karena saya kehabisan uang, tapi memang rindu. Eh, mobil? Saya mau dibelikan mobil? Wah, kayaknya besok harus segera full servis nih. Mau berapa jam sayang? Bagaimana kalau kita janjian di hotel biasa? Saya akan buat Tante menangis nikmat di atas ranjang."

Ana bersusah payah menahan air mata. Kaki dan tangannya gemetar menahan sakit hati atas percakapan suaminya dengan seorang wanita yang dipanggil Tante. Suaminya tak tahu, jika ia kini sudah berada di belakang tubuh suaminya. Berusaha berdiri dengan kedua kaki lemas bagai tak bertulang.

"Siapa tante yang mau Mas puaskan di atas ranjang?" 

*****

~Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status