Share

6. Bertengkar

Sudah pukul empat sore, tetapi Dini dan suaminya tak juga pulang. Ana menunggu sambil duduk di teras dengan perut lapar. Pembantu rumah tangga Dini sudah menawarkan makanan, tetapi ia tak sudi menerimanya. Takkan mau ia menelan makanan yang juga dimakan oleh Dini. 

Perutnya semakin keroncongan, dan rasa nyeri mulai terasa. Ia lupa, jika tidak boleh terlambat makan. Jika tidak, maka ia akan sakit perut hingga berhari-hari. 

"Bik, saya pamit ya. Sampaikan saja pada Dini, kalau saya Ana;istri dari Rangga Abdillah, datang ke sini," ujar Ana tegas. Wanita paruh baya itu tak menyahut, ia hanya mengangguk pelan sambil mengekori langkah Ana keluar dari rumah majikannya. Setelah Ana pergi, ART Dini kembali mengunci pagar, lalu bergegas masuk ke dalam rumah. 

Ponselnya berada di atas nakas bergetar, bibik membuka pesan yang ternyata dari nona majikannya.

"Sudah pergi belum, Bik?"

"Sudah, Non."

"Bagus. Saya pulang sekarang."

****

Ana mampir di sebuah kios soto mie. Ia tidak langsung makan. Melainkan menikmati satu gelas air hangat. Kemudian ia minum obat nyeri lambung yang selalu ia sediakan di dalam tas. Setelah meminum obatnya, Ana baru menyantap makan pagi, sekaligus makan siang, tetapi sudah masuk makan sore juga.

Air matanya tiba-tiba saja tumpah. Hatinya begitu sakit, saat pembantu Dini mengatakan suaminya adalah calon suami Dini. Apakah suaminya ingin berpoligami? Apa karena ia belum juga hamil, makanya suaminya seperti ini?

Sambil menguyah pelan makanannya, Ana terus saja mengusap air matanya. Beberapa kali Ana menarik air hidungnya, agar ia bisa bernapas dengan baik. Isakannya membuat beberapa pengunjung warung soto mie ikut memperhatikannya.

"Mbak, baik-baik saja?" tanya seorang lelaki dewasa yang duduk tepat di sampingnya.

"Eh, tidak apa-apa, Pak. Saya hanya kepedesan saja," elaknya sambil mengambil tisu, lalu mengusap air matanya. Ana mencoba mengatur napas dan emosinya, agar air bening yang keluar dari matanya bisa berhenti.

Setelah selesai makan dan membayar tagihannya, Ana pun pulang dengan naik angkutan umum. Sepanjang jalan, ia merenung. Bagaimana nasib pernikahannya dengan Rangga kelak? Tak ada sama sekali semangat untuk pulang ke rumah, karena ia tahu. Lagi-lagi perengkaranlah yang akan terjadi. 

"Kiri, Bang." Wanita itu memberhentikan angkutan yang ia naiki tepat di sebuah warung kelontongan besar. Ana turun, lalu membayar ongkos dan kemudian berjalan ke arah warung itu.

"Mbak, beli pro**g satu strip," ujarnya pada penjaga warung. Begitu membayar obat, Ana berjalan sedikit jauh menuju kontrakannya. Sebaiknya ia pulang ke rumah orang tuanya terlebih dahulu, ingin menenangkan diri. Namun, jika ketiadaannya di rumah, nanti malah membuat Rangga semakin senang dan besar kepala. 

Ana memijat pelipisnya. Dengan napas dan langkah berat. Ana berjalan membuka gerbang besar kontrakan. Sudah ada ibu-ibu tetangga berkumpul sambil tertawa lebar. 

"Baru pulang, Mbak? Itu suami gantengnya udah pulang dari tadi," ujar Mbak Endang sambil menimang kucing kesayangannya.

"Eh, iya Mbak. Main ke rumah mama barusan," jawabnya berbohong. Ana mengangguk pamit, sembari menarik garis tipis bibirnya. Langkahnya kian berat, saat tepat berada di teras. Suara guyuran air terdengar dari dalam kamar mandinya. 

Lekas Ana berjalan, lalu masuk ke dalam kamar untuk memeriksa ponsel suaminya yang masih berada di dalam tas. Ana membuka kunci layar dengan tanggal dan bulan pernikahan mereka. Betapa kagetnya ia, saat ponsel itu tak terbuka. Ana mengulangnya hingga tiga kali. Namun, tetap saja tidak bisa. Pin ponsel sudah diganti oleh suaminya.

Tiba-tiba, muncul ide di kepalanya untuk menyembunyikan ponsel suaminya. Terlebih dahulu ia mematikan ponsel itu dengan mencabut baterainya. Ya, ponsel suaminya memang tipe android lama, sehingga masih bisa dilepas baterainya. Ana menyembunyikan dengan cepat ponsel itu di dalam lemari. Tepatnya di lipatan tumpukan sarung bantal. Ana memasukkan ke dalamnya.

Dengan kaki dan dada berdebar. Ana kembali keluar rumah, berpura-pura menyapu rumah. Angga keluar dari kamar mandi, dan terlonjak kaget, saat mendapati istrinya tengah menyapu dapur.

"Kapan kamu pulang? Dari mana?" tanya Rangga sambil lewat. Ana tak menyahut, ia sibuk dengan sapunya. Sekalian berjaga-jaga, jika dia ditampar oleh suaminya, maka ia punya senjata sapu untuk membalasnya. Lelaki itu menatap Ana yang tak menyahut, lalu ia memakai celana boxer dan kaus dalam.

"Ana! Mulut kamu gak bisa jawab? Bisu beneran baru tahu rasa!" umpat Rangga pada istrinya. Ana masih menahan amarahnya. Ia hanya bisa meluapkan kekesalannya pada gagang sapu yang kini ia remas kuat.

"Udah kenyang jalan-jalan reuninya? Oleh-olehnya mana?" Ana membuka telapak tangannya, dan mendekatkannya pada wajah Rangga.

"Aku gak beli oleh-oleh. Cape!" sahut Rangga sedikit salah tingkah.

"Oh, ya sudah!" jawab Ana pendek. Wanita itu kembali meneruskan kegiatan menyapunya sampai seluruh ruangan bersih.

"Loh, ponselku mana? Anaa! Ana!" Rangga panik meneriaki istrinya.

"Apa?!" tanya Ana ketus, menghampiri suaminya di kamar.

"Mulut kamu songong banget sekarang!" Rangga menekan bibir istrinya dengan kuat, bahkan lelaki itu mendorongnya hingga tubuh Ana terhuyung ke belakang.

"Jangan kasar dong! Mas cari apa? Cari Dini? Dini di rumahnya."

"Ngomong apa kamu? Aku cari HP!" 

"Mana kutahu. Aku saja baru sampai, dan dua hari aku tak bisa menghubungimu."

"Pasti kamu yang ambil! Ngaku gak!" bentak Rangga pada istrinya.

"Lepas! Aku gak tahu di mana ponselmu, Mas!" Ana mencoba melepas cekalan tangan Rangga yang sangat kuat pada lengannya. Namun tidak bisa. Lelaki itu marah, lalu mengobrak-abrik isi lemari. Ana menelan ludah, ia takut ponsel yang ia sembunyikan ketahuan oleh suaminya.

"Mana? Gak ada kan? Lagian, kenapa sih takut sekali ponselnya hilang? takut gak bisa memadu kasih dengan Dini? Bukannya dia lebih tua dari kamu, Mas. Dia saja di atasku empat tahun. Wah, aku gak sangka suamiku suka sama wanita uzur!"

Plaak!

Plaak!

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status