Share

7. Wanita-wanita Suaminya

Rangga keluar dari rumahnya dengan amarah memuncak. Ditinggalkannya Ana yang menangis tersedu menahan perih di hati dan juga kedua ujung bibirnya. Suaminya betul-betul berubah. Rangga yang sekarang, bukanlah Rangga yang dulu ia kenal. Jika perkataan kasar ia bisa bersabar menelannya, tetapi perbuatan kekerasan fisik, sudah sangat keterlaluan.

Tertatih Ana bangun dari duduknya. Kakinya melangkah ke dapur menuju kulkas. Dikeluarkannya batu es kecil, lalu ia bungkus dengan kain lap bersih. Setelah itu ia tempelkan di kedua sudut bibirnya yang terluka. 

"Sstt ...." beberapa kali ia meringis menahan perih, karena sakitnya luar biasa bagi dirinya yang baru pertama kali ditampar sampai terluka seperti ini.

Tok

Tok

"Assalamualaykum, Mbak Ana. Saya Endang," seru suara wanita di ujung pintu rumahnya yang tidak tertutup rapat. Untunglah kain krai pembatas antara ruang depan dan ruang tengah terbentang. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat ke dalam. 

Jika ia keluar dalam keadaan seperti ini, maka Mbak Endang akan tahu, dan menjadi buah bibir di area kontrakan. Ana menggelengkan kepala. Ia tak mau sampai orang tahu, bahwa suaminya yang tampan ternyata doyan selingkuh.

"Mbak Ana. Saya Endang," seru Mbak Endang lagi masih setia berdiri di sana.

"Eh, maaf Mbak. Ada apa? Saya lagi di WC, nanggung!" jawab Ana berbohong.

"Saya tungguin dah," jawab Mbak Endang.

Ana menggertakkan giginya kuat, menahan kesal.

"Baru jongkok," balas Ana lagi.

"Gak papa. Sepi ya, Mas Rangganya ke mana sih?" tanya Mbak Endang tanpa rasa berdosa. Ana kembali mengepalkan tangannya. Sungguh tamu tak diundang. Datang di saat yang sangat tidak tepat.

"Saya mules nih. Mbak Endang mau ketemu saya atau suami saya? Kalau suami saya gak ada," ujar Ana sembari menahan kesal. Ingin sekali gilingan cabe ia lemparkan pada wanita perawan tua yang genitnya minta ampun pada suaminya.

"Oh, gak ada ya. Ya udah, kalau gitu." Wanita bertubuh sedikit tambun itu akhirnya pergi dari rumah Ana. Suara langkah kakinya yang menjauh, membuat Ana sedikit lega. Lekas ia berjalan ke pintu depan, lalu menguncinya. 

Kembali pada tugasnya. Yaitu melihat isi ponsel suaminya yang ia sembunyikan. Setelah memastikan sudut bibirnya yang tak mengeluarkan darah lagi, Ana pun berganti pakaian. Ia masukkan ponsel suaminya yang masih belum ia aktifkan ke dalam tas selempang, lalu ia memesan ojek online untuk pergi ke sebuah mal yang di sana ada toko langganan service ponsel miliknya, sejak masih bekerja di pabrik.

Begitu sampai di lobi mal. Ana langsung menuju lantai empat, tempat konter servis ponsel berada. Seingatnya, nama teknisi itu adalah Wisnu. 

"Mas, saya mau servis suami saya dong." Ana mendelik kaget, sambil menutup mulutnya. Sedangkan dua orang teknisi yang juga kaget dengan ucapan Ana, tentu saja tertawa geli.

"Maaf, Mas. Maksud saya, saya mau servis ponsel suami saya," ujarnya membetulkan maksud ucapan. Bokongnya ia letakkan di kursi plastik yang nampak akan tumbang. 

"Mbak Ana ke mana saja? Udah pakai ponsel bagus ya, makanya jarang ke konter?" sapa lelaki teknisi yang bernama Wisnu.

"Gak juga, Mas. Ponsel saya pada tahu diri semua, jadi gak berani mereka rusak," jawab Ana asal. Tentu saja Wisnu dan seorang temannya kembali tertawa. Ana hanya bisa memutar bola mata malasnya, sambil mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Lalu ia berikan pada Wisnu.

"Kenapa ponselnya?" tanya lelaki itu.

Ana mendekatkan tubuhnya pada etalase, sedikit membungkuk, hendak berbisik pada Wisnu.

"Ponsel suami saya tolong bukain. Saya mau lihat isi chat suami saya sama wanita lain. Bisa'kan?" bisik Ana pada Wisnu. Lelaki itu tersenyum paham, lalu kepalanya ikut mengangguk. Diambilnya ponsel yang diletakkan oleh Ana di atas etalase. Wanita itu dengan sabar menunggu teknisi sedang membetulkan ponsel suaminya.

"Saya ke toilet sebentar ya. Tiba-tiba mules," ujar Ana berdiri, lalu pergi menuju arah toilet yang letaknya tak jauh dari konter servis HP.

Tak lama kemudian, Ana kembali dengan membawa satu minuman es teh manis. Ia harus mengkonsumsi yang manis-manis, agar kuat menyiapkan diri jika ternyata isi di ponsel suaminya membuat ia pingsan. Sehingga ia perlu antisipasi terlebih dahulu.

"Ini Mbak, sudah!" teknisi itu menyerahkan kembali ponsel pada Ana. Dengan tangan gemetar dan hati berdebar, Ana menerima ponsel itu, lalu membuka isi pesan WA. Matanya yang tadinya mengecil, tiba-tiba saja membesar, kemudian semakin membesar lagi, tanda ia tak percaya dengan apa yang saat ini ia baca.

Pacarku

"Sayang, Tante sudah transfer uang lima belas juta untuk ganti HP kamu. Sisanya jangan dihabiskan! Belikan istrimu Dini, daster tiga puluh lima ribuan yang banyak. Biar dia senang dan tidak curiga. Malam minggu nanti, temani tante lagi ya. Tante gagal move on sama anu."

Pacar 2

"Mas Angga Sayang. Aku ada transfer ke rekening kamu lima juta untuk biaya pengobatan istri kamu, Dini. Semoga gak lekas sembuh ya. Biar dudanya buat aku aja."

Eka

"Jadi, kapan kamu mau melamar aku, Mas? Aku udah jual tanah dan tiga kerbau nih buat mas kawin yang kamu minta. Buat acara pernikahan kita. Gak papa aku jadi yang kedua, asal memiliki keturunan yang cakep. Masa seminggu cuma dua kali? Kurang, Mas. Kan kasian bayi kita."

 

Praaak!

Ponsel itu terlepas dari tangan Ana, dan jatuh berserakan di lantai. Kedua teknisi melonjak kaget, sembari menatap Ana dengan penasaran.

Ana tak sanggup meneruskan membaca isi pesan dari para wanita tak jelas pada suaminya. Pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya seketika lemas tak bertulang. Siapa  Tante? Siapa pacar dua? Siapa Eka yang kini hamil anak suaminya? Kenapa namanya berubah menjadi Dini?

"Ueek ... ueeekk ...." wanita itu merasakan mual yang sangat luar biasa pada perutnya. Tak sanggup ia membayangkan kehidupan apa yang dijalani suaminya di luar sana. Bukankah selama enam hari bekerja di pabrik, membuat suaminya sangat sibuk? Bagaimana bisa?

"Mbak gak papa?" tanya teknisi yang bernama Wisnu sembari mendekat pada Ana. Bahkan ia baru dengan jelas melihat luka di kedua sudut bibir kustomernya. 

"Mbak," panggil lelaki itu lagi.

Wanita itu mengangguk, tanpa menoleh. Kaki dan tangannya gemetar. Begitu juga dengan jantungnya yang hari ini benar-benar tak sehat. Air mata yang akan terjun bebas, ia tahan sekuat mungkin. Ia tak boleh menangis untuk lelaki yang tidak patut untuk ditangisi. 

Masih dalam keadaan tangan dan kaki gemetar, Ana membungkuk untuk mengambil ponsel suaminya yang tercerai berai baterai dan casingnya. Lekas ia memasangkannya kembali. Ponsel segera menyala, setelah Ana menekan lama tombol kecil di samping kanan ponsel.

Pak Widodo

"Hallo, Assalamualaikum Pak. Saya Mariana, istri Rangga Abdillah."

"Oh, Mbak Ana. Iya, Mbak, ada apa?"

"Maaf, Pak. Bapak masuk kerja gak? Ini ponsel suami saya ketinggalan di rumah."

Ana menelan ludah. Ia terpaksa berbohong, demi kenyataan yang harus ia hadapi saat ini.

"Loh, saya dan Rangga sudah berhenti dari dua bulan lalu dari pabrik, Mbak."

Duuaarr!!

Pandangan wanita itu benar-benar gelap. 

****

~Bersambung~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status