Sudah pukul empat sore, tetapi Dini dan suaminya tak juga pulang. Ana menunggu sambil duduk di teras dengan perut lapar. Pembantu rumah tangga Dini sudah menawarkan makanan, tetapi ia tak sudi menerimanya. Takkan mau ia menelan makanan yang juga dimakan oleh Dini.
Perutnya semakin keroncongan, dan rasa nyeri mulai terasa. Ia lupa, jika tidak boleh terlambat makan. Jika tidak, maka ia akan sakit perut hingga berhari-hari.
"Bik, saya pamit ya. Sampaikan saja pada Dini, kalau saya Ana;istri dari Rangga Abdillah, datang ke sini," ujar Ana tegas. Wanita paruh baya itu tak menyahut, ia hanya mengangguk pelan sambil mengekori langkah Ana keluar dari rumah majikannya. Setelah Ana pergi, ART Dini kembali mengunci pagar, lalu bergegas masuk ke dalam rumah.
Ponselnya berada di atas nakas bergetar, bibik membuka pesan yang ternyata dari nona majikannya.
"Sudah pergi belum, Bik?"
"Sudah, Non."
"Bagus. Saya pulang sekarang."
****
Ana mampir di sebuah kios soto mie. Ia tidak langsung makan. Melainkan menikmati satu gelas air hangat. Kemudian ia minum obat nyeri lambung yang selalu ia sediakan di dalam tas. Setelah meminum obatnya, Ana baru menyantap makan pagi, sekaligus makan siang, tetapi sudah masuk makan sore juga.
Air matanya tiba-tiba saja tumpah. Hatinya begitu sakit, saat pembantu Dini mengatakan suaminya adalah calon suami Dini. Apakah suaminya ingin berpoligami? Apa karena ia belum juga hamil, makanya suaminya seperti ini?
Sambil menguyah pelan makanannya, Ana terus saja mengusap air matanya. Beberapa kali Ana menarik air hidungnya, agar ia bisa bernapas dengan baik. Isakannya membuat beberapa pengunjung warung soto mie ikut memperhatikannya.
"Mbak, baik-baik saja?" tanya seorang lelaki dewasa yang duduk tepat di sampingnya.
"Eh, tidak apa-apa, Pak. Saya hanya kepedesan saja," elaknya sambil mengambil tisu, lalu mengusap air matanya. Ana mencoba mengatur napas dan emosinya, agar air bening yang keluar dari matanya bisa berhenti.
Setelah selesai makan dan membayar tagihannya, Ana pun pulang dengan naik angkutan umum. Sepanjang jalan, ia merenung. Bagaimana nasib pernikahannya dengan Rangga kelak? Tak ada sama sekali semangat untuk pulang ke rumah, karena ia tahu. Lagi-lagi perengkaranlah yang akan terjadi.
"Kiri, Bang." Wanita itu memberhentikan angkutan yang ia naiki tepat di sebuah warung kelontongan besar. Ana turun, lalu membayar ongkos dan kemudian berjalan ke arah warung itu.
"Mbak, beli pro**g satu strip," ujarnya pada penjaga warung. Begitu membayar obat, Ana berjalan sedikit jauh menuju kontrakannya. Sebaiknya ia pulang ke rumah orang tuanya terlebih dahulu, ingin menenangkan diri. Namun, jika ketiadaannya di rumah, nanti malah membuat Rangga semakin senang dan besar kepala.
Ana memijat pelipisnya. Dengan napas dan langkah berat. Ana berjalan membuka gerbang besar kontrakan. Sudah ada ibu-ibu tetangga berkumpul sambil tertawa lebar.
"Baru pulang, Mbak? Itu suami gantengnya udah pulang dari tadi," ujar Mbak Endang sambil menimang kucing kesayangannya.
"Eh, iya Mbak. Main ke rumah mama barusan," jawabnya berbohong. Ana mengangguk pamit, sembari menarik garis tipis bibirnya. Langkahnya kian berat, saat tepat berada di teras. Suara guyuran air terdengar dari dalam kamar mandinya.
Lekas Ana berjalan, lalu masuk ke dalam kamar untuk memeriksa ponsel suaminya yang masih berada di dalam tas. Ana membuka kunci layar dengan tanggal dan bulan pernikahan mereka. Betapa kagetnya ia, saat ponsel itu tak terbuka. Ana mengulangnya hingga tiga kali. Namun, tetap saja tidak bisa. Pin ponsel sudah diganti oleh suaminya.
Tiba-tiba, muncul ide di kepalanya untuk menyembunyikan ponsel suaminya. Terlebih dahulu ia mematikan ponsel itu dengan mencabut baterainya. Ya, ponsel suaminya memang tipe android lama, sehingga masih bisa dilepas baterainya. Ana menyembunyikan dengan cepat ponsel itu di dalam lemari. Tepatnya di lipatan tumpukan sarung bantal. Ana memasukkan ke dalamnya.
Dengan kaki dan dada berdebar. Ana kembali keluar rumah, berpura-pura menyapu rumah. Angga keluar dari kamar mandi, dan terlonjak kaget, saat mendapati istrinya tengah menyapu dapur.
"Kapan kamu pulang? Dari mana?" tanya Rangga sambil lewat. Ana tak menyahut, ia sibuk dengan sapunya. Sekalian berjaga-jaga, jika dia ditampar oleh suaminya, maka ia punya senjata sapu untuk membalasnya. Lelaki itu menatap Ana yang tak menyahut, lalu ia memakai celana boxer dan kaus dalam.
"Ana! Mulut kamu gak bisa jawab? Bisu beneran baru tahu rasa!" umpat Rangga pada istrinya. Ana masih menahan amarahnya. Ia hanya bisa meluapkan kekesalannya pada gagang sapu yang kini ia remas kuat.
"Udah kenyang jalan-jalan reuninya? Oleh-olehnya mana?" Ana membuka telapak tangannya, dan mendekatkannya pada wajah Rangga.
"Aku gak beli oleh-oleh. Cape!" sahut Rangga sedikit salah tingkah.
"Oh, ya sudah!" jawab Ana pendek. Wanita itu kembali meneruskan kegiatan menyapunya sampai seluruh ruangan bersih.
"Loh, ponselku mana? Anaa! Ana!" Rangga panik meneriaki istrinya.
"Apa?!" tanya Ana ketus, menghampiri suaminya di kamar.
"Mulut kamu songong banget sekarang!" Rangga menekan bibir istrinya dengan kuat, bahkan lelaki itu mendorongnya hingga tubuh Ana terhuyung ke belakang.
"Jangan kasar dong! Mas cari apa? Cari Dini? Dini di rumahnya."
"Ngomong apa kamu? Aku cari HP!"
"Mana kutahu. Aku saja baru sampai, dan dua hari aku tak bisa menghubungimu."
"Pasti kamu yang ambil! Ngaku gak!" bentak Rangga pada istrinya.
"Lepas! Aku gak tahu di mana ponselmu, Mas!" Ana mencoba melepas cekalan tangan Rangga yang sangat kuat pada lengannya. Namun tidak bisa. Lelaki itu marah, lalu mengobrak-abrik isi lemari. Ana menelan ludah, ia takut ponsel yang ia sembunyikan ketahuan oleh suaminya.
"Mana? Gak ada kan? Lagian, kenapa sih takut sekali ponselnya hilang? takut gak bisa memadu kasih dengan Dini? Bukannya dia lebih tua dari kamu, Mas. Dia saja di atasku empat tahun. Wah, aku gak sangka suamiku suka sama wanita uzur!"
Plaak!
Plaak!****
Rangga keluar dari rumahnya dengan amarah memuncak. Ditinggalkannya Ana yang menangis tersedu menahan perih di hati dan juga kedua ujung bibirnya. Suaminya betul-betul berubah. Rangga yang sekarang, bukanlah Rangga yang dulu ia kenal. Jika perkataan kasar ia bisa bersabar menelannya, tetapi perbuatan kekerasan fisik, sudah sangat keterlaluan.Tertatih Ana bangun dari duduknya. Kakinya melangkah ke dapur menuju kulkas. Dikeluarkannya batu es kecil, lalu ia bungkus dengan kain lap bersih. Setelah itu ia tempelkan di kedua sudut bibirnya yang terluka."Sstt ...." beberapa kali ia meringis menahan perih, karena sakitnya luar biasa bagi dirinya yang baru pertama kali ditampar sampai terluka seperti ini.TokTok"Assalamualaykum, Mbak Ana. Saya Endang," seru suara wanita di ujung pintu rumahnya yang tidak tertutup rapat. Untunglah kain krai pembatas antara ruang depan dan ruang tengah terbentang. Sehingga orang dari luar tak bisa melihat ke dalam.&nb
Pukul empat sore, Ana sampai di rumah. Dengan tubuh masih lemas dan kepala bagai tertimpa batu besar, ia berjalan sedikit terhuyung masuk ke dalam gerbang kontrakan. Sebenarnya, oleh dokter jaga IGD tempat ia dibawa oleh teknisi ponsel tadi, sudah melarangnya untuk pulang karena tekanan darahnya sangat rendah. Namun ia enggan. Hati dan pikirannya tak akan tenang, jika belum menanyakan keadaan yang sebenarnya pada suaminya."Sakit Mbak Ana?" tanya Bu Diana yang kebetulan sedang menyuapi Susi;anaknya."Masuk angin doang ini, Bu," jawab Ana sambil berhenti sejenak."Rumah tangga berantam itu biasa. Sabar ya," ujar Bu Diana lagi. Ada enam belas pintu kontrakan di sini dan semua tahu jika berlajangan ini Ana dan suaminya sering bertengkar. Dia memang harus siap jiwa, raga, dan juga tebal telinga mendengar komentar nyinyir dari tetangga yang memang iri padanya karena memiliki suami yang tampan. Sekaligus tidak akur dalam beberapa hari ini."Iya, Bu. Terim
Ana dan Rangga tidur saling memunggungi, setelah keduanya kembali bertengkar. Sebenarnya, Ana terlihat lebih menguasai emosinya, berbeda dengan Angga yang nampak tertekan saat ketahuan berbicara tidak pantas dengan seseorang di seberang telepon sana. Wanita itu hanya bertanya, tapi jawaban yang terlontar dari bibir suaminya sangatlah kejam."Bukan urusanmu! Cukup kau urus rumah dan memikirkan bagaimana caranya agar punya anak?!" kalimat pahit itu yang keluar sebagai jawaban dari pertanyaannya tadi. Seketika Ana teringat dengan pesan seorang wanita yang mengatakan bayi mereka. Jika seperti itu, berarti dirinya yang mandul, sehingga Angga berani berbuat keji seperti ini.Wanita itu tak juga bisa memejamkan mata. Air bening masih terus saja mengalir membasahi kedua pipinya. Padahal hansim sudah berkeliling dan memukul kentong sebanyak dua kali. Menandakan saat ini sudah pukul dua dini hari. Suara ngorok suaminya pun terdengar sangat lantang mengisi kamar, sehingga m
Setelah menyantap sarapannya dengan nikmat. Angga pun bersiap hendak berangkat ke pabrik. Name tag yang biasa ia gunakan untuk absen di depan gerbang pabrik tak lupa ia kalungkan di lehernya. Seperti biasanya ia berangkat bekerja. Tak sekalipun ia melirik Ana. Karena fokusnya pada perlengkapan yang baru saja ia masukkan ke dalam tas."Mas, tukang baso di pabrik masih buka gak sih? Aku mau ke sana. Janjian sama Desi," ujar Ana memancing ekspresi suaminya. Benar saja, Rangga tak langsung menjawab, lelaki itu nampak tengah memikirkan kalimat apa yang akan ia sampaikan sebagai jawaban dari pertanyaan istrinya."Gak ada. Udah gak jualan. Tutup kios basonya," jawab Rangga berbohong. Kakinya sudah melangkah lebar berjalan keluar rumah. Diletakkannya bokong di atas kursi plastik, saat akan memakai kaus kaki, kemudian sepatu."Oh, tutup ya. Soalnya kata Desi buka," balas Ana yang sudah ikut duduk di samping suaminya."Pasti teman kamu itu salah lihat. Dah, aku mau
Braak!Brugh!"Sstt ... Aaargh ....!" Ana terjatuh dari pijakannya. Namun, seketika itu juga ia mencoba berdiri walau tubuhnya sedikit limbung. Abang ojek yang melihat Ana susah terjatuh, langsung turun dan ikut menyebrang menghampiri Ana dan membantunya berdiri."Mbak, gak papa?""Saya tidak baik-baik saja, Bang," jawab Ana dengan air mata yang siap tumpah bagai air bah. Tubuhnya yang sudah bediri tegak, kembali berjongkok. Ana menangis sesegukan, menyimpan wajahnya dibalik lutut. Si abang ojek tak bisa berbuat apa-apa. Lelaki itu kebingungan sendiri dengan penumpangnya yang menangis tersedu."Udah, Mbak. Apapun yang dilihat di balik tembok itu. Anggap aja ujian. Mbak harus kuat dan sabar. Bukan saya menggurui, tetapi percayalah setelah badai akan ada pelangi," ujar lelaki itu mencoba memberi semangat untuk Ana.Untuk beberapa menit berlalu, Ana masih saja terisak menangis pilu. Namun, ia sudah mengangkat wajahnya untuk melihat ke
"Apa yang kalian lakukan di sini? Menjijikkan!" teriak Ana dari depan pintu dengan suara menggelegar. Wanita setengah baya, yang usianya hampir dua kali dari dirinya, terlonjak kaget hingga terjatuh di atas kasur empuk. Rangga yang tadinya ada di posisi bawah, juga terlonjak kaget sembari menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos."Ana?!" ujar keduanya dengan mata melotot kaget. Wanita itu dengan segala keberaniannya, masuk ke dalam kamar, lalu mendekat pada suaminya."Jadi, selama ini kamu melacur dengan ibu sambungku, Mas? Sudah berapa lama? Kalian sudah gilakah?" Ana melotot dengan air mata sudah menganak sungai membasahi kedua pipinya."Maaf, saya bukan ibu sambung kamu lagi. Saya sudah tak ada hubungan dengan kamu. Rangga, tolong singkirkan wanita ini. Mana Tante belum sampai. Merusak suasana saja!" Rangga mengangguk paham. Masih dengan menutupi tubuhnya dengan selimut, Rangga memunguti pakaiannya satu per satu yang berserakan di lantai. 
"Maaf, Bu. Ini semua salah paham. Saya bukan selingkuhan Bang Jay. Saya penumpangnya," ujar Ana mencoba menjelaskan. Kaki dan tangannya ikut gemetar, antara takut diadili oleh para sanak famili almarhumah istri Bang Jay dan juga takut akan masalahnya yang bukannya berkurang, tetapi malah bertambah."Takkan pernah ada pelakor yang mengaku. Pergi! Puas kamu melihat anak saya meregang nyawa bersama bayinya? Hah?!" bentak seorag lelaki setengah baya yang sudah menarik tangan Ana keluar dari ruang IGD. Dengan terseret-seret, bahkan tubuhnya dihempaskan kasar di aspal parkiran rumah sakit."Aw!" pekik Ana saat merasakan luka lecet di tangannya. Wanita itu menangis pilu sembari merasakan getir dan pedihnya luka lecet berikut juga luka hati yang ia rasakan. Lelaki setengah baya itu meninggalkan dirinya begitu saja di sana, hingga menjadi pusat perhatian orang yang kebetulan berlalu-lalang di lobi rumah sakit.Susah payah Ana bangun, sambil meringis menahan pedih,
"Siapa, Ga?" tanya wanita setengah baya itu tak sabar."Adik saya, Tante. Biasa rindu transferan dari saya. Suaminya sakit dan dia butuh uang untuk berobat," bohongnya dengan suara sedih demi mendapat tambahan dana lagi dari Tante Hepi. Ponsel sudah ia tekan kuat, tanpa sepengetahuan wanita seksi yang duduk di sampingnya ini. Hingga ponsel itu mati dan ia bisa sedikit tenang."Memang kamu punya adik?" tanyanya lagi."Punya Tante. Adik saya dua orang. Tante lupa ya? Makanya saya sebagai tulang punggung, harus bisa kuat dan semangat mencari rupiah untuk keluarga saya. Makanya saya suka kepikiran mereka, Tan," tambahnya lagi kembali dengan suara pilu, tetapi penuh ketegaran."Ya sudah, nanti saya tambahkan lima juta untuk adik kamu. Semoga suaminya lekas sembuh ya." Tante Hepi langsung memperlihatkan tampilan ibanking ponselnya yang sudah tertera transaksi transfer berhasil senilai lima juta rupiah."Wah, terima kasih Tante," ucap Rangga penuh haru. N